|
Miss World, dua
kata ini kembali hadir dalam suasana riuh. Hampir-hampir keriuhannya menutupi
gejolak tempe dan tahu yang harganya melonjak.
Terjadilah gegeran yang terus berulang saban perhelatan
wanita cantik sedunia itu mengemuka. Ada pro-kontra, bahkan tuntutan mengadakan
”sidang itsbat” dengan mengumpulkan semua ormas Islam menyatakan penolakan
terhadap Miss World. Miss World akhirnya tetap digelar di Bali dan aman-aman
saja.
Fetisisme
Dominasi perspektif yang menjalari kepala orang amat meriah.
Masyarakat sekonyong-konyong tersedak atas cangkokan atau sosialisasi isu
ini-itu. Betapapun tak jadi bagian apa-apa dari masyarakat, ia hadir bagai tak
tertahan.
Ini bukan soal ekonomi semisal anak yang kekurangan gizi atau
warga yang makan nasi tiwul lantaran
tak mampu beli beras. Atau, kasus seorang lansia yang mati mendadak saat
mengambil BLSM dan ternyata jatahnya sudah ditilap orang lain. Fakta ini begitu
mudah dilupakan.
Coba tengok, masyarakat dibuat asyik sibuk memelototi berita
sensasional selebritas yang menampang hampir setiap hari di berbagai media. Gegarnya
seakan-akan melebihi kepentingan nasional. Skandal asmara berbaur seks
selebritas papan atas telah menenggelamkan berita politik, budaya, dan ekonomi
yang tak kalah panasnya tengah menggedor jantung kehidupan bangsa ini. Apatah
kata, publik bangsa ini memang mudah tersengat oleh perhelatan selebritas
dibandingkan dengan kisah mencerahkan.
Di sisi lain, kisah anak bangsa yang berhasil mengukir
prestasi dan dedikasi dalam logika pasar publik yang semacam ini laksana kapas
yang mudah diterbangkan dan disaput habis oleh terjangan angin, betapapun hanya
sepoi-sepoi. Sebut saja kisah para jawara olimpiade fisika yang menangguk
prestasi di arena internasional. Atau, kisah mereka yang bergelut dalam
pendidikan masyarakat desa dan anak jalanan, menciptakan energi alternatif,
atau pula kisah mereka yang menyuntuki kebudayaan dalam sebuah gerakan sunyi
demi menguak tabir hegemoni. Kisah itu dipandang kurang sedap dan seksi: tak
perlu diplototi serius dengan bangga.
Ada apa dengan bangsa ini? Globalisasikah yang membuat bangsa
ini justru tak berdaya? Kita tampak tiarap dibandingkan dengan China dan India
yang, mengutip Joseph Stiglitz, menjadi contoh negara yang sukses memerdayai
globalisasi sehingga mampu menggenjot ekonominya dan mengelola kebudayaannya.
Kita kerap gemborkan bahwa negeri kita kaya dengan
kemajemukan budaya, tetapi coba kita tatapi, dalam berbagai iklan yang setiap
hari tayang di media massa: yang disebut cantik itu orang berambut lurus,
bertubuh langsing, dan berkulit putih meski harus merombak penampilannya.
Padahal, kita sungguh penuh dengan ragam konsep kecantikan yang berasal dari
kebudayaan yang ada. Akibat penyeragaman dan komodifikasi, banyak konsep
kecantikan yang multikultural terpelanting, bahkan hanya menjadi tayangan
”primitif”. Pinjam ungkapan Theodore Adorno, inilah cerita hidup dalam
masyarakat kapitalis ketika produksi dan konsumsi budaya sudah
terstandardisasi.
Nah, dalam situasi seperti ini, masuk akal jika penampilan
wajah ayu yang berkriteria global dan terstandardisasi menjadi idol yang
tak habis-habisnya dipuja. Sebuah gaya hidup yang amat mudah menghinggapi
gempita benak orang. Inikah budaya populer yang membuat masyarakat dipicu
mengingkari upaya berpikir rasional dan menciptakan respons sentimental mereka
sendiri? Mereka digiring melawan rangsangan intelektual dan dijadikan sebagai
sasaran empuk kekonsumtifan, iklan, impian, dan fantasi yang laku dijual.
Banyak ruang yang dipersembahkan dan sebagai penyalur
sempurna bagi pelampiasan hasrat kekonsumtifan dan fetisisme. Fetisisme adalah
praktik pemujaan yang membuat nilai substansial dari sesuatu jadi hilang hingga
yang terjadi kemudian: nilai tukar semata. Terlebih lagi, karena masyarakat
kita masih terbiasa dengan budaya lisan, budaya menonton terlebih seputar
selebritas yang tampil di sejumlah ruang publik akan menjadi kenikmatan tak
tertandingi. Kita memuja idola-idola lebih dari diri kita sendiri. Dalam
fetisisme komoditas, asas manfaat dari sifat memuja diambil alih oleh asas
pertukaran. Balasannya, mereka puas dan bangga.
Darurat identitas
Namun, secara tak sadar, pada saat itulah mereka hanya
mengalami euforia semu dan kesadaran palsu. Konsumen ”dijebak” dan ”dikurung”
dalam lingkaran pemujaan sehingga mereka menjadi pasif, lemah, dan rentan
terhadap manipulasi dan eksploitasi. Kita menjadi ”mati suri” dalam pemujaan
semu. Manfaat tak lagi bisa mendapat tempat pada masyarakat yang telah diracuni
sifat fetis. Lagi-lagi mengutip Adorno, inikah ”rahasia sejati” keberhasilan
konspirasi kapitalisme lewat budaya populer? Jadilah kita korban fetisisme
komoditas manakala relasi sosial dan apresiasi budaya diobyektifikasi melalui
pemujaan. Alhasil, ia bisa menyamarkan dirinya sebagai obyek kenikmatan.
Sejak krisis multidimensional, bangsa ini selalu dirundung
masalah. Dan, masalah yang paling berat adalah krisis identitas dan
kemanusiaan. Khalayak lebih mudah mendewakan penampilan lahiriah, termasuk
dalam hal keagamaan dengan meniru-niru budaya asing.
Krisis identitas inilah yang kemudian membutakan mata hati
kita melihat kebenaran dan keadilan. Identitas yang tak jelas membuat kebenaran
dilihat secara abu-abu, tak lagi jelas kebenarannya. Kebenaran menjadi abstrak.
Keadilan dimaknai tunggal sebagai keadilan individu. Keadilan untuk masyarakat
banyak hanyalah mimpi di siang bolong. Dan kini, sebagaimana kita saksikan
dalam keriuhan Miss World, semua
berebut simpati dan berdebat mengenai kebenaran dan keadilan.
Popularitas dapat diibaratkan lampu kilat kamera yang
tiba-tiba menyilaukan, tetapi lenyap seketika. Popularitas adalah produk budaya
instan yang mengagungkan pesona lahir yang sesaat dan mengabaikan keluhuran
akal budi yang bersifat kekal.
Budaya pop telah memasuki segala hal dalam kehidupan kita,
mengonsep serta mengorupsi pemikiran dan laku budaya masa kini. Termasuk pula
dalam ihwal spiritualitas dan religiositas. Pada akhirnya orang sulit
membedakan mana versi yang direkayasa untuk memuaskan keinginan diri sendiri.
Esensi dan simbol saling dipertukarkan secara bebas. Kita jadi sangat sulit
membedakan yang maya dari yang nyata atau fakta dari fiksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar