|
Harian Kompas edisi 9 September 2013
memberitakan suatu kecelakaan yang terjadi sehari sebelumnya, Minggu (8/9) dini
hari, di Jalan Tol Jagorawi. Harian ini memaparkannya di halaman depan karena
ini memang bukan kecelakaan biasa.
Kecelakaan ini mengakibatkan jatuh korban 13 orang—6 tewas
seketika dan 7 luka-luka. Peristiwa kecelakaan itu sendiri disebabkan ulah
seorang anak berusia 13 tahun, yang ternyata salah asuh. Hal ini perlu kita
renungi berhubung insiden lalu lintas serupa pernah terjadi karena ulah seorang
anak petinggi negeri ini sehabis si anak merayakan malam pergantian tahun.
Rangkaian kecelakaan akibat perbuatan anak-anak Amerika
Serikat yang salah asuh sudah disinyalir William V Shannon pada awal 1970-an.
Anak-anak Indonesia sekarang kelihatan pula semakin menderita akibat kegagalan
orangtua mereka berfungsi selaku orangtua (parents)
yang pantas.
Melalui ucapan dan perbuatan, tidak sedikit bapak-ibu berada
dalam kebingungan. Standar tingkah laku lama kelihatan tidak berlaku lagi. Ada
orangtua yang selalu cekcok dengan nilai-nilai mereka sendiri. Ada yang merasa
tahu, tetapi tidak punya nyali untuk mendisiplinkan anak-anak mereka atas nama
nilai-nilai tersebut. Bahkan, lebih buruk lagi, mereka meragukan hak-hak mereka
untuk membina sikap, kepercayaan, dan perilaku anak-anak mereka.
”Sekolah cinta”
Sungguh ironis bahwa semua kekurangan dan kesulitan tersebut
terjadi dewasa ini, pada zaman di mana beredar jauh lebih banyak informasi
tepercaya mengenai anak-anak, pembentukan karakter, ketimbang pada zaman-zaman
lain dalam sejarah kemanusiaan. Maka, yang tidak ada bukanlah informasi, tetapi
keyakinan, kelengahan, dan keteledoran. Para orangtua seakan-akan menganggap
anak-anak sebagai suatu ”kebetulan biologis”, bukan suatu ”desain ilahiah”.
Bapak dan ibu seharusnya berfungsi selaku home-makers,
bukan home-breakers yang menyebabkan anak-anak stres, kehilangan
pegangan, terpaksa berpihak dalam sengketa orang-orang egois yang sebenarnya
mereka cintai. Membesarkan anak merupakan tugas yang paling penting dan luhur
yang harus bisa kita lakukan. Untuk memenuhinya dengan sukses, kita perlu
menempatkan tugas itu di atas segala macam karier.
Sebuah home yang sukses adalah suatu sekolah cinta.
Yang diperlukan anak secara alami adalah ”cinta kasih”, bukan ”uang saku”.
Apabila anak-anak tidak merasakan cinta kasih itu selama masa pertumbuhannya
sejak lahir, mereka tidak akan belajar mencintai orang lain dan menjadi orang
dewasa yang bahagia.
Namun, cinta saja tidak cukup. Anak-anak memerlukan pula
disiplin jika mereka perlu tumbuh menjadi manusia kompeten, persona yang
percaya diri. Tanpa disiplin, orangtua sebenarnya tidak ”membebaskan” anak-anak
mereka tumbuh sendirian. Mereka sama saja dengan menyerahkan tugas pembinaan
diri anak-anak mereka kepada anak-anak lain, peer group dan media
massa, terutama televisi dan film.
Orangtua perlu menyisihkan waktu untuk melaksanakan suatu
proyek bersama di rumah sebagai family
homework. Perlu sesekali pergi bergandengan tangan mengunjungi pameran
buku, karya seni, dan kerajinan tangan serta museum. Alasan tidak ada waktu
untuk kebersamaan ini karena habis disita untuk mencari nafkah material yang
diperlukan bagi kesejahteraan fisik keluarga adalah tidak mendidik.
Citra tentang affluent
society dewasa ini punya demonstration
effects yang begitu memukau hingga jangankan anak-anak yang begitu
dibanjiri oleh ide sampahan bahwa benda-benda material yang berlimpah ruah
merupakan satu keniscayaan. Ide sampahan ini justru membudidayakan materialisme
yang destruktif, seperti nafsu koruptif yang kini merajalela. Hal ini sebagai
keseluruhan merusak time-scale dan sense of proportion anak-anak.
Harus ada distingsi antara meremehkan materialisme dan
keniscayaan suatu etika kerja. Seorang individu bisa saja tidak peduli pada
imbalan material as such, tetapi tetap bersikap positif terhadap
kerja. Kerja yang baik adalah suatu ekspresi dari kemampuan intelektual atau
kepekaan artistik atau kekuatan fisik atau personalitas dari seseorang. Ada
kepuasan tersendiri dalam memanfaatkan setiap kepastian human tersebut.
Apabila kerja seseorang tidak menghasilkan suatu karya
pribadi yang distingtif, ia masih bisa berupa imbalan psikologis dari
ketergolongan terhadap suatu kelompok yang punya elan solidaritas dan kohesinya
sendiri.
Mengingat kehidupan di dunia bukanlah surga—di mana semua
orang, katanya, bisa bahagia tanpa bekerja dan berhubungan dengan realitas
justru mengingatkan kita bahwa manusia dapat lebih berbahagia lahir dan batin,
bisa merasa lebih luhur, jika melaksanakan suatu fungsi yang berguna—para
orangtua punya kewajiban mendidik anak-anak mereka bersikap positif terhadap
kerja dan kekaryaan.
Sikap ini mengandung penerimaan terhadap hubungan antara
usaha dan imbalan; suatu kemauan untuk bekerja, suatu kemampuan untuk memenuhi
disiplin, menunda gratifikasi immediat demi realisasi kinerja atau
prestasi terpuji di kemudian hari. Dengan kata lain, sikap ini memupuk
moralitas tugas, bukan sekadar moralitas aspirasi.
Usaha mendewasakan anak oleh bapak dan ibu mungkin dapat
disimpulkan, seperti kata Shannon, dalam satu ungkapan: ”individualitas”, yaitu to be who he or she is dengan
segala kekuatan dan ragam personalitas serta distingsi latar belakangnya. Sudah
tentu semakin tinggi budi dan kesadaran orangtua, semakin koheren nilai-nilai
dari keluarga, semakin memudahkan anak-anak mengembangkan individualitas dan
menjauhi individualisme.
Memperadabkan anak diawali dengan pengakuan adanya
batasan-batasan. Apabila anak perlu belajar menjadi dewasa, dia harus mulai
dengan menghargai orang-orang dewasa yang paling dikenalnya, yaitu bapak-ibu
dan kakek-neneknya. Dengan belajar mematuhi bapak-ibunya, anak punya kebebasan
dalam batas-batas pasti yang disiapkan orangtuanya dalam menemukan identitasnya
sendiri. Dengan belajar menghargai hak-hak orang lain, anak menjadi percaya
diri untuk mengklaim hak-haknya sendiri.
Nilai-nilai yang relevan
Lalu, nilai-nilai apa yang relevan bagi kehidupan mendatang,
di dunia masa depan? Kita dapat menjawabnya dengan membayangkan anak-anak
selaku orang-orang yang menjelang dewasa, dan bertanya lebih banyak rangkaian
persoalan pribadi tentang mereka.
Rangkaian persoalan tersebut adalah apakah mereka menuturkan
kepada sesamanya dan kepada diri mereka sendiri? Apakah mereka melaksanakan
bagian dari tugas mereka dalam karya kolektif yang harus dikerjakan
bersama-sama? Apakah mereka sanggup mengartikulasikan dan menyalurkan naluri
agresif mereka?
Rangkaian persoalan pribadi mereka yang lain, yang juga perlu
ditanyakan adalah apakah mereka mampu menunjukkan kelemahlembutan dan welas
asih kepada orang-orang lain? Apakah kepada mereka orang dengan pasti dapat
memercayakan uang, kerja, dan tanggung jawab mengenai kesejahteraan orang lain?
Lalu, apakah mereka memanfaatkan talenta khas mereka sendiri untuk kebaikan
bersama?
Setiap bapak dan ibu patut tahu jawaban yang ingin mereka
berikan terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut. Jika ada kesepakatan tentang
tujuan yang perlu diraih, tentu tidak akan ada penolakan yang mendasar terhadap
nilai-nilai. Bagaimana seorang anak tumbuh menjadi dewasa bergantung—sebagian—pada
keturunan. Namun, hal ini untuk sebagian terbesar bergantung pada sejauh mana
orangtua cukup memedulikan kondisi anaknya, mendesakkan dan melestarikan
nilai-nilai yang dianggap luhur. itu berarti, menetapkan dan menjunjung tinggi
tanggung jawab rumah, home
responsibilities. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar