Kamis, 12 September 2013

Sistem Pembayaran Berbasis Industri

Sistem Pembayaran Berbasis Industri
Achmad Deni Daruri ;    President Director Center for Banking Crisis
KORAN SINDO, 12 September 2013



Ekonom Jean Fourastie mengklasifikasi sebuah ekonomi terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama terdiri atas produksi komoditas (pertanian, peternakan, eksploitasi sumber daya mineral). 

Bagian kedua proses produksi barang untuk dijual dan bagian ketiga sebagai industri layanan. Proses industrialisasi didasarkan pada perluasan bagian kedua yang kegiatan ekonominya didominasi kegiatan bagian pertama. Industrialisasi di Indonesia semakin turun semenjak krisis ekonomi tahun 1998. Kemunduran ini bukanlah berarti Indonesia tidak memiliki modal untuk melakukan investasi pada industri dalam negeri, tetapi lebih pada penyerapan barang hasil produksi industri dalam negeri. Ada empat faktor utama pembangkit sektor industri di negara industri. 

Pertama, struktur organisasi di mana dilakukan inovasi dalam jaringan institusi pemerintah dan swasta yang melakukan impor. Keduanya merupakan pihak yang membawa, mengubah, mengembangkan, dan menyebarluaskan teknologi. Kedua, ideologi di mana perlu sikap dalam menentukan pilihan untuk mengembangkan suatu teknologi apakah menganut tekno-nasionalisme, teknoglobalisme, atau tekno-hibrida. Ketiga, kepemimpinan di mana pemimpin dan elite politik Indonesia harus tegas dan cermat dalam mengambil keputusan. 

Hal ini dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan pasar dalam negeri maupun luar negeri. Keempat, sistem pembayaran di mana tanpa dukungan sistem pembayaran, industrialisasi akan mengalami kegagalan karena transaksi input dan output menjadi tidak efisien. Inggris mampu melakukan lompatan industrialisasi karena sistem pembayaran telah menjadi sangat optimum dengan dukungan kemajuan pada sektor pertanian di Inggris pada saat itu. Pada gilirannya Inggris memberikan kontribusi yang sangat besar akan kemajuan sistem pembayaran dengan menciptakan sistem Bretton Woods. 

Pada akhir abad ke-19, sistem perdagangan internasional didasari sistem perekonomian merkantilisme. Tujuan ekonomi kaum merkantilis adalah memakmurkan negara dengan memasukkan sebanyak mungkin pendapatan ke dalam kas negara. Aktor utama dalam sistem perekonomian menurut kaummerkantilisadalah negara di mana merkantilisme sangat populer bagi pemerintah yang sedang melakukan pembinaan kekuatan negara karena tujuannya yang lebih fokus pada pencapaian kepentingan nasional negara secara maksimal. 

Namun sistem perdagangan itu hancur seiring dengan pecahnya Perang Dunia I yang berdampak negaranegara menjadi proteksionis terhadap komoditas atau barang-barang dari luar serta tidak stabilnya sistem mata uang selama perang terjadi. Dilatarbelakangi semangat liberalisme, ide tersebut didukung Amerika Serikat (AS) dan Inggris, yang bertujuan meningkatkan transaksi ekonomi yang berdasarkan atas kondisi akses yang sama terhadap pasar. 

Toh akhirnya hegemoni Inggris mundur secara teratur. Kondisi tersebut sudah lama diingatkan Ibnu Khaldun pada abad ke-14 yang lalu. Filsuf Ibnu Khaldun mengingatkan: “As this Asabiyyah declines, another more compelling Asabiyyah may take its place; thus, civilizations rise and fall, and history describes these cycles of Asabiyyah as they play out”. Kemunduran-kemunduran lain juga terjadi. Seperti depresi ekonomi (malaise) pada tahun 1930-an yang dihadapi semua negara. 

Namun sistem pembayaran yang baik dapat membuat beberapa negara bangkit lebih cepat dari yang lain. Misalnya AS dapat bangkit karena sistem pembayaran AS merupakan derived demand dari sektor industri. Kebijakan fiskal dan moneter menjadi efektif seperti yang dikatakan Keynes bahwa aggregate demand merupakan solusinya. 

Bahkan menurut Milton Friedman, tanpa adanya sistem pembayaran, tidak ada satu pun senjata pemungkas untuk menghadapi resesi dan depresi ekonomi. Ia mengatakan: ”The Fed was largely responsible for converting what might have been a garden-variety recession, although perhaps a fairly severe one, into a major catastrophe. Instead of using its powers to offset the depression, it presided over a decline in the quantity of money by one-third from 1929 to 1933.” Operasi kuantitas dari uang sangat tergantung pada sistem pembayaran yang pada gilirannya membuat transformasi perekonomian AS yang berbasis industri menjadi semakin solid. 

Ke depan sistem pembayaran harus merupakan derived demand dari sektor industri yang ramah lingkungan. Keramahan pada lingkungan itu sangat penting. Merujuk pada pengalaman Indonesia, bisa dilihat bahwa di balik kesuksesan Indonesia dalam pembangunan sebenarnya ada kemerosotan dalam cadangan sumber daya alam dan peningkatan pencemaran lingkungan. Kota-kota yang sedang berkembang seperti Gresik, Medan, Jakarta, Surabaya, Bandung, Lhokseumawe , bahkan hampir seluruh kota di Pulau Jawa sudah mengalami peningkatan suhu udara walaupun daerah tersebut tidak pesat perkembangan industrinya. 

Pertambangan besi dan baja mengalami kemajuan pesat pada abad pertengahan. Selanjutnya pertambangan bahan bakar seperti batu bara, minyak bumi, dan gas maju pesat pula. Kedua hal itu memacu kemajuan teknologi permesinan, dimulai dengan penemuan mesin uap yang selanjutnya membuka jalan pada pembuatan dan perdagangan barang secara besar-besaran dan massal pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19. Mulanya timbul pabrik-pabrik tekstil (Lille dan Manchester) serta kereta api, lalu industri baja (Essen) dan galangan kapal, pabrik mobil (Detroit), pabrik alumunium. 

Dari kebutuhan akan pewarnaan dalam pabrik-pabrik tekstil berkembang industri kimia dan farmasi. Terjadilah Revolusi Industri. Sejak itu gelombang industrialisasi berupa pendirian pabrikpabrik produksi barang secara massal, pemanfaatan tenaga buruh dengan cepat melanda seluruh dunia, berbenturan dengan upaya tradisional di bidang pertanian (agrikultur). Sejak itu timbul berbagai penggolongan ragam industri.

 Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu keadaan di mana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin beragam (spesialisasi), gaji, dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari proses modernisasi di mana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan inovasi teknologi. Dalam industrialisasi ada perubahan filosofi manusia di mana manusia mengubah pandangan lingkungan sosialnya menjadi lebih pada rasionalitas (tindakan didasarkan atas pertimbangan, efisiensi, dan perhitungan, tidak lagi mengacu kepada moral, emosi, kebiasaan atau tradisi). 

Pengalaman di negara industri maju memperlihatkan bahwa dengan sistem pembayaran berbasis industri, surplus produsen dan surplus konsumen dalam masyarakat industri dapat lebih besar ketimbang surplus produsen dan konsumen dari masyarakat berbasis pertanian dan jasa. Tidaklah mengherankan jika Eropa dan AS hingga saat ini berupaya mati-matian menghidupkan kembali sektor industrinya di tengah-tengah hantaman krisis ekonomi yang mengancam sistem pembayaran mereka. 

Artinya, sistem pembayaran akan lebih aman dari ancaman krisis ketika dominasi sektor industri di dalam perekonomian kembali meningkat menjadi motor pembangunan. Bukan hanya itu, seperti juga yang dikatakan oleh Milton Friedman, peran urgen sistem pembayaran sangatlah penting dalam mendukung industrialisasi!  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar