Sabtu, 07 September 2013

Antara Jokowi dan “Surveyor”

Antara Jokowi dan “Surveyor”
Roch Basoeki Mangoenpoerojo  ;   Ketua Dewan Pembina Masyarakat Musyawarah Mufakat (MTiga) di Bandung
KOMPAS, 07 September 2013


Dua kali hasil survei kepemimpinan oleh Litbang Kompas (Desember 2012 dan Juni 2013) telah menyedot perhatian para analis politik. Hal itu sesuai aspirasi umum yang terus bertanya: ”siapa presiden Indonesia 2014?”
Terkesan semua ”mengharuskan” Jokowi agar menjadi presiden. Menarik adalah sikap Jokowi: ”Saya hanya mikir Jakarta”.
Ekspresinya dingin, seolah presiden bukan jabatan nan aduhai. Para analis mengira, ia sangat loyal kepada pimpinan partainya.
Itu betul, tetapi tidak sepenuhnya benar. Rekam jejak Jokowi sejak di Solo sangat menghargai ”proses dan tujuan”. Suatu ”tujuan” harus dicapai lewat proses yang perlu waktu tertentu. Ingat saat ingin merelokasi pedagang kaki lima (PKL) di Tirtonadi, Solo, ia butuh 54 kali makan bersama. Kini cuma butuh dua minggu merelokasi kesangaran PKL Tanah Abang. Ketulusannya telah dirasakan masyarakat.
Kekaguman
Masyarakat DKI khususnya dan Indonesia umumnya kagum melihat sepak terjang Jokowi (juga Basuki alias Ahok). Jabatan belum setahun telah berubah signifikan kendati belum nyata hasilnya, contoh waduk kumuh di Pluit menjadi taman, PKL Tanah Abang pindah ke Blok G, transjakarta semakin diminati, dan kesehatan masyarakat terlayani. Namun, niatnya itu masih dipertanyakan DPRD, menimbulkan isu pelengseran.
Elektabilitas dan popularitas yang dihasilkan surveyor adalah ”kekaguman politik” masyarakat kepada sosok tertentu. Seperti ketika SBY mendapatkan suara 62 persen pada tahun 2009. Tak sama citra Jokowi di Solo sampai di DKI ini dengan citra SBY 2004-2009. Diperlukan kedalaman pengamatan, jangan cuma melihat permukaan. Surveyor selayaknya mem-breakdown, khususnya kaitan ”hubungan antara pemimpin dan rakyat dalam sistem kemasyarakatan” yang eksis ataupun yang diinginkan. Bukan hanya lihat pemimpin dari sisi kekaguman politik. Janganlah kita tertipu dan tertipu lagi oleh penampilan calon pemimpin.
Prestasi Jokowi selama dua dekade ini adalah ketulusannya dalam memahami tujuan negara dan kemampuan rakyat sebagai prasyaratnya. Lalu, memanajemeninya dengan rendah hati tetapi berani. Tanpa teriak, ia benahi sistem bernegara. Ia tak tersanjung saat didorong-dorong menjadi presiden RI 2014.
Ia tahu kekuatan sebagai eksekutif (di Solo dan DKI) adalah adanya kekuatan rakyat yang mendukungnya. Kekuatan itu bukan dari konstituen di pilkada, melainkan dari rakyat yang dilayaninya pascapilkada.
Ia bangun ”daulat rakyat” dengan Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar untuk mendobrak sistem birokrasi/politik anggaran. Rakyat berdaulat sulit ditolak para birokrat ataupun anggota DPRD. Pusat pun harus mendukung daulat rakyat DKI, misalnya kasus penolakan enam jalan tol, sistem share dalam MRT dan monorel. Keberanian muncul saat rakyat mendukungnya.
Sistem bernegara
Jokowi salah satu sosok yang sadar, Indonesia ini telah merdeka, tetapi belum jadi. Ia merasa harus berbuat dengan tahapan yang jelas, tanpa nggege mongso (mendahului kehendak Allah). Pelan tapi jelas dan nyata, bangsa berangsur ”menjadi” dibuatnya.
Preambul berkata ”bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak bangsa” dan bukan hak individu. Ia kini sedang membangun bangsa Indonesia di wilayah strategis: Ibu Kota. Eksistensi ”bangsa” baru sekadar pernyataan (1928), belum dimanajemeni agar terwujud secara nyata. Bangsa adalah kumpulan manusia di suatu wilayah tertentu yang memiliki kesamaan nasib (Ernest Renan), kesatuan tujuan (Otto von Bauer), dan dalam kesatuan geopolitik (Soekarno). Kini, bangsa sesuai definisi itu belum terwujud, Jokowi ingin mewujudkannya (mulai) dari DKI Jakarta.
Realisasi janji-janji yang diucapkan merupakan manajemen tepat guna untuk Indonesia. Bila berhasil, layak diprogram di seluruh Indonesia. Sementara bila janji-janji tidak menjadi kenyataan (hanya karena menjadi presiden), bangsa ini kehilangan metodologi pembangunan bangsa. Karena itu, berikan kesempatan kepada Jokowi untuk merealisasikan janji-janji tanpa mengganggu. Gangguan terberat manusia Indonesia adalah ketika dipangku (disanjung). Sampai hari ini, Jokowi masih tegar tak terusik iming-iming keduniawian. Haruskah didorong untuk mengalah dari prinsip-prinsip yang ia pegang teguh?

Saya sadar, para ”pengikut”- nya yang setia akan tidak suka terhadap artikel ini. Kesetiaan sebaiknya diukur dengan ”risiko” yang dihadapi Jokowi dan ”bangsa” Indonesia yang dicintai. Mungkin Jokowi tak memikirkan risiko buat dirinya sendiri, tetapi pasti memikirkan risiko buat bangsa ini, yaitu abadinya pembiaran di segala bidang kehidupan membuat rakyat merana. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar