|
Pembunuhan semantik kekuasaan
politik atas kata menjadi fenomena menarik di negeri ini. Akibatnya, ribuan
kata telah menjelma menjadi bangkai dalam kehidupan bernegara. Kata ”teladan”,
misalnya, kini hampa arti dan tinggal menyisakan bunyi.
Maka,
predikat-predikat yang berembel-embel kata ”teladan” kini wajib disikapi secara
kritis, misalnya pemimpin teladan, dosen teladan, penegak hukum teladan,
politikus teladan, pengusaha teladan, dan lainnya.
Inkonsistensi
sikap dan tindakan sang penyandang predikat menjadikan ”keteladanan" mati
langkah. Seluruh kandungan makna ideal pupus dan menguap di cakrawala.
Ketika jalan
inkonsisten (penyimpangan etik, etos, dan moral) itu dilakukan banyak pelaku
keteladanan, maka terjadilah krisis kepercayaan atas tokoh teladan. Ini
berimbas pada penyangkalan atas makna yang dikandung kata. Kata pun menjadi
korban. Padahal, kata sebagai peranti komunikasi dan produk budaya selalu
netral dan tidak bisa disalahkan.
Asketisme
Keteladanan
merupakan bentuk pelembagaan nilai-nilai etik, etos, moralitas yang disematkan
publik kepada pelaku keteladanan dalam berbagai peran sosialnya. Publik merasa
perlu bahkan wajib memberikan reward moral
atas keteguhan/konsistensi, integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi
seseorang dalam peran sosialnya.
Sosok teladan
adalah sosok yang bisa menjadi contoh. Ia sekaligus inspirator yang
menggerakkan publik untuk melakukan berbagai pencapaian nilai-nilai ideal dalam
kehidupan dunia pragmatik yang hanya berpikir hasil dan guna.
Sosok teladan
memberikan pelajaran kepada kita bahwa dalam hidup ini orang perlu memegang
teguh etika, etos, moralitas, danpassion pengabdian demi mencapai makna
kedirian secara personal (harga diri, kehormatan) dan makna kedirian secara
sosial (martabat).
Tentu jalan
menuju pencapaian ideal tidak mudah. Orang harus tangguh dalam pertarungan
nilai di jagat pragmatik yang dikendalikan arus kuat materialisme dan
hedonisme. Karena itu, asketisme merupakan jalan yang harus dipilih dan
ditempuh.
Asketisme bukan
sekadar bermakna melawan godaan kenikmatan duniawi, melainkan juga pilihan
nilai dan sikap untuk konsisten berada di track nilai dengan terus mengasah visi, akal budi, dan nurani.
Setidaknya ada
dua bentuk keteladanan. Pertama keteladanan personal, keteladanan hilir, yakni
keteladanan yang dimiliki orang per orang dalam kehidupan sosial.
Kedua adalah
keteladanan sosial atau keteladanan hulu (level penyelenggaraan pemerintahan
dan negara).
Dibandingkan
dengan keteladanan hilir, keteladanan hulu sangat strategis dan fungsional
karena berkaitan dengan kekuasaan serta hak-hak publik. Melalui kekuasaan
distribusi, kesejahteraan dan keadilan dilakukan.
Ukuran
keteladanan sosial adalah kemampuan penyelenggara pemerintahan dan negara dalam
menerjemahkan amanat konstitusi dalam praksis kehidupan bernegara,
bermasyarakat, dan berbangsa.
Seorang pejabat
negara teladan selalu memiliki kesadaran bahwa dirinya bukan pemilik kekuasaan,
melainkan pelayan publik yang diberi amanat untuk mengelola kekuasaan secara
profesional, berkomitmen, dan penuh pengabdian.
Juragan kekuasaan
Perubahan sikap
dan perilaku dari pelayan publik ke juragan kekuasaan terjadi ketika
penyelenggara pemerintahan/negara kehilangan orientasi nilai profetik dalam
memungsikan negara menjadi rumah besar rakyat/bangsa yang membebaskan,
meninggikan martabat, nyaman, dan membahagiakan. Mereka berubah menjadi juragan
”indekosan” rumah, di mana rakyat pun mereka suruh sewa.
Mereka berubah
menjadi tukang catut anggaran rumah tangga rakyat dengan membelokkan APBN ke
kantongnya. Mereka pun berubah menjadi penyewa rumah kebangsaan untuk
kepentingan kekuatan politik dan ekonomi asing.
Celakanya hasil
sewaan itu tak sepenuhnya digunakan untuk memenuhi hak-hak rakyat, melainkan
juga untuk memenuhi kepentingan pribadi. Terjadilah distorsi praktik
penyelenggaraan negara.
Logikanya,
setiap penyelenggara negara/pemerintahan adalah sosok-sosok teladan dalam
segala hal, baik moralitas maupun profesionalitas. Mereka, secara etik, etos,
dan moral, harus di atas rata-rata dari rakyat yang dipimpin.
Kondisi ideal
inilah yang tidak ada. Banyak penyelenggara negara yang kualitas moral dan
kemampuannya meragukan. Mereka masuk dalam lingkaran kekuasaan karena nepotisme
atau mampu membeli status.
Keteladanan
perlu ”didagingkan” atau diwujudkan dalam praktik penyelenggara
negara/pemerintahan. Harus selalu diselenggarakan dan dibangun penyelenggaraan
negara yang konsisten dalam jalur konstitusi.
Untuk itu,
dibutuhkan para pendekar konstitusi, bukan centeng dan bala-dupak alias figuran
yang tindakannya jauh dari keteladanan konstitusional. Ini bisa diwujudkan jika
ada penjebolan dan transparansi atas elitisme kekuasaan yang semakin menguat
menjadi kartel tempat mafia berkuasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar