|
"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha
Kuasa.., maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya."
(Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945)
Kesadaran
berbangsa (nasionalisme) membuka jalan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan
darah, keringat, dan air mata.
Pada paruh
pertama abad ke-20, nasionalisme menimbulkan gelombang kemerdekaan
negara-negara baru di Asia dan Afrika. Dari Pembukaan UUD 1945 di atas,
nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari kesadaran religius para pendiri
Republik. Kesadaran kuat tentang martabat bangsa merdeka berasal dari
persentuhan mereka dengan literatur sosialisme Barat yang diindonesiakan
menjadi sosialisme religius.
Bagi rakyat
Hindia Belanda sudah terbius lama oleh kapitalisme yang bersekutu dengan
imperialisme, kesadaran revolusioner harus datang dari sumber lain, dari
sosialisme. Nasionalisme Indonesia tak dapat dipisahkan dari sosialisme
religius yang juga tak bertentangan dengan Pancasila. ”Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan” (alinea pertama).
Nasionalisme
religius
Tahap pertama
merdeka melahirkan bangsa dengan identitas baru: bangsa Hindia Belanda menjadi
bangsa Indonesia. Identitas kebangsaan itu tidak statis. Merdeka harus juga
mandiri dalam ketahanan pangan, energi, dan ekonomi. Tahap kedua merdeka adalah
mencapai tujuan bernegara, meninggalkan kemiskinan dan keterbelakangan,
terhindar dari bentuk baru imperialisme, yakni penjajahan ekonomi.
Belum sampai
kepada tujuan itu, semangat religius yang berlebihan mengingkari nasionalisme
sebagai rahim kemerdekaan. Berhubung republik agama bukan amanat konstitusi,
nasionalisme religius menjadi pilihan dengan mengabaikan contradictio in terminis. Agama bersifat universal dan tak kenal
batas bangsa. Nasionalisme berbatas bangsa dan karena itu tak pernah universal.
Tanpa definisi konstitusional, nasionalisme religius rentan mengambil jalan
pragmatisme politik, mengikuti kategori mayoritas-minoritas yang dengan sengaja
dihindari para penyusun konstitusi. Tidak satu agama pun disebut secara
eksplisit dalam UUD 1945.
Nasionalisme
memang sebuah unsur yang membuat bangsa bersatu tanpa terpaksa. Namun,
nasionalisme Indonesia tak berwatak sekuler. Proklamator Bung Hatta dalam
berbagai kesempatan sering menyanyikan kuplet kedua lagu kebangsaan ”Indonesia
Raya”, ”Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua. Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.” Dalam rapat umum di Pematang Siantar, makna kuplet itu
dijelaskannya sebagai ikrar putra bangsa ”untuk memberikan sumbangan kepada
nusa dan bangsa ... supaya negara nasional kita ini kedaulatannya berada di
tangan rakyat bukan di tangan luar” (”Semboyan
Kini: Harus Cepat tapi Selamat”, 23 November 1950).
Pada hari yang
sama, dalam rapat umum di Tarutung, Bung Hatta menjelaskan ”selain dari mendoa kepada Tuhan, kita harus menebus janji kita dengan
bekerja supaya Indonesia abadi. Itulah kewajiban kita. Kita berjanji kepada
diri sendiri supaya menyusun tenaga membanting tulang, supaya kemerdekaan yang
telah kita capai itu abadi sampai ke akhir zaman” (”Hutan Menyimpan Kapital Nasional Kita”). Sang Proklamator
membakar emosi massa bukan dengan nasionalisme chauvinistik ataupun semboyan
primordial, melainkan dengan kedaulatan Republik ke dalam dan ke luar, di
darat, air, dan udara.
Indonesia kini
mudah diserbu produk impor, bahkan untuk sesuatu yang bisa kita buat sendiri.
Kebijakan pemerintah yang begitu longgar, dalam praktiknya meningkatkan
produktivitas bangsa lain dan konsumtivitas bangsa sendiri. Pertumbuhan ekonomi
pun bertumpu pada konsumsi domestik. Sektor produksi semakin lemah, bukan oleh
asing, melainkan oleh kebijakan Republik yang sedikit-sedikit impor. Sulitlah
rakyat membatinkan semboyan ”cinta produk dalam negeri”.
Kekayaan
negeri di atas kertas dikuasai asing yang menancapkan kuku kapitalismenya.
Minyak bumi kita yang bagus kualitasnya dinikmati konsumen luar negeri,
sementara pemerintah impor minyak berkualitas rendah dengan subsidi yang
membebankan keuangan negara. Republik bukan hanya tak berdaya menghadapi
pemburu rente di pasar internasional, melainkan juga tak berdaya sebagai
stabilisator harga di dalam negeri. Harga cabai rawit atau bawang merah pun
bisa memberi kontribusi besar bagi inflasi. Cita-cita luhur bernegara semakin
jauh dengan kedaulatan Republik yang semakin kecil.
Nasionalisme
dalam praktik
Nasionalisme
bukan semangat antiasing, sesuatu yang juga melawan arus zaman globalisasi.
Republik pertama-tama harus merepresentasikan nasionalisme dalam kebijakan
konkret dan laku politik. Rakyat harus melihat pemerintah benar- benar
menghargai dan melindungi kekayaan bangsa. Hak paten untuk produk budaya dan
kerajinan rakyat dipermudah. Produk industri rakyat diberdayakan untuk bersaing
di kancah global. Birokrasi yang memfasilitasi ekonomi rakyat yang pada
gilirannya melahirkan manusia Indonesia yang cinta negeri.
Mentalitas
priayi masih hidup dalam alam bawah sadar pejabat kita kendati keterdidikannya.
”Di Hindia, Tuan, sejauh kuperhatikan, begitu seorang terpelajar mendapat
jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia
ditelan oleh mentalitas umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup”
(Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, 464). Mentalitas kaum terdidik
setelah masuk ke dalam birokrasi pemerintah: ke bawah menindas, ke atas
menjilat, tidak mencukupkan hidupnya dari gaji, mengejar tambahan penghasilan
dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Ketika sumpah
jabatan dan suara hati dideaktivasi, birokrasi korup jadi penyakit akut bangsa.
Otonomi daerah lebih menghasilkan penguasa yang menuntut dilayani daripada
mendekatkan layanan publik kepada masyarakat. Belum banyak pemda berorientasi
pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Masih banyak pejabat terlibat manipulasi
anggaran pembangunan untuk memuaskan kenikmatan duniawinya dan membiayai
politik kekuasaan. Tak heran Kementerian Dalam Negeri menyatakan kekhawatiran,
80 persen daerah otonom cenderung gagal mencapai tujuan. Tak ada jalan pintas
untuk Indonesia adil dan sejahtera. Sejahtera bukan menurut ukuran PDB atau
pendapatan per kapita, jika ukuran itu, berarti jurang lebar antara kaya dan
miskin sudah melewati ambang batas toleransi. Manusia Indonesia harus berdaya
saing di kancah global.
Pembangunan
kita dibiayai dari tumpukan utang hasil gali lubang tutup lubang, padahal utang
berarti beban bagi keuangan negara dan generasi mendatang. Utang luar negeri
tak pernah lepas dari kepentingan ekonomi negara donor dan konsesi yang mereka
terima, yang pada gilirannya membuat Indonesia berbagi kedaulatan dengan asing
di negeri sendiri.
Di tengah
mahalnya bunga utang luar negeri, pemerintah seharusnya membangun transparansi,
integritas, dan efisiensi pengelolaan keuangan negara agar swasta merepatriasi
simpanannya untuk ikut membiayai pembangunan di dalam negeri. Dalam skala
kecil, tampak partisipasi publik dalam menyukseskan kebijakan Pemprov DKI
Jakarta yang belum genap setahun. Dalam skala besar, Konferensi Diaspora
Indonesia II yang digelar di Jakarta, 18-20 Agustus, sebuah momen sinergi
potensi bangsa yang terserak. Nasionalisme harus mulai dari diri sendiri, dari
kaum terdidik, dari teladan birokrasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar