Kamis, 12 September 2013

Miss World, Kebudayaan, dan Petinggi Negara

Miss World, Kebudayaan, dan Petinggi Negara
Agus Dermawan T  ;   Penulis Buku-Buku Berbasis Seni, Sosial dan Budaya
KORAN TEMPO, 12 September 2013


Beberapa waktu yang lalu hasil jepretan Ibu Ani Yudhoyono diunggah ke Instagram, rubrik fotografi di dunia Internet. Atas sebuah fotonya, sejumlah fotografer menuduh bahwa Ibu Ani telah melakukan manipulasi teknik, yakni memontase foto cucunya ke foto orang lain, sehingga foto itu jadi bernilai seni tinggi. Perdebatan pun terjadi, sampai akhirnya ahli fotografi Arbain Rambey memberi penjelasan bahwa foto itu bersih dari tipuan. Dengan begitu, lewat foto tersebut Ibu Ani telah berhasil menciptakan karya seni fotografi.
Pergunjingan ternyata tidak berhenti di situ. Di dalam dan di luar dunia maya, komentar berlanjut dengan perkataan: "Ibu Ani kurang kerjaan. Bukannya membantu suami yang sibuk ngurusi negara, malah motret-motret...."
Komentar miring atas keterlibatan Ibu Negara dalam seni agaknya hanya ekor dari kejengkelan sejumlah orang terhadap sang suami, Susilo Bambang Yudhoyono. Syahdan, SBY beberapa waktu yang lalu produktif mencipta lagu untuk kemudian direkam dalam beberapa album. Dari sini, terlontarlah kritik: "Presiden sudah melalaikan pekerjaannya sebagai kepala negara! Di tengah situasi Indonesia yang ruwet, masih bikin lagu segala!"
Tuna-seni
Dari persoalan di atas, tampak betapa sebagian masyarakat Indonesia tidak menghargai kerja kesenian. Bahkan kerja kesenian dianggap aktivitas yang mengganggu. Padahal pengarang besar Franz Kafka berkata bahwa hanyalah keindahan karya seni yang sanggup memperbaiki jutaan saraf otak dan hati yang rusak, sehingga manusia tidak menjadi dangkal, mati rasa, dan bodoh. Dan hanyalah karya seni yang sanggup membawa orang ke wilayah absorpsi, ketenggelaman kepada hal yang menakjubkan. Sesuatu yang membuat seseorang menjadi toleran, tidak melulu memuja kebenaran dirinya sendiri saja. 
Namun fenomena memusuhi seni ini bukan baru terjadi sekarang. Pada 1980-1990, hal yang sama pernah merajalela. Hanya, bedanya, apabila sekarang yang melakukan adalah sepotong masyarakat, pada masa lalu pelakunya adalah segumpal petinggi negara. Catatan mendata, pada masa Orde Baru, aneka pameran seni rupa di beberapa kota ditutup. Pementasan teater dan baca puisi, dari Rendra sampai N. Riantiarno, dibatalkan. Buku-buku sastra tertentu tak boleh beredar. Sejumlah seniman ditangkap. Bahkan penampilan musik Hawaiian Seniors yang merdu pimpinan Jenderal Polisi Hoegeng Iman Santoso di TVRI, diberangus. 
Sebagai perlawanan, muncul kelompok-kelompok laten yang dengan halus menetralisasi kekerasan itu. Sederet sastrawan mengajak para petinggi negara untuk mencipta puisi dan membacakannya. Agar bersedia tampil, para petinggi ditemani para tokoh masyarakat. Pentas deklamasi dan poetry reading pun bergema. Lalu, para jenderal, pejabat tinggi, presiden komisaris, direktur, sampai profesor menenteng puisi dan membacakannya di lapangan Monas sampai hotel bintang lima! Pada bagian lain, istri-istri para petinggi negara dan para tokoh diajak terlibat dalam kegiatan melukis di kelas kursus. Untuk kemudian menggelar pameran bersama, yang tentu saja dihadiri para suaminya. 
"Bila Bung Karno yang presiden boleh jadi connoisseur, kenapa saya yang tukang bangunan tak boleh jadi penyair?" kata Ir Ciputra, pengusaha real estate yang pernah jadi "deklamator". Ia seperti mengingatkan, selain jadi kepala negara, Bung Karno adalah pelukis, penggagas patung-patung monumen kota, pemerhati tari lenso, bahkan pencipta lagu, meski cuma sehitungan jari. 
Tapi gerilya kebudayaan ini akhirnya "ketahuan", untuk kemudian dibikin surut secara diam-diam. Padahal para pemilik kekuasaan yang anti-seni seharusnya menyadari bahwa kesenian adalah roh-besar sebuah bangsa yang tak pernah mati sampai kapan pun. Sementara roh-besar itu merupakan akumulasi dari roh-roh kecil yang ditumbuhkan oleh individu pencipta seni, seperti Rendra, Hoegeng, dan Riantiarno. Dan roh-roh seni akan hadir gemerlap apabila mendapat dukungan serta apresiasi dari petinggi negara dan para tokoh. Serta semakin berkibar ketika para petinggi dan tokoh juga ikutan masuk di dalamnya. Sejarah telah membuktikan hal itu.
Perdana Menteri Winston Churchill melukis di tengah kesibukannya mengatur Inggris yang sedang terlibat dalam perang dunia. Sikap Churchill ini diilhami oleh keberadaban petinggi negara dan tokoh masa silam. Semisal Sultan Mohammad II, yang berjalan bersama Gentile Bellini untuk menggubah karya unik di Turki, abad ke-15, sehingga Bellini terangkat jadi pelukis Palazzo Ducale di negerinya, Venezia, Italia. Atau keluarga Guggenheim di Amerika, yang memberi contoh kepada dunia bahwa keterlibatan tokoh adalah obor kreativitas paling terang dan hangat. 
Kemauan dan kemampuan mengapresiasi atau (bahkan) mencipta karya estetik akan menjadikan mata para petinggi negara terbuka atas segala bentuk keindahan. Dan lantaran keindahan adalah anak kesenian, dan tersebab kesenian adalah putri kebudayaan, maka hati para petinggi negara akan terbuka terhadap segala rupa kebudayaan. Dan karena kebudayaan adalah putra peradaban, maka para petinggi negara (yang beradab) akan dengan mudah memahami semua produk kebudayaan, yang di dalamnya menyimpan aspek-aspek kesenian. 
Miss World 
Sikap memusuhi kebudayaan yang paling aktual di Indonesia sekarang terformulasi dalam bentuk penolakan pelaksanaan Miss World. Kita tahu, pada 8 sampai 28 September ini Miss World digelar di Indonesia. Sebagian acaranya diselenggarakan di Bali, sebagian di luar Bali, dengan penutupan yang akan digelar di Sentul, Bogor. Sepotong masyarakat, atau beberapa organisasi massa, dengan dukungan Majelis Ulama Indonesia, menolak acara "miss-miss-an" ini. Mereka bahkan akan "berbuat sesuatu" apabila final Miss World digelar di Sentul, Bogor. Alasan mereka, perhelatan Miss World tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia. 
Mereka lupa bahwa kebudayaan dunia terus bergerak. Kini kebudayaan dunia sedang memasuki era post-modernism, yang menjunjung prinsip multikulturalisme. Dengan demikian, acara seperti Miss World akan selalu disesuaikan dengan suasana, situasi, serta kultur negeri yang jadi tempat penyelenggaraan. Modernisme (westernisme), yang dulu menghegemoni, telah ditinggalkan. Dengan begitu, acara Miss World di Indonesia saya yakini selaras dengan kebudayaan Indonesia. Lebih spesifik lagi, pentas Miss World di Indonesia akan diaromai gemerlap kesenian Indonesia. 

Itu sebabnya, penolakan atas acara final Miss World sungguhlah tidak perlu. Dan Indonesia akan cedera apabila penolakan itu tetap berjalan, karena Negara membiarkan. Sebab, yang akan muncul adalah realitas: betapa petinggi negara begitu gampang dikalahkan oleh orang-orang yang diselimuti ketidakpahaman.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar