Sabtu, 07 September 2013

Terkoyaknya Rasa Keadilan…

Terkoyaknya Rasa Keadilan…
James Luhulima  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 07 September 2013


Rasa keadilan masyarakat kembali terkoyak. Pada 23 Agustus 2013, Mahkamah Agung, melalui putusan peninjauan kembali, membatalkan hukuman 15 tahun penjara untuk Sudjiono Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang semula dinyatakan terbukti melakukan korupsi sehingga merugikan keuangan negara lebih dari Rp 2 triliun.
Putusan PK itu, selain membatalkan putusan kasasi, juga mengeluarkan nama Sudjiono Timan dari daftar pencarian orang. Saat jaksa akan mengeksekusi putusan hakim kasasi pada 7 Desember 2004, Sudjiono sudah melarikan diri. Padahal, pada 3 Desember 2004, empat hari sebelumnya, Sudjiono berada dalam status dicekal dan paspornya sudah ditarik.
Ironisnya, permohonan PK diajukan oleh istri Sudjiono, yang didampingi kuasa hukum Hasdiawati. MA menerima berkas PK itu pada 17 April 2012 dan mengabulkan permohonan tersebut pada 31 Juli 2012.
Padahal, dalam Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 6 Tahun 1988 yang ditandatangani Ketua MA Ali Said, yang diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012, disebutkan, pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima kuasa terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in absentia) tanpa kecuali.
Pertanyaan yang langsung mengemuka adalah mengapa MA mengabulkan permohonan PK itu? Ini seharusnya dijawab lebih dulu oleh MA, mengingat SEMA Nomor 6 Tahun 1988, yang diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012, isinya sangat jelas, pengadilan supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima kuasa terdakwa/terpidana yang tidak hadir tanpa kecuali.
Pertanyaan kedua, mengapa MA melalui putusan PK membatalkan hukuman 15 tahun penjara untuk Sudjiono Timan, yang semula dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Majelis PK berargumen bahwa majelis kasasi yang dipimpin Ketua MA Bagir Manan (waktu itu) melakukan kekeliruan hukum.
Ternyata, perkara itu sebelumnya sudah pernah dimusyawarahkan satu kali. Djoko Sarwoko, Ketua Muda Pidana Khusus MA saat itu, yang memegang perkara PK itu bersama dua hakim agung lain, mengungkapkan hal tersebut. ”Saya kalah suara, dua orang lainnya memilih melepaskan (Sudjiono). Makanya saya memilih mundur, lalu saya tunjuk majelis baru karena saya mau pensiun,” paparnya.
Apa yang dilakukan majelis PK itu sungguh mengoyak rasa keadilan masyarakat. Apalagi keputusan MA tersebut dikeluarkan di tengah-tengah meningkatnya keinginan untuk memberantas korupsi yang sudah merajalela. Badan Pengawas MA menegaskan akan mendalami putusan PK atas Sudjiono Timan.
Saat tengah menanti tindak lanjut dari pendalaman Badan Pengawas MA, tiba-tiba rasa keadilan masyarakat kembali terkoyak oleh ringannya vonis yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa suap pengadaan alat simulasi berkendara di Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Irjen Djoko divonis pidana penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider kurungan enam bulan. Majelis hakim juga memerintahkan agar harta kekayaan Rp 200 miliar yang menjadi barang bukti disita untuk negara.
Dianggap terlalu ringan
Vonis ini lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yakni pidana penjara 18 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun, uang pengganti Rp 32 miliar subsider 5 tahun penjara, ditambah permohonan agar dicabut hak politiknya.
Menurut hakim anggota Anwar, majelis hakim tidak membebani uang pengganti karena beranggapan harta yang disita sudah mencukupi. Sementara mengenai tuntutan jaksa KPK soal pencabutan hak politik, Anwar mengatakan, ”Dicabutnya hak politik, menurut majelis hakim, dipandang berlebihan. Ini mengingat terdakwa dipidana cukup lama, dengan sendirinya akan terseleksi syarat-syarat dalam organisasi politik. Karena itu, majelis hakim tak akan menjatuhkan pidana tambahan tentang hal tersebut.”
Banyak kalangan menginginkan majelis hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada Djoko Susilo. Paling tidak mendekati tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pidana penjara 18 tahun. Profesi Djoko Susilo sebagai penegak hukum, yang mengharuskan dia memberikan teladan kepada masyarakat, menjadikan vonis yang dijatuhkan kepadanya seharusnya mendekati tuntutan penuntut umum.
Meski menganggap vonisnya terlalu ringan, KPK mengapresiasi putusan majelis hakim yang melakukan terobosan dalam konstruksi hukum terhadap dakwaan dan tuntutan terhadap Djoko.
Beruntung ada kabar baik dari Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang menjatuhkan vonis hukuman penjara secara bervariasi kepada 8-12 terdakwa kasus pembunuhan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis.
Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, putusan terhadap anggota Komando Pasukan Khusus TNI AD itu rasional dengan tuntutan pihak oditur militer. Ia menambahkan, ”Putusan itu sekaligus menjawab semua keraguan publik akan independensi hakim.”

Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, ”Dulu saya sempat ragu karena di persidangan banyak faktor yang bisa membuat hakim terganggu. Namun, melihat vonis hakim yang tidak terlalu jauh dari tuntutan untuk tiga pelaku utama, divonis di atas 5 tahun, bahkan di atas 10 tahun, saya melihat hakim sudah berusaha memenuhi rasa keadilan.” ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar