Senin, 09 September 2013

Paradoks Logika Anti-Miss World

Paradoks Logika Anti-Miss World
Azis Anwar F ;   Esais, Peneliti di Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 09 September 2013


Setidaknya ada empat argumen yang berulang-ulang disampaikan pihak-pihak yang menolak—bahkan berupaya membatalkan—penyelenggaraan Miss World di Indonesia. Argumen-argumen itu tampak indah, namun menyisakan sejumlah paradoks.

Argumen pertama, Miss World bertentangan dengan nilai budaya Indonesia. Argumen ini janggal. Para kontestan Miss World tidak akan hanya memakai bikini—itu pun kalau kita menyepakati premis mula bahwa berbikini bagi perempuan bukan budaya Indonesia.

Para kontestan Miss World juga akan memakai baju adat Bali. Bukankah ini adalah apresiasi Miss World terhadap budaya Indonesia?

Problem utama dalam argumen ini ialah, apa itu maksud dari “budaya Indonesia”? Adakah budaya yang benar-benar “asli” Indonesia? Kalau kita tarik ke belakang bahwa apa yang disebut “asli” Indonesia itu bermula sejak zaman Majapahit, saya kira semua tahu, perempuan zaman dulu banyak yang memakai kemben.

Simbah-simbah dan simbok-simbok di desa sampai sekarang masih pakai kemben sambil petanan (mencari kutu rambut) dan nginang (mengunyah daun sirih).

Belum lagi bila kita bawa persoalan keaslian budaya ini ke kawasan timur Indonesia. Yang jadi paradoks dalam hal ini ialah, kalau argumen ihwal tak berkesesuaiannya Miss World dengan budaya Indonesia diteruskan ke fenomena lainnya, maka ia bisa jadi bumerang: berbalik menyerang semua jenis cara berpakaian yang tak sesuai dengan budaya “asli” Indonesia.

Misalnya, perempuan memakai cadar. Kalau seluruh orang Indonesia di-voting misalnya, saya yakin banyak yang tak sepakat bahwa cadar adalah budaya perempuan Indonesia.

Bahkan jilbab (yang lebar) belum bisa dipastikan “asli” Indonesia. Kalau parameter untuk menentukan suatu adat istiadat bisa disebut budaya “asli” Indonesia adalah seberapa lama adat istiadat itu ditradisikan di Indonesia, jilbab lebar bukan “asli” Indonesia.

Jilbab lebar baru mulai marak di Indonesia sejak beberapa dekade mutakhir, terutama sejak menyeruaknya gerakan “kebangkitan Islam” (ash-shahwah al-Islamiyyah) sebagai bagian dari efek Islam-global. Di tahun 1970-an ke bawah, bahkan para ibu, nyai di pesantren-pesantren tradisional masih memakai jilbab model kerudung, yang masih kelihatan sebagian rambut dan lehernya.

Sayangnya, belum ada institusi khusus untuk menentukan mana budaya asli Indonesia dan mana yang bukan. Mungkin ini perlu diadakan, agar bisa jadi rujukan MUI.

Kecantikan Bukan Kesalahan

Argumen kedua, kepentingan di balik Miss World hanyalah kepentingan bisnis-kapitalis. Argumen ini juga janggal. Bahwa suatu acara memiliki kepentingan bisnis, tak bisa jadi landasan untuk membubarkan acara itu.

Kalau argumen ini diteruskan ke fenomena lain, betapa banyak yang juga dibubarkan. Pertandingan sepak bola nasional, misalnya, juga terancam dibubarkan, karena disponsori oleh iklan rokok. Premisnya: rokok itu mudarat, berbahaya, dan oleh sebagian ulama dihukumi haram.
Kepentingan di balik sponsor rokok di sepak bola hanya bisnis-kapitalis, dan karena itu sepak bola mestinya dibubarkan. Alangkah menggelikan jika logika ini dipakai.

Logika itu bisa diteruskan ke hal lain. Misalnya, acara konser musik atau bahkan iklan di televisi. Itu semua kepentingan bisnis. Tapi, tentu tak bisa serta-merta dibubarkan, bukan?

Argumen ketiga, Miss World mengeksploitasi perempuan. Di ajang Miss World, kata sebagian penentangnya, perempuan hanya dinilai dari kecantikannya. Ini tentu saja tak benar. Lha wong jelas bahwa yang dinilai bukan kecantikannya (beauty) saja, tapi juga isi otak (brain) dan perilaku (behavior).
Bahkan, kalau yang dinilai cuma kecantikannya tak sepenuhnya jadi soal. Kecantikan bukanlah sebuah kesalahan.

Nabi Muhammad SAW pun menyatakan bahwa dalam memilih kriteria istri agar memperhatikan empat aspek: agamanya, nasabnya, hartanya, dan  kecantikannya. Sepertinya tak mungkin akan dikatakan bahwa Nabi juga mengeksploitasi tubuh perempuan gara-gara mempertimbangkan sisi kecantikan dalam memilih istri.

Argumen keempat, Miss World merusak moral generasi muda. Maksudnya ialah, dengan menonton Miss World, banyak lelaki yang pikirannya jadi mesum.

Argumen inilah yang agak bisa diterima, meski tetap menyisakan sejumlah kejanggalan. Paradoksnya: tak usah dengan Miss World pun moral generasi muda Indonesia sudah potensial untuk rusak, entah karena lingkungan pergaulannya, atau malah terpengaruh ulah pemimpinnya, termasuk para ustaznya. Miss World diadakan tak begitu lama dan disiarkan dalam tayangan televisi tak sampai berbilang bulan.
Hal-hal lain yang lebih potensial merusak dari Miss World, kalau diandaikan kita setuju dengan premis argumen keempat ini, ada lebih banyak.

Hampir tiap hari di televisi dijajakan iklan produk kecantikan. Iklan kecantikan, mau tak mau, tetap memperlihatkan kemolekan tubuh perempuan. Tapi, saya yakin, hanya lelaki yang jorok otaknya yang kemudian ingin memerkosa  perempuan karena habis menonton iklan kecantikan. Hampir tiap bulan ada pertunjukan dangdut-koplo, yang dikonsumsi oleh segala lapisan.

Miss World hanya ditonton secara live oleh sebagian orang berduit saja. Tiap hari pula, pemuda kita bisa mengakses situs porno dan itu lebih potensial merusak ketimbang Miss World. Di samping itu, faktor terbesar yang menyebabkan terjadinya tindak mesum bukanlah berada di sisi perempuannya yang berpakaian seronok, tapi di isi otak lelakinya.

Bersikap Kompetitif

Sikap yang elegan untuk menyikapi perhelatan Miss World ini, menurut penulis, bukanlah dengan membubarkannya, tapi memandangnya secara adil dan kompetitif. Maksud dari adil adalah bersikap fair: kalau Muktamar Khilafah yang jelas berisi “pemberontakan halus” ke ideologi NKRI saja boleh diselenggarakan, mengapa Miss World hendak dibubarkan?


Juga bersikap kompetitif. Ruang demokrasi menyediakan kesempatan luas untuk itu. Pemikiran, bahkan yang paling liar dan destruktif sekalipun, disaingi dengan pemikiran. Buku dibalas buku. Musik-pop yang mengumbar kemesuman disaingi dengan musik religi, misalnya; dan kontes kecantikan disaingi dengan kontes pula. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar