|
Opsi intervensi militer terhadap
Suriah semakin menguat pascatragedi gas beracun di Distrik Ghouta, dekat
Damaskus. Para pengambil kebijakan kekuatan besar dunia serius membicarakan
kemungkinan opsi itu segera diambil untuk menghentikan tragedi kemanusiaan di
Suriah.
Kendati belum
ada laporan resmi dari tim PBB yang melakukan investigasi di daerah tersebut,
banyak pihak telah meyakini terjadinya penggunaan bom kimia. Mereka cenderung
menuding rezim Bashar al-Assad sebagai pelakunya.
Sementara di
lapangan, Pemerintah Turki yang memiliki batas terluas dengan Suriah telah
menyatakan siap bergabung untuk menjatuhkan Assad. AS telah menempatkan empat
kapal perang induk dan bersiap siaga di Laut Tengah. Adapun negara-negara Arab,
terutama Arab Saudi dan Qatar, seperti sudah tak sabar mendukung aksi koalisi
menghancurkan salah satu musuh besarnya itu. Penggunaan senjata kimia yang
diduga dilakukan Assad benar-benar menjadi momentum bagi opsi intervensi
militer yang sejak awal mereka serukan.
Faktanya,
situasi di Suriah memang menuntut ada langkah tegas dan segera dari dunia
internasional untuk menghentikan bencana kemanusiaan di negeri itu setelah
rangkaian upaya diplomatik tak membuahkan hasil. Demi kemanusiaan, langkah
besar dan tegas memang harus segera dilakukan untuk menghentikan kebrutalan
perang.
Sunni-Syiah
Akibat yang
mungkin ditimbulkan dari intervensi militer itu bisa jauh lebih besar daripada
yang diperkirakan. Taruhlah rezim Suriah terbukti menggunakan senjata kimia,
akan efektifkah intervensi militer untuk penyelamatan kemanusiaan itu? Yang
pasti, rezim Assad berbeda dengan rezim Moammar Khadafy di Libya. Assad hampir
dipastikan tidak sendiri dalam menghadapi kemungkinan intervensi sekutu. Bagi
kelompok-kelompok yang bertikai, perang Suriah tak lain bermakna perang sekte
antara Sunni dan Syiah. Itu artinya, keterlibatan kekuatan Syiah di kawasan ini
untuk mendukung Assad pasti menguat.
Kendati
belum all out, Hezbollah telah
terlibat jauh dalam perang ini. Iran sudah menyatakan bahwa Suriah adalah garis
merah bagi mereka. Siapa pun yang melakukan intervensi militer berarti akan
berhadapan dengan kekuatan besar Iran. Kekuatan Syiah dari Irak, Yaman,
Bahrain, dan negara-negara lain jelas tak bisa diremehkan. Kelompok-kelompok ini
memiliki militansi sangat kuat. Itu artinya, sekutu mesti berpikir berkali-kali
untuk melakukan tindakan ofensif terhadap Suriah. Akibat dari intervensi
militer bisa justru jauh lebih luas dan merata di kawasan.
Jaringan
Islamis Ikhwani tentu diharapkan akan bertempur melawan Assad. Namun,
pengalaman Mesir membuat jaringan Ikhwani di Timur Tengah dan dunia Islam
melihat Arab Saudi—salah satu penyeru intervensi terlantang—sebagai musuh besar
mereka. Akan sulit bagi kelompok Ikhwani untuk berada dalam satu barisan dengan
Arab Saudi ataupun kelompok-kelompok Salafi kendati menghadapi musuh bersama.
Sementara itu,
AS dan sebagian negara Barat sepertinya tak ingin mengambil risiko terlalu
besar. Pengambil keputusan di AS terlihat sangat berhati-hati jika tak dikatakan
ragu-ragu. Pengalaman di Irak dan Afganistan tentu pahit bagi mereka. Apalagi
yang dihadapi sekarang ialah Suriah dan jaringan Syiah yang jelas lebih
kompleks dan kuat. Tak ada jaminan perang dapat mengantarkan kepada tujuan.
Untuk kemanusiaan?
Hal lain yang
patut dicermati adalah ”ketulusan” penyeru dan pelaku intervensi. Dalam
hubungan antarnegara yang digenangi semangat realisme, niat tulus intervensi
untuk kemanusiaan, seperti yang diharapkan dan sering dikatakan, sebenarnya
sangat sulit ditemukan di dalam praktik. Yang sering terjadi justru sebaliknya,
agenda dan tujuan lain yang terselubung justru dominan. Inilah biasanya tujuan
yang justru dikejar para pengambil kebijakan di negara-negara pelaku
intervensi. Intervensi untuk minyak, intervensi untuk penguasaan wilayah
perdagangan, dan semacamnya sering kali menjadi spirit yang lebih penting bagi
pengambil kebijakan.
Mari kita
tengok contoh kecil praktik intervensi yang disebut untuk kemanusiaan di Timur
Tengah. Koalisi melakukan ofensif militer dua kali terhadap rezim Saddam
Hussein dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal yang membahayakan,
demokratisasi, dan pembebasan rakyat Irak dari kediktaktoran Saddam. Koalisi
yang dimaksud adalah negara-negara Barat dan Arab yang saat ini juga menginginkan
intervensi terhadap Suriah. Dua alasan terakhir jelas ada benarnya, Saddam
memang tokoh yang dikenal keji terhadap sebagian rakyatnya, terutama Syiah dan
Kurdi serta alasan pertama diduga benar saat itu, tetapi hingga kini tak
terbukti.
Apakah yang
terjadi kemudian? Koalisi, terutama AS, ”menduduki" Irak selama beberapa
tahun, menguasai proyek-proyek besar rekonstruksi Irak pascaperang, dan tentu
saja menikmati distribusi minyak mentah murah. Setelah 10 tahun jatuhnya
Saddam, lingkaran kekerasan antarwarga Irak tak berhenti dan terus menelan
korban kemanusiaan hingga saat ini. Hal yang hampir sama juga terjadi di Libya
setelah Moammar Khadafy meskipun mereka telah belajar dari kegagalan di Irak.
Jika kita
mencermati aktor-aktor yang paling menginginkan solusi ofensif militer terhadap
Suriah sekarang ini, sesungguhnya tujuan lain dari intervensi kemanusiaan yang
mereka serukan mudah ditebak. Enam rezim Teluk, penyeru terlantang penjatuhan
rezim Assad, adalah negara-negara pro ”status quo” yang saat ini merasa sedang
terancam dari dua sisi: kemungkinan munculnya gerakan rakyat dari dalam dan
ancaman kekuatan poros Iran dari luar.
Menjatuhkan
rezim Assad adalah langkah strategis untuk menangkal dua sumber ancaman
sekaligus. Kejatuhan Assad berarti satu tahap kemenangan penting untuk
mengalahkan Iran. Semangat ini pula tampaknya yang diusung kekuatan-kekuatan
besar Barat secara lebih terbatas, juga Israel, dalam masalah ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar