Kamis, 12 September 2013

Korban Salah Asuhan

Korban Salah Asuhan
Daoed Joesoef ;    Alumnus Université Pluridisciplinaire Pantheon-Sorbonne
KOMPAS, 12 September 2013


Harian Kompas edisi 9 September 2013 memberitakan suatu kecelakaan yang terjadi sehari sebelumnya, Minggu (8/9) dini hari, di Jalan Tol Jagorawi. Harian ini memaparkannya di halaman depan karena ini memang bukan kecelakaan biasa.

Kecelakaan ini mengakibatkan jatuh korban 13 orang—6 tewas seketika dan 7 luka-luka. Peristiwa kecelakaan itu sendiri disebabkan ulah seorang anak berusia 13 tahun, yang ternyata salah asuh. Hal ini perlu kita renungi berhubung insiden lalu lintas serupa pernah terjadi karena ulah seorang anak petinggi negeri ini sehabis si anak merayakan malam pergantian tahun.

Rangkaian kecelakaan akibat perbuatan anak-anak Amerika Serikat yang salah asuh sudah disinyalir William V Shannon pada awal 1970-an. Anak-anak Indonesia sekarang kelihatan pula semakin menderita akibat kegagalan orangtua mereka berfungsi selaku orangtua (parents) yang pantas.

Melalui ucapan dan perbuatan, tidak sedikit bapak-ibu berada dalam kebingungan. Standar tingkah laku lama kelihatan tidak berlaku lagi. Ada orangtua yang selalu cekcok dengan nilai-nilai mereka sendiri. Ada yang merasa tahu, tetapi tidak punya nyali untuk mendisiplinkan anak-anak mereka atas nama nilai-nilai tersebut. Bahkan, lebih buruk lagi, mereka meragukan hak-hak mereka untuk membina sikap, kepercayaan, dan perilaku anak-anak mereka.

”Sekolah cinta”

Sungguh ironis bahwa semua kekurangan dan kesulitan tersebut terjadi dewasa ini, pada zaman di mana beredar jauh lebih banyak informasi tepercaya mengenai anak-anak, pembentukan karakter, ketimbang pada zaman-zaman lain dalam sejarah kemanusiaan. Maka, yang tidak ada bukanlah informasi, tetapi keyakinan, kelengahan, dan keteledoran. Para orangtua seakan-akan menganggap anak-anak sebagai suatu ”kebetulan biologis”, bukan suatu ”desain ilahiah”.

Bapak dan ibu seharusnya berfungsi selaku home-makers, bukan home-breakers yang menyebabkan anak-anak stres, kehilangan pegangan, terpaksa berpihak dalam sengketa orang-orang egois yang sebenarnya mereka cintai. Membesarkan anak merupakan tugas yang paling penting dan luhur yang harus bisa kita lakukan. Untuk memenuhinya dengan sukses, kita perlu menempatkan tugas itu di atas segala macam karier.

Sebuah home yang sukses adalah suatu sekolah cinta. Yang diperlukan anak secara alami adalah ”cinta kasih”, bukan ”uang saku”. Apabila anak-anak tidak merasakan cinta kasih itu selama masa pertumbuhannya sejak lahir, mereka tidak akan belajar mencintai orang lain dan menjadi orang dewasa yang bahagia.

Namun, cinta saja tidak cukup. Anak-anak memerlukan pula disiplin jika mereka perlu tumbuh menjadi manusia kompeten, persona yang percaya diri. Tanpa disiplin, orangtua sebenarnya tidak ”membebaskan” anak-anak mereka tumbuh sendirian. Mereka sama saja dengan menyerahkan tugas pembinaan diri anak-anak mereka kepada anak-anak lain, peer group dan media massa, terutama televisi dan film.

Orangtua perlu menyisihkan waktu untuk melaksanakan suatu proyek bersama di rumah sebagai family homework. Perlu sesekali pergi bergandengan tangan mengunjungi pameran buku, karya seni, dan kerajinan tangan serta museum. Alasan tidak ada waktu untuk kebersamaan ini karena habis disita untuk mencari nafkah material yang diperlukan bagi kesejahteraan fisik keluarga adalah tidak mendidik.

Citra tentang affluent society dewasa ini punya demonstration effects yang begitu memukau hingga jangankan anak-anak yang begitu dibanjiri oleh ide sampahan bahwa benda-benda material yang berlimpah ruah merupakan satu keniscayaan. Ide sampahan ini justru membudidayakan materialisme yang destruktif, seperti nafsu koruptif yang kini merajalela. Hal ini sebagai keseluruhan merusak time-scale dan sense of proportion anak-anak.

Harus ada distingsi antara meremehkan materialisme dan keniscayaan suatu etika kerja. Seorang individu bisa saja tidak peduli pada imbalan material as such, tetapi tetap bersikap positif terhadap kerja. Kerja yang baik adalah suatu ekspresi dari kemampuan intelektual atau kepekaan artistik atau kekuatan fisik atau personalitas dari seseorang. Ada kepuasan tersendiri dalam memanfaatkan setiap kepastian human tersebut.

Apabila kerja seseorang tidak menghasilkan suatu karya pribadi yang distingtif, ia masih bisa berupa imbalan psikologis dari ketergolongan terhadap suatu kelompok yang punya elan solidaritas dan kohesinya sendiri.

Mengingat kehidupan di dunia bukanlah surga—di mana semua orang, katanya, bisa bahagia tanpa bekerja dan berhubungan dengan realitas justru mengingatkan kita bahwa manusia dapat lebih berbahagia lahir dan batin, bisa merasa lebih luhur, jika melaksanakan suatu fungsi yang berguna—para orangtua punya kewajiban mendidik anak-anak mereka bersikap positif terhadap kerja dan kekaryaan. 
Sikap ini mengandung penerimaan terhadap hubungan antara usaha dan imbalan; suatu kemauan untuk bekerja, suatu kemampuan untuk memenuhi disiplin, menunda gratifikasi immediat demi realisasi kinerja atau prestasi terpuji di kemudian hari. Dengan kata lain, sikap ini memupuk moralitas tugas, bukan sekadar moralitas aspirasi.

Usaha mendewasakan anak oleh bapak dan ibu mungkin dapat disimpulkan, seperti kata Shannon, dalam satu ungkapan: ”individualitas”, yaitu to be who he or she is dengan segala kekuatan dan ragam personalitas serta distingsi latar belakangnya. Sudah tentu semakin tinggi budi dan kesadaran orangtua, semakin koheren nilai-nilai dari keluarga, semakin memudahkan anak-anak mengembangkan individualitas dan menjauhi individualisme.

Memperadabkan anak diawali dengan pengakuan adanya batasan-batasan. Apabila anak perlu belajar menjadi dewasa, dia harus mulai dengan menghargai orang-orang dewasa yang paling dikenalnya, yaitu bapak-ibu dan kakek-neneknya. Dengan belajar mematuhi bapak-ibunya, anak punya kebebasan dalam batas-batas pasti yang disiapkan orangtuanya dalam menemukan identitasnya sendiri. Dengan belajar menghargai hak-hak orang lain, anak menjadi percaya diri untuk mengklaim hak-haknya sendiri.

Nilai-nilai yang relevan

Lalu, nilai-nilai apa yang relevan bagi kehidupan mendatang, di dunia masa depan? Kita dapat menjawabnya dengan membayangkan anak-anak selaku orang-orang yang menjelang dewasa, dan bertanya lebih banyak rangkaian persoalan pribadi tentang mereka.

Rangkaian persoalan tersebut adalah apakah mereka menuturkan kepada sesamanya dan kepada diri mereka sendiri? Apakah mereka melaksanakan bagian dari tugas mereka dalam karya kolektif yang harus dikerjakan bersama-sama? Apakah mereka sanggup mengartikulasikan dan menyalurkan naluri agresif mereka?

Rangkaian persoalan pribadi mereka yang lain, yang juga perlu ditanyakan adalah apakah mereka mampu menunjukkan kelemahlembutan dan welas asih kepada orang-orang lain? Apakah kepada mereka orang dengan pasti dapat memercayakan uang, kerja, dan tanggung jawab mengenai kesejahteraan orang lain? Lalu, apakah mereka memanfaatkan talenta khas mereka sendiri untuk kebaikan bersama?


Setiap bapak dan ibu patut tahu jawaban yang ingin mereka berikan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika ada kesepakatan tentang tujuan yang perlu diraih, tentu tidak akan ada penolakan yang mendasar terhadap nilai-nilai. Bagaimana seorang anak tumbuh menjadi dewasa bergantung—sebagian—pada keturunan. Namun, hal ini untuk sebagian terbesar bergantung pada sejauh mana orangtua cukup memedulikan kondisi anaknya, mendesakkan dan melestarikan nilai-nilai yang dianggap luhur. itu berarti, menetapkan dan menjunjung tinggi tanggung jawab rumah, home responsibilities. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar