Kamis, 12 September 2013

Miss World dan Refleksi Identitas Kita

Miss World dan Refleksi Identitas Kita
Said Aqil Siradj ;    Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
KOMPAS, 12 September 2013


Miss World, dua kata ini kembali hadir dalam suasana riuh. Hampir-hampir keriuhannya menutupi gejolak tempe dan tahu yang harganya melonjak.

Terjadilah gegeran yang terus berulang saban perhelatan wanita cantik sedunia itu mengemuka. Ada pro-kontra, bahkan tuntutan mengadakan ”sidang itsbat” dengan mengumpulkan semua ormas Islam menyatakan penolakan terhadap Miss World. Miss World akhirnya tetap digelar di Bali dan aman-aman saja.

Fetisisme

Dominasi perspektif yang menjalari kepala orang amat meriah. Masyarakat sekonyong-konyong tersedak atas cangkokan atau sosialisasi isu ini-itu. Betapapun tak jadi bagian apa-apa dari masyarakat, ia hadir bagai tak tertahan.

Ini bukan soal ekonomi semisal anak yang kekurangan gizi atau warga yang makan nasi tiwul lantaran tak mampu beli beras. Atau, kasus seorang lansia yang mati mendadak saat mengambil BLSM dan ternyata jatahnya sudah ditilap orang lain. Fakta ini begitu mudah dilupakan.

Coba tengok, masyarakat dibuat asyik sibuk memelototi berita sensasional selebritas yang menampang hampir setiap hari di berbagai media. Gegarnya seakan-akan melebihi kepentingan nasional. Skandal asmara berbaur seks selebritas papan atas telah menenggelamkan berita politik, budaya, dan ekonomi yang tak kalah panasnya tengah menggedor jantung kehidupan bangsa ini. Apatah kata, publik bangsa ini memang mudah tersengat oleh perhelatan selebritas dibandingkan dengan kisah mencerahkan.

Di sisi lain, kisah anak bangsa yang berhasil mengukir prestasi dan dedikasi dalam logika pasar publik yang semacam ini laksana kapas yang mudah diterbangkan dan disaput habis oleh terjangan angin, betapapun hanya sepoi-sepoi. Sebut saja kisah para jawara olimpiade fisika yang menangguk prestasi di arena internasional. Atau, kisah mereka yang bergelut dalam pendidikan masyarakat desa dan anak jalanan, menciptakan energi alternatif, atau pula kisah mereka yang menyuntuki kebudayaan dalam sebuah gerakan sunyi demi menguak tabir hegemoni. Kisah itu dipandang kurang sedap dan seksi: tak perlu diplototi serius dengan bangga.

Ada apa dengan bangsa ini? Globalisasikah yang membuat bangsa ini justru tak berdaya? Kita tampak tiarap dibandingkan dengan China dan India yang, mengutip Joseph Stiglitz, menjadi contoh negara yang sukses memerdayai globalisasi sehingga mampu menggenjot ekonominya dan mengelola kebudayaannya.

Kita kerap gemborkan bahwa negeri kita kaya dengan kemajemukan budaya, tetapi coba kita tatapi, dalam berbagai iklan yang setiap hari tayang di media massa: yang disebut cantik itu orang berambut lurus, bertubuh langsing, dan berkulit putih meski harus merombak penampilannya. Padahal, kita sungguh penuh dengan ragam konsep kecantikan yang berasal dari kebudayaan yang ada. Akibat penyeragaman dan komodifikasi, banyak konsep kecantikan yang multikultural terpelanting, bahkan hanya menjadi tayangan ”primitif”. Pinjam ungkapan Theodore Adorno, inilah cerita hidup dalam masyarakat kapitalis ketika produksi dan konsumsi budaya sudah terstandardisasi.

Nah, dalam situasi seperti ini, masuk akal jika penampilan wajah ayu yang berkriteria global dan terstandardisasi menjadi idol yang tak habis-habisnya dipuja. Sebuah gaya hidup yang amat mudah menghinggapi gempita benak orang. Inikah budaya populer yang membuat masyarakat dipicu mengingkari upaya berpikir rasional dan menciptakan respons sentimental mereka sendiri? Mereka digiring melawan rangsangan intelektual dan dijadikan sebagai sasaran empuk kekonsumtifan, iklan, impian, dan fantasi yang laku dijual.

Banyak ruang yang dipersembahkan dan sebagai penyalur sempurna bagi pelampiasan hasrat kekonsumtifan dan fetisisme. Fetisisme adalah praktik pemujaan yang membuat nilai substansial dari sesuatu jadi hilang hingga yang terjadi kemudian: nilai tukar semata. Terlebih lagi, karena masyarakat kita masih terbiasa dengan budaya lisan, budaya menonton terlebih seputar selebritas yang tampil di sejumlah ruang publik akan menjadi kenikmatan tak tertandingi. Kita memuja idola-idola lebih dari diri kita sendiri. Dalam fetisisme komoditas, asas manfaat dari sifat memuja diambil alih oleh asas pertukaran. Balasannya, mereka puas dan bangga.

Darurat identitas

Namun, secara tak sadar, pada saat itulah mereka hanya mengalami euforia semu dan kesadaran palsu. Konsumen ”dijebak” dan ”dikurung” dalam lingkaran pemujaan sehingga mereka menjadi pasif, lemah, dan rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi. Kita menjadi ”mati suri” dalam pemujaan semu. Manfaat tak lagi bisa mendapat tempat pada masyarakat yang telah diracuni sifat fetis. Lagi-lagi mengutip Adorno, inikah ”rahasia sejati” keberhasilan konspirasi kapitalisme lewat budaya populer? Jadilah kita korban fetisisme komoditas manakala relasi sosial dan apresiasi budaya diobyektifikasi melalui pemujaan. Alhasil, ia bisa menyamarkan dirinya sebagai obyek kenikmatan.

Sejak krisis multidimensional, bangsa ini selalu dirundung masalah. Dan, masalah yang paling berat adalah krisis identitas dan kemanusiaan. Khalayak lebih mudah mendewakan penampilan lahiriah, termasuk dalam hal keagamaan dengan meniru-niru budaya asing.

Krisis identitas inilah yang kemudian membutakan mata hati kita melihat kebenaran dan keadilan. Identitas yang tak jelas membuat kebenaran dilihat secara abu-abu, tak lagi jelas kebenarannya. Kebenaran menjadi abstrak. Keadilan dimaknai tunggal sebagai keadilan individu. Keadilan untuk masyarakat banyak hanyalah mimpi di siang bolong. Dan kini, sebagaimana kita saksikan dalam keriuhan Miss World, semua berebut simpati dan berdebat mengenai kebenaran dan keadilan.

Popularitas dapat diibaratkan lampu kilat kamera yang tiba-tiba menyilaukan, tetapi lenyap seketika. Popularitas adalah produk budaya instan yang mengagungkan pesona lahir yang sesaat dan mengabaikan keluhuran akal budi yang bersifat kekal.


Budaya pop telah memasuki segala hal dalam kehidupan kita, mengonsep serta mengorupsi pemikiran dan laku budaya masa kini. Termasuk pula dalam ihwal spiritualitas dan religiositas. Pada akhirnya orang sulit membedakan mana versi yang direkayasa untuk memuaskan keinginan diri sendiri. Esensi dan simbol saling dipertukarkan secara bebas. Kita jadi sangat sulit membedakan yang maya dari yang nyata atau fakta dari fiksi. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar