|
Rasa keadilan
masyarakat kembali terkoyak. Pada 23 Agustus 2013, Mahkamah Agung, melalui
putusan peninjauan kembali, membatalkan hukuman 15 tahun penjara untuk Sudjiono
Timan, mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia, yang semula
dinyatakan terbukti melakukan korupsi sehingga merugikan keuangan negara lebih
dari Rp 2 triliun.
Putusan PK
itu, selain membatalkan putusan kasasi, juga mengeluarkan nama Sudjiono Timan
dari daftar pencarian orang. Saat jaksa akan mengeksekusi putusan hakim kasasi
pada 7 Desember 2004, Sudjiono sudah melarikan diri. Padahal, pada 3 Desember
2004, empat hari sebelumnya, Sudjiono berada dalam status dicekal dan paspornya
sudah ditarik.
Ironisnya,
permohonan PK diajukan oleh istri Sudjiono, yang didampingi kuasa hukum
Hasdiawati. MA menerima berkas PK itu pada 17 April 2012 dan mengabulkan
permohonan tersebut pada 31 Juli 2012.
Padahal, dalam
Surat Edaran MA (SEMA) Nomor 6 Tahun 1988 yang ditandatangani Ketua MA Ali
Said, yang diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012, disebutkan, pengadilan
supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima
kuasa terdakwa/terpidana yang tidak hadir (in
absentia) tanpa kecuali.
Pertanyaan
yang langsung mengemuka adalah mengapa MA mengabulkan permohonan PK itu? Ini
seharusnya dijawab lebih dulu oleh MA, mengingat SEMA Nomor 6 Tahun 1988, yang
diperbarui melalui SEMA Nomor 1 Tahun 2012, isinya sangat jelas, pengadilan
supaya menolak atau tidak melayani penasihat hukum atau pengacara yang menerima
kuasa terdakwa/terpidana yang tidak hadir tanpa kecuali.
Pertanyaan
kedua, mengapa MA melalui putusan PK membatalkan hukuman 15 tahun penjara untuk
Sudjiono Timan, yang semula dinyatakan terbukti melakukan korupsi. Majelis PK
berargumen bahwa majelis kasasi yang dipimpin Ketua MA Bagir Manan (waktu itu)
melakukan kekeliruan hukum.
Ternyata,
perkara itu sebelumnya sudah pernah dimusyawarahkan satu kali. Djoko Sarwoko,
Ketua Muda Pidana Khusus MA saat itu, yang memegang perkara PK itu bersama dua
hakim agung lain, mengungkapkan hal tersebut. ”Saya kalah suara, dua orang
lainnya memilih melepaskan (Sudjiono). Makanya saya memilih mundur, lalu saya
tunjuk majelis baru karena saya mau pensiun,” paparnya.
Apa yang
dilakukan majelis PK itu sungguh mengoyak rasa keadilan masyarakat. Apalagi
keputusan MA tersebut dikeluarkan di tengah-tengah meningkatnya keinginan untuk
memberantas korupsi yang sudah merajalela. Badan Pengawas MA menegaskan akan
mendalami putusan PK atas Sudjiono Timan.
Saat tengah
menanti tindak lanjut dari pendalaman Badan Pengawas MA, tiba-tiba rasa keadilan
masyarakat kembali terkoyak oleh ringannya vonis yang dijatuhkan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap terdakwa suap pengadaan alat simulasi
berkendara di Korps Lalu Lintas Polri, Inspektur Jenderal Djoko Susilo.
Irjen Djoko
divonis pidana penjara 10 tahun dan denda sebesar Rp 500 juta subsider kurungan
enam bulan. Majelis hakim juga memerintahkan agar harta kekayaan Rp 200 miliar
yang menjadi barang bukti disita untuk negara.
Dianggap terlalu ringan
Vonis ini
lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yakni pidana penjara 18
tahun dan denda Rp 1 miliar subsider kurungan 1 tahun, uang pengganti Rp 32
miliar subsider 5 tahun penjara, ditambah permohonan agar dicabut hak
politiknya.
Menurut hakim
anggota Anwar, majelis hakim tidak membebani uang pengganti karena beranggapan
harta yang disita sudah mencukupi. Sementara mengenai tuntutan jaksa KPK soal
pencabutan hak politik, Anwar mengatakan, ”Dicabutnya hak politik, menurut
majelis hakim, dipandang berlebihan. Ini mengingat terdakwa dipidana cukup
lama, dengan sendirinya akan terseleksi syarat-syarat dalam organisasi politik.
Karena itu, majelis hakim tak akan menjatuhkan pidana tambahan tentang hal
tersebut.”
Banyak
kalangan menginginkan majelis hakim menjatuhkan hukuman yang lebih berat kepada
Djoko Susilo. Paling tidak mendekati tuntutan jaksa penuntut umum, yakni pidana
penjara 18 tahun. Profesi Djoko Susilo sebagai penegak hukum, yang mengharuskan
dia memberikan teladan kepada masyarakat, menjadikan vonis yang dijatuhkan kepadanya
seharusnya mendekati tuntutan penuntut umum.
Meski
menganggap vonisnya terlalu ringan, KPK mengapresiasi putusan majelis hakim
yang melakukan terobosan dalam konstruksi hukum terhadap dakwaan dan tuntutan
terhadap Djoko.
Beruntung ada
kabar baik dari Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta yang menjatuhkan vonis
hukuman penjara secara bervariasi kepada 8-12 terdakwa kasus pembunuhan empat
tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta,
Kamis.
Ketua Komisi
Yudisial Suparman Marzuki mengatakan, putusan terhadap anggota Komando Pasukan
Khusus TNI AD itu rasional dengan tuntutan pihak oditur militer. Ia
menambahkan, ”Putusan itu sekaligus
menjawab semua keraguan publik akan independensi hakim.”
Wakil Menteri
Hukum dan HAM Denny Indrayana mengatakan, ”Dulu
saya sempat ragu karena di persidangan banyak faktor yang bisa membuat hakim
terganggu. Namun, melihat vonis hakim yang tidak terlalu jauh dari tuntutan
untuk tiga pelaku utama, divonis di atas 5 tahun, bahkan di atas 10 tahun, saya
melihat hakim sudah berusaha memenuhi rasa keadilan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar