|
Beberapa
waktu yang lalu hasil jepretan Ibu Ani Yudhoyono diunggah ke Instagram, rubrik
fotografi di dunia Internet. Atas sebuah fotonya, sejumlah fotografer menuduh
bahwa Ibu Ani telah melakukan manipulasi teknik, yakni memontase foto cucunya
ke foto orang lain, sehingga foto itu jadi bernilai seni tinggi. Perdebatan pun
terjadi, sampai akhirnya ahli fotografi Arbain Rambey memberi penjelasan bahwa
foto itu bersih dari tipuan. Dengan begitu, lewat foto tersebut Ibu Ani telah
berhasil menciptakan karya seni fotografi.
Pergunjingan
ternyata tidak berhenti di situ. Di dalam dan di luar dunia maya, komentar
berlanjut dengan perkataan: "Ibu Ani kurang kerjaan. Bukannya membantu
suami yang sibuk ngurusi negara, malah motret-motret...."
Komentar
miring atas keterlibatan Ibu Negara dalam seni agaknya hanya ekor dari
kejengkelan sejumlah orang terhadap sang suami, Susilo Bambang Yudhoyono.
Syahdan, SBY beberapa waktu yang lalu produktif mencipta lagu untuk kemudian
direkam dalam beberapa album. Dari sini, terlontarlah kritik: "Presiden
sudah melalaikan pekerjaannya sebagai kepala negara! Di tengah situasi
Indonesia yang ruwet, masih bikin lagu segala!"
Tuna-seni
Dari
persoalan di atas, tampak betapa sebagian masyarakat Indonesia tidak menghargai
kerja kesenian. Bahkan kerja kesenian dianggap aktivitas yang mengganggu.
Padahal pengarang besar Franz Kafka berkata bahwa hanyalah keindahan karya seni
yang sanggup memperbaiki jutaan saraf otak dan hati yang rusak, sehingga
manusia tidak menjadi dangkal, mati rasa, dan bodoh. Dan hanyalah karya seni
yang sanggup membawa orang ke wilayah absorpsi, ketenggelaman kepada hal yang
menakjubkan. Sesuatu yang membuat seseorang menjadi toleran, tidak melulu
memuja kebenaran dirinya sendiri saja.
Namun
fenomena memusuhi seni ini bukan baru terjadi sekarang. Pada 1980-1990, hal
yang sama pernah merajalela. Hanya, bedanya, apabila sekarang yang melakukan
adalah sepotong masyarakat, pada masa lalu pelakunya adalah segumpal petinggi
negara. Catatan mendata, pada masa Orde Baru, aneka pameran seni rupa di
beberapa kota ditutup. Pementasan teater dan baca puisi, dari Rendra sampai N.
Riantiarno, dibatalkan. Buku-buku sastra tertentu tak boleh beredar. Sejumlah
seniman ditangkap. Bahkan penampilan musik Hawaiian Seniors yang merdu pimpinan
Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso di TVRI, diberangus.
Sebagai
perlawanan, muncul kelompok-kelompok laten yang dengan halus menetralisasi
kekerasan itu. Sederet sastrawan mengajak para petinggi negara untuk mencipta
puisi dan membacakannya. Agar bersedia tampil, para petinggi ditemani para
tokoh masyarakat. Pentas deklamasi dan poetry
reading pun bergema. Lalu, para jenderal, pejabat tinggi, presiden
komisaris, direktur, sampai profesor menenteng puisi dan membacakannya di
lapangan Monas sampai hotel bintang lima! Pada bagian lain, istri-istri para
petinggi negara dan para tokoh diajak terlibat dalam kegiatan melukis di kelas
kursus. Untuk kemudian menggelar pameran bersama, yang tentu saja dihadiri para
suaminya.
"Bila
Bung Karno yang presiden boleh jadi connoisseur, kenapa saya yang tukang
bangunan tak boleh jadi penyair?" kata Ir Ciputra, pengusaha real estate
yang pernah jadi "deklamator". Ia seperti mengingatkan, selain jadi
kepala negara, Bung Karno adalah pelukis, penggagas patung-patung monumen kota,
pemerhati tari lenso, bahkan pencipta lagu, meski cuma sehitungan jari.
Tapi
gerilya kebudayaan ini akhirnya "ketahuan", untuk kemudian dibikin
surut secara diam-diam. Padahal para pemilik kekuasaan yang anti-seni
seharusnya menyadari bahwa kesenian adalah roh-besar sebuah bangsa yang tak
pernah mati sampai kapan pun. Sementara roh-besar itu merupakan akumulasi dari
roh-roh kecil yang ditumbuhkan oleh individu pencipta seni, seperti Rendra,
Hoegeng, dan Riantiarno. Dan roh-roh seni akan hadir gemerlap apabila mendapat
dukungan serta apresiasi dari petinggi negara dan para tokoh. Serta semakin
berkibar ketika para petinggi dan tokoh juga ikutan masuk di dalamnya. Sejarah
telah membuktikan hal itu.
Perdana
Menteri Winston Churchill melukis di tengah kesibukannya mengatur Inggris yang
sedang terlibat dalam perang dunia. Sikap Churchill ini diilhami oleh
keberadaban petinggi negara dan tokoh masa silam. Semisal Sultan Mohammad II, yang
berjalan bersama Gentile Bellini untuk menggubah karya unik di Turki, abad
ke-15, sehingga Bellini terangkat jadi pelukis Palazzo Ducale di negerinya,
Venezia, Italia. Atau keluarga Guggenheim di Amerika, yang memberi contoh
kepada dunia bahwa keterlibatan tokoh adalah obor kreativitas paling terang dan
hangat.
Kemauan
dan kemampuan mengapresiasi atau (bahkan) mencipta karya estetik akan
menjadikan mata para petinggi negara terbuka atas segala bentuk keindahan. Dan
lantaran keindahan adalah anak kesenian, dan tersebab kesenian adalah putri
kebudayaan, maka hati para petinggi negara akan terbuka terhadap segala rupa
kebudayaan. Dan karena kebudayaan adalah putra peradaban, maka para petinggi
negara (yang beradab) akan dengan mudah memahami semua produk kebudayaan, yang
di dalamnya menyimpan aspek-aspek kesenian.
Miss
World
Sikap
memusuhi kebudayaan yang paling aktual di Indonesia sekarang terformulasi dalam
bentuk penolakan pelaksanaan Miss World.
Kita tahu, pada 8 sampai 28 September ini Miss
World digelar di Indonesia. Sebagian acaranya diselenggarakan di Bali,
sebagian di luar Bali, dengan penutupan yang akan digelar di Sentul, Bogor.
Sepotong masyarakat, atau beberapa organisasi massa, dengan dukungan Majelis
Ulama Indonesia, menolak acara "miss-miss-an"
ini. Mereka bahkan akan "berbuat sesuatu" apabila final Miss World digelar di Sentul, Bogor.
Alasan mereka, perhelatan Miss World
tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia.
Mereka
lupa bahwa kebudayaan dunia terus bergerak. Kini kebudayaan dunia sedang
memasuki era post-modernism, yang menjunjung prinsip multikulturalisme. Dengan
demikian, acara seperti Miss World
akan selalu disesuaikan dengan suasana, situasi, serta kultur negeri yang jadi
tempat penyelenggaraan. Modernisme (westernisme), yang dulu menghegemoni, telah
ditinggalkan. Dengan begitu, acara Miss
World di Indonesia saya yakini selaras dengan kebudayaan Indonesia. Lebih
spesifik lagi, pentas Miss World di
Indonesia akan diaromai gemerlap kesenian Indonesia.
Itu
sebabnya, penolakan atas acara final Miss
World sungguhlah tidak perlu. Dan Indonesia akan cedera apabila penolakan
itu tetap berjalan, karena Negara membiarkan. Sebab, yang akan muncul adalah
realitas: betapa petinggi negara begitu gampang dikalahkan oleh orang-orang
yang diselimuti ketidakpahaman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar