Sabtu, 07 September 2013

Lakon di Panggung Rakyat

Lakon di Panggung Rakyat
Kurnia JR  ;  Sastrawan
KOMPAS, 07 September 2013


Dalam lakon Sandhyakala ning Majapahit, Sanusi Pane melukiskan sebuah negara di ambang keruntuhan. Betapa moral korup para pembesar dan intrik kekuasaan kaum bangsawan mempercepat rontoknya pilar dan fondasi negeri. Rakyat semakin telantar tanpa pahlawan, hingga muncul Damar Wulan.
Pada saat demikian datang serangan Menak Jingga, yang dalam kesaksian Damar Wulan: ”...menaiki kuda hitam warnanya. Badannya diam seperti karang, pakaiannya pun seakan tidak bergerak, biar pun angin bertiup keras. Matanya tidak mengeluarkan cahaya, seperti mata orang yang mati. Seakan kelihatan menurut dia laskar buta dari neraka.” Pendek kata, ia monster.
Tutur Patih Logender: ”Majapahit sekarang dipecah-pecah dengki cedera. Sebenarnya kita tidak sehati, hanya mengenang diri sendiri. Patih lama sudah mencoba, supaya ksatria berjabat tangan, menjunjung tinggi seri kejayaan, agar negeri mulia kembali. Apa gunanya dipikir lagi, sudah terlambat sekarang ini.”
Pane membentangkan tragedi serupa pada lakon Kertajaya. Kediri di ujung napasnya dan Prabu Kertajaya tak berdaya. Para wiku yang diminta menyumbangkan sebagian kekayaan mereka yang didapat berkat hak darma lepas dari perdikan desa justru ingin menggulingkan raja. Seperti situasi kita kini, agamawan, pejabat negara, dan politikus hidup mewah dengan harta tak wajar, sedangkan rakyat berjibaku menyambung hidup dari hari ke hari.
Lakon politik
Di tengah keriuhan isu-isu korupsi tiada henti, gejolak harga pangan, ditambah krisis ekonomi global yang mencemaskan akhir-akhir ini, genderang kompetisi menjelang pemilihan presiden telah ditabuh partai-partai politik.
Trauma dengan krisis moneter 1997, sebagian orang terkenang sejarah kelam 1998, tetapi para politikus seperti tak menghiraukan pesimisme rakyat akan nasib esok-lusa. Pemilihan kepala daerah silih berganti diselenggarakan di mana-mana. Politikus dan para kontestan berakrobat merayu pemilik suara. Jurus blusukan yang populer berkat Joko Widodo pun dilancarkan, tetapi tak selalu sukses. Kini, lakon terbesar di panggung rakyat sedang dipersiapkan: Pemilihan Umum 2014.
Panggung seni drama bagai dunia paralel dengan pentas politik yang pada hakikatnya ialah panggung rakyat sebab Indonesia negara demokrasi. Setiap politikus yang ambil peranan wajib hanya mengemban amanat rakyat. Seperti pada seni lakon, di panggung politik ada aspek timing, pengaturan waktu, yang vital sehingga William E Gladstone menyatakan, ”Timing is everything in politics.”
Timing dalam drama menyangkut hubungan waktu antara gerakan dan ucapan yang bertujuan memberi bobot atas ucapan dan tindakan tokoh-tokoh di panggung sehingga efek yang diinginkan sampai kepada penonton. Tegangan akan tercipta; simpati atau antipati penonton terhadap tokoh terbentuk; motif cerita terbangun kreatif di benak setiap penonton, menghasilkan tafsir, baik bersifat umum berdasarkan logika obyektif maupun individual menurut kesan mental tiap pribadi. Demikian vitalnya aspek timing dalam lakon sehingga Rendra (1993) menulis: ”Tak ragu-ragu saya berkata, teknik timing ialah puisi para aktor.”
Di panggung politik, realitas yang lebih kurang sama pun berjalan dalam dialektika yang kritis antara aktor politik dan khalayak. Sebagaimana aktor di panggung drama, yang bisa memancing kemuakan atau cemooh manakala kedodoran menguasai aspek timing, tak sedikit politikus yang menjadi bulan-bulanan publik di media sosial dan pemberitaan pers akibat kemalasan atau ketiadaan integritas pribadi untuk menata citra berdasarkan pengaturan waktu aksi yang tepat selaras dengan keadaan.
Seorang menteri yang sebelum ini cenderung eksklusif, begitu namanya masuk daftar survei calon presiden di sejumlah lembaga survei, mendadak mempertontonkan wajah populis. Ia rajin blusukan, bahkan bermalam di gubuk petani. Bukan simpati, yang dia dapatkan malah olok-olok publik. Mengapa?
Bahkan tatkala Presiden melakukan kunjungan semacam ”turba”, meninjau kehidupan rakyat kecil nun di luar Ibu Kota, ia pun tak lepas dari cibiran. Ia dituduh meniru gaya blusukan Gubernur DKI Joko Widodo sampai-sampai para pembantunya melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa dia sering melakukan hal itu. Mengapa publik tampak sinis dan skeptis?
Hanya nafsu berkuasa
Sesungguhnya, bukanlah bukan soal gaya, bukan soal blusukan, yang layak dijadikan andalan politikus dan pejabat publik calon kontestan dalam Pemilihan Presiden 2014 untuk merengkuh simpati publik. Di mata khalayak, mereka sekadar aktor-aktor yang ”menyiasati” timing tanpa ketulusan dan kesungguhan hati. Mereka menyalahgunakan panggung rakyat untuk memuaskan nafsu berkuasa dan menimbun harta.
Mungkin ludruk dipertontonkan dengan centil, nakal, dan berkesan sembarangan , tetapi tetap berpijak di atas disiplin seni pertunjukan yang bernilai jika dibandingkan dengan ”ludruk” Senayan. Periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hampir selesai, sayangnya datang dari ufuk, gelombang krisis ekonomi, yang telah mencekik rupiah. Pemilik uang yang panik melepaskan rupiah dan memborong dolar, sementara rakyat jelata hanya menggigil memikirkan monster yang akan melahap nasi di piring mereka. Di atas panggung banal itu, para aktor tersenyum dan berkata, keadaan aman sentosa.

Padahal, bagi pribadi pemimpin yang arif, kondisi kritis ini kesempatan emas, timing, untuk membuktikan bahwa dirinya pahlawan sejati. Siapa berhasil membawa bangsa menyeberangi prahara ini, dia yang layak dijunjung. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar