Sabtu, 07 September 2013

Intervensi Kemanusiaan ke Suriah

Intervensi Kemanusiaan ke Suriah
Ibnu Burdah  ;  Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam;
Dosen Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga
KOMPAS, 07 September 2013


Opsi intervensi militer terhadap Suriah semakin menguat pascatragedi gas beracun di Distrik Ghouta, dekat Damaskus. Para pengambil kebijakan kekuatan besar dunia serius membicarakan kemungkinan opsi itu segera diambil untuk menghentikan tragedi kemanusiaan di Suriah.
Kendati belum ada laporan resmi dari tim PBB yang melakukan investigasi di daerah tersebut, banyak pihak telah meyakini terjadinya penggunaan bom kimia. Mereka cenderung menuding rezim Bashar al-Assad sebagai pelakunya.
Sementara di lapangan, Pemerintah Turki yang memiliki batas terluas dengan Suriah telah menyatakan siap bergabung untuk menjatuhkan Assad. AS telah menempatkan empat kapal perang induk dan bersiap siaga di Laut Tengah. Adapun negara-negara Arab, terutama Arab Saudi dan Qatar, seperti sudah tak sabar mendukung aksi koalisi menghancurkan salah satu musuh besarnya itu. Penggunaan senjata kimia yang diduga dilakukan Assad benar-benar menjadi momentum bagi opsi intervensi militer yang sejak awal mereka serukan.
Faktanya, situasi di Suriah memang menuntut ada langkah tegas dan segera dari dunia internasional untuk menghentikan bencana kemanusiaan di negeri itu setelah rangkaian upaya diplomatik tak membuahkan hasil. Demi kemanusiaan, langkah besar dan tegas memang harus segera dilakukan untuk menghentikan kebrutalan perang.
Sunni-Syiah
Akibat yang mungkin ditimbulkan dari intervensi militer itu bisa jauh lebih besar daripada yang diperkirakan. Taruhlah rezim Suriah terbukti menggunakan senjata kimia, akan efektifkah intervensi militer untuk penyelamatan kemanusiaan itu? Yang pasti, rezim Assad berbeda dengan rezim Moammar Khadafy di Libya. Assad hampir dipastikan tidak sendiri dalam menghadapi kemungkinan intervensi sekutu. Bagi kelompok-kelompok yang bertikai, perang Suriah tak lain bermakna perang sekte antara Sunni dan Syiah. Itu artinya, keterlibatan kekuatan Syiah di kawasan ini untuk mendukung Assad pasti menguat.
Kendati belum all out, Hezbollah telah terlibat jauh dalam perang ini. Iran sudah menyatakan bahwa Suriah adalah garis merah bagi mereka. Siapa pun yang melakukan intervensi militer berarti akan berhadapan dengan kekuatan besar Iran. Kekuatan Syiah dari Irak, Yaman, Bahrain, dan negara-negara lain jelas tak bisa diremehkan. Kelompok-kelompok ini memiliki militansi sangat kuat. Itu artinya, sekutu mesti berpikir berkali-kali untuk melakukan tindakan ofensif terhadap Suriah. Akibat dari intervensi militer bisa justru jauh lebih luas dan merata di kawasan.
Jaringan Islamis Ikhwani tentu diharapkan akan bertempur melawan Assad. Namun, pengalaman Mesir membuat jaringan Ikhwani di Timur Tengah dan dunia Islam melihat Arab Saudi—salah satu penyeru intervensi terlantang—sebagai musuh besar mereka. Akan sulit bagi kelompok Ikhwani untuk berada dalam satu barisan dengan Arab Saudi ataupun kelompok-kelompok Salafi kendati menghadapi musuh bersama.
Sementara itu, AS dan sebagian negara Barat sepertinya tak ingin mengambil risiko terlalu besar. Pengambil keputusan di AS terlihat sangat berhati-hati jika tak dikatakan ragu-ragu. Pengalaman di Irak dan Afganistan tentu pahit bagi mereka. Apalagi yang dihadapi sekarang ialah Suriah dan jaringan Syiah yang jelas lebih kompleks dan kuat. Tak ada jaminan perang dapat mengantarkan kepada tujuan.
Untuk kemanusiaan?
Hal lain yang patut dicermati adalah ”ketulusan” penyeru dan pelaku intervensi. Dalam hubungan antarnegara yang digenangi semangat realisme, niat tulus intervensi untuk kemanusiaan, seperti yang diharapkan dan sering dikatakan, sebenarnya sangat sulit ditemukan di dalam praktik. Yang sering terjadi justru sebaliknya, agenda dan tujuan lain yang terselubung justru dominan. Inilah biasanya tujuan yang justru dikejar para pengambil kebijakan di negara-negara pelaku intervensi. Intervensi untuk minyak, intervensi untuk penguasaan wilayah perdagangan, dan semacamnya sering kali menjadi spirit yang lebih penting bagi pengambil kebijakan.
Mari kita tengok contoh kecil praktik intervensi yang disebut untuk kemanusiaan di Timur Tengah. Koalisi melakukan ofensif militer dua kali terhadap rezim Saddam Hussein dengan alasan kepemilikan senjata pemusnah massal yang membahayakan, demokratisasi, dan pembebasan rakyat Irak dari kediktaktoran Saddam. Koalisi yang dimaksud adalah negara-negara Barat dan Arab yang saat ini juga menginginkan intervensi terhadap Suriah. Dua alasan terakhir jelas ada benarnya, Saddam memang tokoh yang dikenal keji terhadap sebagian rakyatnya, terutama Syiah dan Kurdi serta alasan pertama diduga benar saat itu, tetapi hingga kini tak terbukti.
Apakah yang terjadi kemudian? Koalisi, terutama AS, ”menduduki" Irak selama beberapa tahun, menguasai proyek-proyek besar rekonstruksi Irak pascaperang, dan tentu saja menikmati distribusi minyak mentah murah. Setelah 10 tahun jatuhnya Saddam, lingkaran kekerasan antarwarga Irak tak berhenti dan terus menelan korban kemanusiaan hingga saat ini. Hal yang hampir sama juga terjadi di Libya setelah Moammar Khadafy meskipun mereka telah belajar dari kegagalan di Irak.
Jika kita mencermati aktor-aktor yang paling menginginkan solusi ofensif militer terhadap Suriah sekarang ini, sesungguhnya tujuan lain dari intervensi kemanusiaan yang mereka serukan mudah ditebak. Enam rezim Teluk, penyeru terlantang penjatuhan rezim Assad, adalah negara-negara pro ”status quo” yang saat ini merasa sedang terancam dari dua sisi: kemungkinan munculnya gerakan rakyat dari dalam dan ancaman kekuatan poros Iran dari luar.

Menjatuhkan rezim Assad adalah langkah strategis untuk menangkal dua sumber ancaman sekaligus. Kejatuhan Assad berarti satu tahap kemenangan penting untuk mengalahkan Iran. Semangat ini pula tampaknya yang diusung kekuatan-kekuatan besar Barat secara lebih terbatas, juga Israel, dalam masalah ini.  ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar