Sabtu, 07 September 2013

Berpulangnya Sang Intelektual Amatir

Berpulangnya Sang Intelektual Amatir
Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University
KORAN SINDO, 07 September 2013



Pagi hari 2 September 2013 saya tertegun membaca pesan di dinding akun media sosial bahwa Profesor Soetandyo Wignyosoebroto berpulang ke hadirat Ilahi Robbi pada pukul 7.10 WIB di Semarang. 

Sejenak ingatan saya menerawang ke lantai 2 ruangan FISIP Universitas Airlangga, tempat kami biasa bertemu dan Prof Soetandyo menyapa saya dengan panggilan “Hei anak muda”, sebelum kita kemudian terlibat dalam persoalan keseharian rakyat sampai perkembangan ilmu sosial mutakhir. Cakrawala kehidupan Profesor Soetandyo sangat kaya dan keberpihakan beliau terhadap mereka yang tertindas dan disisihkan begitu kuat ditangkap baik oleh saya maupun mereka yang mengenalnya. 

Apabila diperkenankan untuk merangkum karakter intelektual beliau, penulis akan memberi predikat beliau “sang Intelektual Amatir”. Tentu saja banyak yang akan merasa kaget dan mengernyitkan dahi atas julukan bagi Profesor Soetandyo dan kiprah ilmu dan amalnya sebagai seorang intelektual amatir. Ini tentu tidak dapat dilepaskan dari persepsi umum tentang amatir yang selalu ditempatkan subordinat dan di bawah istilah profesional. 

Pemahaman awal kita tentang amatir seringkali dibentuk oleh pemahaman tentang petinju amatir yang baru masuk dan mempelajari seluk beluk dunia tinju yang levelnya berada di bawah petinju profesional, demikian pula dengan persepsi yang sama dibentuk ketika kita memahami kontras amatir dan profesional baik dalam profesi-profesi lain seperti pemusik maupun akademisi. 

Kendati demikian, dalam artikel ini penulis berangkat dari pemahaman yang berbeda tentang intelektual amatir yang penulis persembahkan kepada mendiang Profesor Soetandyo Wignyosoebroto yang penulis hormati dan sayangi. Dalam salah satu kuliah prestisius The Reith Lectures berjudul Speaking Truth to Power,  Prof Edward Said (1993) menjelaskan bahwa intelektual amatir adalah seorang intelektual yang berbicara pada khalayak publik, menjelajahi wilayah-wilayah pengembaraan ilmu yang melampaui profesionalitas kajiannya (Edward Said adalah seorang profesor dalam kajian sastra) untuk berbicara tentang kebenaran pada kekuasaan, dan membela kaum papa dan kecil dalam ranah politik, sosial, dan kebudayaan. 

Seorang intelektual amatir menolak untuk mengompromikan prinsip-prinsip universalitas kebenaran yang diyakininya demi loyalitas terhadap tujuan-tujuan lain seperti kelancaran jenjang karier akademik, ewuh pakewuh terhadap elite politik, maupun kesetiaan terhadap primordialisme agama, ras, gender, maupun nasionalisme secara sempit. 

Bagi intelektual amatir seperti Edward Said demikian pula Profesor Soetandyo Wignyosoebroto, kesetiaan pada entitas-entitas lokal primordial sampai pada kompromi untuk tidak menyerukan kebenaran kepada kekuasaan atas dasar kesungkanan kolegialitas adalah awal dari sikap koruptif par excellence dari setiap intelektual. Mengingat justru dengan keberanian untuk mengungkapkan kritik-kritik sosial genuine terhadap korps kolega, entitas agama, suku, 

sampai pada semangat kebangsaan yang picik (berbeda dengan nasionalisme inklusif) atas nama nilai-nilai kemanusiaan itulah kristal bening kebenaran akan mengungkapkan dirinya. Amatirisme intelektual yang melintasi batas dari Profesor Soetandyo tampak jelas dalam orasi beliau saat menerima penghargaan Yap Thian Hiem Award pada 2011 ketika beliau menegaskan bahwa humanity! Perikemanusiaan! Adalah yang terutama harus dibela dan diperjuangkan melampaui perbedaan rasial, religi, jenis kelamin, kebangsaan, bahkan sexual preference. 

Demikian pula semangat kemanusiaan inilah yang menjadi prinsip yang diyakini Soekarno bahwa betapa pun tingginya semangat kebangsaan, namun asa perikemanusiaan yang adil dan beradab harus didahulukan mendahului asas persatuan Indonesia. Dimensi lain dari politik amatirisme intelektual dari Profesor Soetandyo tampak jelas disaksikan oleh kami para siswa dan anak didiknya. 

Pada saat tragedi Lumpur Lapindo mengaliri tanah, sawah, dan harta milik korban di daerah Porong Sidoarjo, teladan sikap dari Prof Soetandyo yang berani turut menyerukan bahwa ini kesalahan korporasi daripada berkompromi terhadap kekuasaan untuk ikut menyatakan bahwa tragedi tersebut bencana alam menjadi cambuk bagi kami para dosen muda untuk berpihak pada kebenaran. 

Tidak hanya itu, beliau bahkan mengajarkan sikap intelektual kepada kami dengan turut mengajar pendidikan hukum kritis kepada pengungsi Pasar Baru Porong agar mereka sadar hakhak mereka sebagai warga negara, sungguh sebuah sikap teladan yang langka di era komersialisasi dan komodifikasi intelektual. 

Intelektual Selebritas 

ApabilasikapspartanEdward Said untuk bicara benar pada kekuasaan dan mengungkapkan yang salah sebagai salah kepada publik ditempa dari kepahitan hidup sebagai warga Palestina di bawah pendudukan Israel, dalam perbincangan akrab dengan saya sikap patriotik humanis dari Profesor Soetandyo ini ditempa oleh semangat hidup dalam keluarga gerilya yang digembleng zaman era pergerakan nasional, dan terutama periode tahun 60-an di Amerika Serikat di era kebangkitan gerakan civil liberties dan new left ketika pada saat bersamaan beliau tengah mengambil studi di Universitas Winconsin. 

Zaman getir dan sukar kerapkali membentuk karakter manusia yang tegar dan tak mudah berkompromi dengan kekuasaan, namun tantangan saat ini lebih berat di era Indonesia post-authoritarian. Gejala politik transaksional yang tumbuh dan membiak di era demokrasi elitisme bersamaan dengan menjamurnya tayangan-tayangan media yang diracik untuk membingkai peristiwa politik layaknya sebuah drama opera sabun telah memproduksi intelektual selebritas yang merespons itu semua secara dangkal, tidak menggali pada dasar substansi kemanusiaan dan hikmah kebijaksanaan dari setiap peristiwa yang ada. 

Seperti jauh-jauh hari diungkapkan oleh sosiolog Lewis Coser (1973) dalam The Intellectual as Celebrity, seorang intelektual seleb memiliki jangkauan audiens yang luas seperti intelektual publik, namun genre intelektual seleb ini kiprahnya kurang ditempa dalam kawah candradimuka komunitas akademik yang kuat serta tuntutan menyerukan kebenaran kepada kekuasaan. 

Akibat itu, kita menyaksikan bukan lahirnya kalangan intelektual, tapi sekadar komentator-komentator politik yang pandangannya tidak menghunjam pada relung-relung kedalaman analitis keilmuan dan tidak lebih berani daripada obrolan khalayak umum di kafe maupun warung kopi. Dalam kondisi demikian berbeda dengan intelektual, para komentator ini kerapkali bersikap kompromis terhadap kalangan elite politik demi kepentingan-kepentingan karier dan material atas nama tarikan gravitasi perputaran dunia politik yang telah menjadi industri tersendiri. 

Dalam renungan kritis atas apa yang terjadi saat ini, bukan berarti sikap karakter amatir dari sikap intelektual teladan Profesor Soetandyo harus menyepi dari hiruk-pikuk panggung media massa, namun justru saatnyalah pijar-pijar kecendekiawanan yang menjadi teladan sikap dari Profesor Soetandyo Wignyosoebroto yang hidup di rumah dinas dan jalan ke kampus dengan sepeda ontel semestinya lebih mewarnai dunia intelektual kita di panggung ruang publik agar mereka yang dipinggirkan tidak tersisihkan. Profesor Soetandyo Wignyosoebroto berpulanglah dengan tenang di dalam kasih Allah SWT ditemani oleh ilmu dan amalmu. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar