Minggu, 08 September 2013

Keteladanan yang Hampa

Keteladanan yang Hampa
Indra Tranggono  ;   Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
KOMPAS, 07 September 2013


Pembunuhan semantik kekuasaan politik atas kata menjadi fenomena menarik di negeri ini. Akibatnya, ribuan kata telah menjelma menjadi bangkai dalam kehidupan bernegara. Kata ”teladan”, misalnya, kini hampa arti dan tinggal menyisakan bunyi.

Maka, predikat-predikat yang berembel-embel kata ”teladan” kini wajib disikapi secara kritis, misalnya pemimpin teladan, dosen teladan, penegak hukum teladan, politikus teladan, pengusaha teladan, dan lainnya.
Inkonsistensi sikap dan tindakan sang penyandang predikat menjadikan ”keteladanan" mati langkah. Seluruh kandungan makna ideal pupus dan menguap di cakrawala.
Ketika jalan inkonsisten (penyimpangan etik, etos, dan moral) itu dilakukan banyak pelaku keteladanan, maka terjadilah krisis kepercayaan atas tokoh teladan. Ini berimbas pada penyangkalan atas makna yang dikandung kata. Kata pun menjadi korban. Padahal, kata sebagai peranti komunikasi dan produk budaya selalu netral dan tidak bisa disalahkan.
Asketisme
Keteladanan merupakan bentuk pelembagaan nilai-nilai etik, etos, moralitas yang disematkan publik kepada pelaku keteladanan dalam berbagai peran sosialnya. Publik merasa perlu bahkan wajib memberikan reward moral atas keteguhan/konsistensi, integritas, komitmen, kapabilitas, dan dedikasi seseorang dalam peran sosialnya.
Sosok teladan adalah sosok yang bisa menjadi contoh. Ia sekaligus inspirator yang menggerakkan publik untuk melakukan berbagai pencapaian nilai-nilai ideal dalam kehidupan dunia pragmatik yang hanya berpikir hasil dan guna.
Sosok teladan memberikan pelajaran kepada kita bahwa dalam hidup ini orang perlu memegang teguh etika, etos, moralitas, danpassion pengabdian demi mencapai makna kedirian secara personal (harga diri, kehormatan) dan makna kedirian secara sosial (martabat).
Tentu jalan menuju pencapaian ideal tidak mudah. Orang harus tangguh dalam pertarungan nilai di jagat pragmatik yang dikendalikan arus kuat materialisme dan hedonisme. Karena itu, asketisme merupakan jalan yang harus dipilih dan ditempuh.
Asketisme bukan sekadar bermakna melawan godaan kenikmatan duniawi, melainkan juga pilihan nilai dan sikap untuk konsisten berada di track nilai dengan terus mengasah visi, akal budi, dan nurani.
Setidaknya ada dua bentuk keteladanan. Pertama keteladanan personal, keteladanan hilir, yakni keteladanan yang dimiliki orang per orang dalam kehidupan sosial.
Kedua adalah keteladanan sosial atau keteladanan hulu (level penyelenggaraan pemerintahan dan negara).
Dibandingkan dengan keteladanan hilir, keteladanan hulu sangat strategis dan fungsional karena berkaitan dengan kekuasaan serta hak-hak publik. Melalui kekuasaan distribusi, kesejahteraan dan keadilan dilakukan.
Ukuran keteladanan sosial adalah kemampuan penyelenggara pemerintahan dan negara dalam menerjemahkan amanat konstitusi dalam praksis kehidupan bernegara, bermasyarakat, dan berbangsa.
Seorang pejabat negara teladan selalu memiliki kesadaran bahwa dirinya bukan pemilik kekuasaan, melainkan pelayan publik yang diberi amanat untuk mengelola kekuasaan secara profesional, berkomitmen, dan penuh pengabdian.
Juragan kekuasaan
Perubahan sikap dan perilaku dari pelayan publik ke juragan kekuasaan terjadi ketika penyelenggara pemerintahan/negara kehilangan orientasi nilai profetik dalam memungsikan negara menjadi rumah besar rakyat/bangsa yang membebaskan, meninggikan martabat, nyaman, dan membahagiakan. Mereka berubah menjadi juragan ”indekosan” rumah, di mana rakyat pun mereka suruh sewa.
Mereka berubah menjadi tukang catut anggaran rumah tangga rakyat dengan membelokkan APBN ke kantongnya. Mereka pun berubah menjadi penyewa rumah kebangsaan untuk kepentingan kekuatan politik dan ekonomi asing.
Celakanya hasil sewaan itu tak sepenuhnya digunakan untuk memenuhi hak-hak rakyat, melainkan juga untuk memenuhi kepentingan pribadi. Terjadilah distorsi praktik penyelenggaraan negara.
Logikanya, setiap penyelenggara negara/pemerintahan adalah sosok-sosok teladan dalam segala hal, baik moralitas maupun profesionalitas. Mereka, secara etik, etos, dan moral, harus di atas rata-rata dari rakyat yang dipimpin.
Kondisi ideal inilah yang tidak ada. Banyak penyelenggara negara yang kualitas moral dan kemampuannya meragukan. Mereka masuk dalam lingkaran kekuasaan karena nepotisme atau mampu membeli status.
Keteladanan perlu ”didagingkan” atau diwujudkan dalam praktik penyelenggara negara/pemerintahan. Harus selalu diselenggarakan dan dibangun penyelenggaraan negara yang konsisten dalam jalur konstitusi.

Untuk itu, dibutuhkan para pendekar konstitusi, bukan centeng dan bala-dupak alias figuran yang tindakannya jauh dari keteladanan konstitusional. Ini bisa diwujudkan jika ada penjebolan dan transparansi atas elitisme kekuasaan yang semakin menguat menjadi kartel tempat mafia berkuasa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar