|
Dua kali hasil
survei kepemimpinan oleh Litbang Kompas (Desember 2012 dan Juni 2013) telah
menyedot perhatian para analis politik. Hal itu sesuai aspirasi umum yang terus
bertanya: ”siapa presiden Indonesia 2014?”
Terkesan semua
”mengharuskan” Jokowi agar menjadi presiden. Menarik adalah sikap Jokowi: ”Saya
hanya mikir Jakarta”.
Ekspresinya
dingin, seolah presiden bukan jabatan nan aduhai. Para analis mengira, ia
sangat loyal kepada pimpinan partainya.
Itu betul,
tetapi tidak sepenuhnya benar. Rekam jejak Jokowi sejak di Solo sangat
menghargai ”proses dan tujuan”. Suatu ”tujuan” harus dicapai lewat proses yang
perlu waktu tertentu. Ingat saat ingin merelokasi pedagang kaki lima (PKL) di
Tirtonadi, Solo, ia butuh 54 kali makan bersama. Kini cuma butuh dua minggu
merelokasi kesangaran PKL Tanah Abang. Ketulusannya telah dirasakan masyarakat.
Kekaguman
Masyarakat DKI
khususnya dan Indonesia umumnya kagum melihat sepak terjang Jokowi (juga Basuki
alias Ahok). Jabatan belum setahun telah berubah signifikan kendati belum nyata
hasilnya, contoh waduk kumuh di Pluit menjadi taman, PKL Tanah Abang pindah ke
Blok G, transjakarta semakin diminati, dan kesehatan masyarakat terlayani.
Namun, niatnya itu masih dipertanyakan DPRD, menimbulkan isu pelengseran.
Elektabilitas
dan popularitas yang dihasilkan surveyor adalah ”kekaguman politik”
masyarakat kepada sosok tertentu. Seperti ketika SBY mendapatkan suara 62
persen pada tahun 2009. Tak sama citra Jokowi di Solo sampai di DKI ini dengan
citra SBY 2004-2009. Diperlukan kedalaman pengamatan, jangan cuma melihat
permukaan. Surveyor selayaknya mem-breakdown, khususnya kaitan ”hubungan antara pemimpin dan rakyat
dalam sistem kemasyarakatan” yang eksis ataupun yang diinginkan. Bukan hanya
lihat pemimpin dari sisi kekaguman politik. Janganlah kita tertipu dan tertipu
lagi oleh penampilan calon pemimpin.
Prestasi Jokowi
selama dua dekade ini adalah ketulusannya dalam memahami tujuan negara dan
kemampuan rakyat sebagai prasyaratnya. Lalu, memanajemeninya dengan rendah hati
tetapi berani. Tanpa teriak, ia benahi sistem bernegara. Ia tak tersanjung saat
didorong-dorong menjadi presiden RI 2014.
Ia tahu
kekuatan sebagai eksekutif (di Solo dan DKI) adalah adanya kekuatan rakyat yang
mendukungnya. Kekuatan itu bukan dari konstituen di pilkada, melainkan dari
rakyat yang dilayaninya pascapilkada.
Ia bangun
”daulat rakyat” dengan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar untuk
mendobrak sistem birokrasi/politik anggaran. Rakyat berdaulat sulit ditolak
para birokrat ataupun anggota DPRD. Pusat pun harus mendukung daulat rakyat
DKI, misalnya kasus penolakan enam jalan tol, sistem share dalam MRT
dan monorel. Keberanian muncul saat rakyat mendukungnya.
Sistem bernegara
Jokowi salah
satu sosok yang sadar, Indonesia ini telah merdeka, tetapi belum jadi. Ia
merasa harus berbuat dengan tahapan yang jelas, tanpa nggege mongso (mendahului kehendak Allah). Pelan tapi jelas
dan nyata, bangsa berangsur ”menjadi” dibuatnya.
Preambul
berkata ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak bangsa” dan bukan hak
individu. Ia kini sedang membangun bangsa Indonesia di wilayah strategis: Ibu
Kota. Eksistensi ”bangsa” baru sekadar pernyataan (1928), belum dimanajemeni
agar terwujud secara nyata. Bangsa adalah kumpulan manusia di suatu wilayah
tertentu yang memiliki kesamaan nasib (Ernest Renan), kesatuan tujuan (Otto von
Bauer), dan dalam kesatuan geopolitik (Soekarno). Kini, bangsa sesuai definisi
itu belum terwujud, Jokowi ingin mewujudkannya (mulai) dari DKI Jakarta.
Realisasi
janji-janji yang diucapkan merupakan manajemen tepat guna untuk Indonesia. Bila
berhasil, layak diprogram di seluruh Indonesia. Sementara bila janji-janji
tidak menjadi kenyataan (hanya karena menjadi presiden), bangsa ini kehilangan
metodologi pembangunan bangsa. Karena itu, berikan kesempatan kepada Jokowi
untuk merealisasikan janji-janji tanpa mengganggu. Gangguan terberat manusia
Indonesia adalah ketika dipangku (disanjung). Sampai hari ini, Jokowi masih
tegar tak terusik iming-iming keduniawian. Haruskah didorong untuk mengalah
dari prinsip-prinsip yang ia pegang teguh?
Saya sadar,
para ”pengikut”- nya yang setia akan tidak suka terhadap artikel ini. Kesetiaan
sebaiknya diukur dengan ”risiko” yang dihadapi Jokowi dan ”bangsa” Indonesia
yang dicintai. Mungkin Jokowi tak memikirkan risiko buat dirinya sendiri,
tetapi pasti memikirkan risiko buat bangsa ini, yaitu abadinya pembiaran di
segala bidang kehidupan membuat rakyat merana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar