Sabtu, 07 September 2013

Nasionalisme Republik

Nasionalisme Republik
Yonky Karman  ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
KOMPAS, 07 September 2013


"Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa.., maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya." (Alinea ketiga Pembukaan UUD 1945)
Kesadaran berbangsa (nasionalisme) membuka jalan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah, keringat, dan air mata.
Pada paruh pertama abad ke-20, nasionalisme menimbulkan gelombang kemerdekaan negara-negara baru di Asia dan Afrika. Dari Pembukaan UUD 1945 di atas, nasionalisme Indonesia merupakan bagian dari kesadaran religius para pendiri Republik. Kesadaran kuat tentang martabat bangsa merdeka berasal dari persentuhan mereka dengan literatur sosialisme Barat yang diindonesiakan menjadi sosialisme religius.
Bagi rakyat Hindia Belanda sudah terbius lama oleh kapitalisme yang bersekutu dengan imperialisme, kesadaran revolusioner harus datang dari sumber lain, dari sosialisme. Nasionalisme Indonesia tak dapat dipisahkan dari sosialisme religius yang juga tak bertentangan dengan Pancasila. ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” (alinea pertama).
Nasionalisme religius
Tahap pertama merdeka melahirkan bangsa dengan identitas baru: bangsa Hindia Belanda menjadi bangsa Indonesia. Identitas kebangsaan itu tidak statis. Merdeka harus juga mandiri dalam ketahanan pangan, energi, dan ekonomi. Tahap kedua merdeka adalah mencapai tujuan bernegara, meninggalkan kemiskinan dan keterbelakangan, terhindar dari bentuk baru imperialisme, yakni penjajahan ekonomi.
Belum sampai kepada tujuan itu, semangat religius yang berlebihan mengingkari nasionalisme sebagai rahim kemerdekaan. Berhubung republik agama bukan amanat konstitusi, nasionalisme religius menjadi pilihan dengan mengabaikan contradictio in terminis. Agama bersifat universal dan tak kenal batas bangsa. Nasionalisme berbatas bangsa dan karena itu tak pernah universal. Tanpa definisi konstitusional, nasionalisme religius rentan mengambil jalan pragmatisme politik, mengikuti kategori mayoritas-minoritas yang dengan sengaja dihindari para penyusun konstitusi. Tidak satu agama pun disebut secara eksplisit dalam UUD 1945.
Nasionalisme memang sebuah unsur yang membuat bangsa bersatu tanpa terpaksa. Namun, nasionalisme Indonesia tak berwatak sekuler. Proklamator Bung Hatta dalam berbagai kesempatan sering menyanyikan kuplet kedua lagu kebangsaan ”Indonesia Raya”, ”Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semua. Marilah kita mendoa, Indonesia bahagia.” Dalam rapat umum di Pematang Siantar, makna kuplet itu dijelaskannya sebagai ikrar putra bangsa ”untuk memberikan sumbangan kepada nusa dan bangsa ... supaya negara nasional kita ini kedaulatannya berada di tangan rakyat bukan di tangan luar” (”Semboyan Kini: Harus Cepat tapi Selamat”, 23 November 1950).
Pada hari yang sama, dalam rapat umum di Tarutung, Bung Hatta menjelaskan ”selain dari mendoa kepada Tuhan, kita harus menebus janji kita dengan bekerja supaya Indonesia abadi. Itulah kewajiban kita. Kita berjanji kepada diri sendiri supaya menyusun tenaga membanting tulang, supaya kemerdekaan yang telah kita capai itu abadi sampai ke akhir zaman” (”Hutan Menyimpan Kapital Nasional Kita”). Sang Proklamator membakar emosi massa bukan dengan nasionalisme chauvinistik ataupun semboyan primordial, melainkan dengan kedaulatan Republik ke dalam dan ke luar, di darat, air, dan udara.
Indonesia kini mudah diserbu produk impor, bahkan untuk sesuatu yang bisa kita buat sendiri. Kebijakan pemerintah yang begitu longgar, dalam praktiknya meningkatkan produktivitas bangsa lain dan konsumtivitas bangsa sendiri. Pertumbuhan ekonomi pun bertumpu pada konsumsi domestik. Sektor produksi semakin lemah, bukan oleh asing, melainkan oleh kebijakan Republik yang sedikit-sedikit impor. Sulitlah rakyat membatinkan semboyan ”cinta produk dalam negeri”.
Kekayaan negeri di atas kertas dikuasai asing yang menancapkan kuku kapitalismenya. Minyak bumi kita yang bagus kualitasnya dinikmati konsumen luar negeri, sementara pemerintah impor minyak berkualitas rendah dengan subsidi yang membebankan keuangan negara. Republik bukan hanya tak berdaya menghadapi pemburu rente di pasar internasional, melainkan juga tak berdaya sebagai stabilisator harga di dalam negeri. Harga cabai rawit atau bawang merah pun bisa memberi kontribusi besar bagi inflasi. Cita-cita luhur bernegara semakin jauh dengan kedaulatan Republik yang semakin kecil.
Nasionalisme dalam praktik
Nasionalisme bukan semangat antiasing, sesuatu yang juga melawan arus zaman globalisasi. Republik pertama-tama harus merepresentasikan nasionalisme dalam kebijakan konkret dan laku politik. Rakyat harus melihat pemerintah benar- benar menghargai dan melindungi kekayaan bangsa. Hak paten untuk produk budaya dan kerajinan rakyat dipermudah. Produk industri rakyat diberdayakan untuk bersaing di kancah global. Birokrasi yang memfasilitasi ekonomi rakyat yang pada gilirannya melahirkan manusia Indonesia yang cinta negeri.
Mentalitas priayi masih hidup dalam alam bawah sadar pejabat kita kendati keterdidikannya. ”Di Hindia, Tuan, sejauh kuperhatikan, begitu seorang terpelajar mendapat jabatan dalam dinas Gubermen, dia berhenti sebagai terpelajar. Kontan dia ditelan oleh mentalitas umum priyayi: beku, rakus, gila hormat, dan korup” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah, 464). Mentalitas kaum terdidik setelah masuk ke dalam birokrasi pemerintah: ke bawah menindas, ke atas menjilat, tidak mencukupkan hidupnya dari gaji, mengejar tambahan penghasilan dengan menyalahgunakan kekuasaan.
Ketika sumpah jabatan dan suara hati dideaktivasi, birokrasi korup jadi penyakit akut bangsa. Otonomi daerah lebih menghasilkan penguasa yang menuntut dilayani daripada mendekatkan layanan publik kepada masyarakat. Belum banyak pemda berorientasi pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat. Masih banyak pejabat terlibat manipulasi anggaran pembangunan untuk memuaskan kenikmatan duniawinya dan membiayai politik kekuasaan. Tak heran Kementerian Dalam Negeri menyatakan kekhawatiran, 80 persen daerah otonom cenderung gagal mencapai tujuan. Tak ada jalan pintas untuk Indonesia adil dan sejahtera. Sejahtera bukan menurut ukuran PDB atau pendapatan per kapita, jika ukuran itu, berarti jurang lebar antara kaya dan miskin sudah melewati ambang batas toleransi. Manusia Indonesia harus berdaya saing di kancah global.
Pembangunan kita dibiayai dari tumpukan utang hasil gali lubang tutup lubang, padahal utang berarti beban bagi keuangan negara dan generasi mendatang. Utang luar negeri tak pernah lepas dari kepentingan ekonomi negara donor dan konsesi yang mereka terima, yang pada gilirannya membuat Indonesia berbagi kedaulatan dengan asing di negeri sendiri.

Di tengah mahalnya bunga utang luar negeri, pemerintah seharusnya membangun transparansi, integritas, dan efisiensi pengelolaan keuangan negara agar swasta merepatriasi simpanannya untuk ikut membiayai pembangunan di dalam negeri. Dalam skala kecil, tampak partisipasi publik dalam menyukseskan kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang belum genap setahun. Dalam skala besar, Konferensi Diaspora Indonesia II yang digelar di Jakarta, 18-20 Agustus, sebuah momen sinergi potensi bangsa yang terserak. Nasionalisme harus mulai dari diri sendiri, dari kaum terdidik, dari teladan birokrasi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar