|
Dalam lakon Sandhyakala ning
Majapahit, Sanusi Pane melukiskan sebuah negara di ambang keruntuhan. Betapa moral
korup para pembesar dan intrik kekuasaan kaum bangsawan mempercepat rontoknya
pilar dan fondasi negeri. Rakyat semakin telantar tanpa pahlawan, hingga muncul
Damar Wulan.
Pada saat
demikian datang serangan Menak Jingga, yang dalam kesaksian Damar Wulan: ”...menaiki kuda hitam warnanya. Badannya
diam seperti karang, pakaiannya pun seakan tidak bergerak, biar pun angin
bertiup keras. Matanya tidak mengeluarkan cahaya, seperti mata orang yang mati.
Seakan kelihatan menurut dia laskar buta dari neraka.” Pendek kata, ia
monster.
Tutur Patih
Logender: ”Majapahit sekarang
dipecah-pecah dengki cedera. Sebenarnya kita tidak sehati, hanya mengenang diri
sendiri. Patih lama sudah mencoba, supaya ksatria berjabat tangan, menjunjung
tinggi seri kejayaan, agar negeri mulia kembali. Apa gunanya dipikir lagi,
sudah terlambat sekarang ini.”
Pane
membentangkan tragedi serupa pada lakon Kertajaya. Kediri di ujung
napasnya dan Prabu Kertajaya tak berdaya. Para wiku yang diminta menyumbangkan
sebagian kekayaan mereka yang didapat berkat hak darma lepas dari perdikan desa
justru ingin menggulingkan raja. Seperti situasi kita kini, agamawan, pejabat
negara, dan politikus hidup mewah dengan harta tak wajar, sedangkan rakyat
berjibaku menyambung hidup dari hari ke hari.
Lakon politik
Di tengah
keriuhan isu-isu korupsi tiada henti, gejolak harga pangan, ditambah krisis
ekonomi global yang mencemaskan akhir-akhir ini, genderang kompetisi menjelang
pemilihan presiden telah ditabuh partai-partai politik.
Trauma dengan
krisis moneter 1997, sebagian orang terkenang sejarah kelam 1998, tetapi para
politikus seperti tak menghiraukan pesimisme rakyat akan nasib esok-lusa.
Pemilihan kepala daerah silih berganti diselenggarakan di mana-mana. Politikus
dan para kontestan berakrobat merayu pemilik suara. Jurus blusukan yang
populer berkat Joko Widodo pun dilancarkan, tetapi tak selalu sukses. Kini,
lakon terbesar di panggung rakyat sedang dipersiapkan: Pemilihan Umum 2014.
Panggung seni
drama bagai dunia paralel dengan pentas politik yang pada hakikatnya ialah
panggung rakyat sebab Indonesia negara demokrasi. Setiap politikus yang ambil
peranan wajib hanya mengemban amanat rakyat. Seperti pada seni lakon, di
panggung politik ada aspek timing, pengaturan waktu, yang vital sehingga
William E Gladstone menyatakan, ”Timing
is everything in politics.”
Timing dalam
drama menyangkut hubungan waktu antara gerakan dan ucapan yang bertujuan
memberi bobot atas ucapan dan tindakan tokoh-tokoh di panggung sehingga efek
yang diinginkan sampai kepada penonton. Tegangan akan tercipta; simpati atau
antipati penonton terhadap tokoh terbentuk; motif cerita terbangun kreatif di
benak setiap penonton, menghasilkan tafsir, baik bersifat umum berdasarkan
logika obyektif maupun individual menurut kesan mental tiap pribadi. Demikian
vitalnya aspek timing dalam
lakon sehingga Rendra (1993) menulis: ”Tak
ragu-ragu saya berkata, teknik timing ialah puisi para aktor.”
Di panggung
politik, realitas yang lebih kurang sama pun berjalan dalam dialektika yang
kritis antara aktor politik dan khalayak. Sebagaimana aktor di panggung drama,
yang bisa memancing kemuakan atau cemooh manakala kedodoran menguasai
aspek timing, tak sedikit politikus yang menjadi bulan-bulanan publik di
media sosial dan pemberitaan pers akibat kemalasan atau ketiadaan integritas
pribadi untuk menata citra berdasarkan pengaturan waktu aksi yang tepat selaras
dengan keadaan.
Seorang menteri
yang sebelum ini cenderung eksklusif, begitu namanya masuk daftar survei calon
presiden di sejumlah lembaga survei, mendadak mempertontonkan wajah populis. Ia
rajin blusukan, bahkan bermalam di gubuk petani. Bukan simpati, yang
dia dapatkan malah olok-olok publik. Mengapa?
Bahkan tatkala
Presiden melakukan kunjungan semacam ”turba”, meninjau kehidupan rakyat kecil
nun di luar Ibu Kota, ia pun tak lepas dari cibiran. Ia dituduh meniru
gaya blusukan Gubernur DKI Joko Widodo sampai-sampai para pembantunya
melakukan pembelaan dengan mengatakan bahwa dia sering melakukan hal itu.
Mengapa publik tampak sinis dan skeptis?
Hanya nafsu berkuasa
Sesungguhnya,
bukanlah bukan soal gaya, bukan soal blusukan, yang layak dijadikan
andalan politikus dan pejabat publik calon kontestan dalam Pemilihan Presiden
2014 untuk merengkuh simpati publik. Di mata khalayak, mereka sekadar
aktor-aktor yang ”menyiasati” timing tanpa ketulusan dan kesungguhan
hati. Mereka menyalahgunakan panggung rakyat untuk memuaskan nafsu berkuasa dan
menimbun harta.
Mungkin ludruk
dipertontonkan dengan centil, nakal, dan berkesan sembarangan , tetapi tetap
berpijak di atas disiplin seni pertunjukan yang bernilai jika dibandingkan
dengan ”ludruk” Senayan. Periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hampir
selesai, sayangnya datang dari ufuk, gelombang krisis ekonomi, yang telah
mencekik rupiah. Pemilik uang yang panik melepaskan rupiah dan memborong dolar,
sementara rakyat jelata hanya menggigil memikirkan monster yang akan melahap
nasi di piring mereka. Di atas panggung banal itu, para aktor tersenyum dan
berkata, keadaan aman sentosa.
Padahal, bagi
pribadi pemimpin yang arif, kondisi kritis ini kesempatan emas, timing,
untuk membuktikan bahwa dirinya pahlawan sejati. Siapa berhasil membawa bangsa
menyeberangi prahara ini, dia yang layak dijunjung. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar