Kamis, 05 September 2013

Citnonong

Citnonong
L Wilardjo ;  Fisikawan
SUARA MERDEKA, 04 September 2013


DALAM forum berbincang-bincang jarak jauh (BBJJ) saya suka menimbrung perbincangan orang-orang ITB yang pintar-pintar. Rata-rata mereka itu guru besar, dan ada beberapa di antaranya yang “akademisyen” di Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI). Baru-baru ini ada yang meneruskan info tentang kemajuan Nissan dalam penelitian dan pengembangan teknologi; technological R & D (litbangtek) kendaraan otonom.

Mobil swakendara (self-driving car) tersebut siap dipasarkan tahun 2020. Litbang mobil itu juga digarap oleh MIT (IT Massachusetts) dan universitas Stanford, Oxford, Carnegie-Mellon, dan Tokyo. Pengendali jelajah, kemudi elektronik, dan pengatur katup aliran gas bahan bakarnya sudah jadi, hanya masih menyempurnakan pengindera dan kemampuan memantau jalan.

Bahkan model purwarupa (prototipe) sudah diuji coba di sebuah bekas pangkalan militer di Kalifornia. Katanya, sistem swakendara itu dapat dipasang pada mobil mewah dengan tambahan hanya 1.000 dolar AS. Dalam forum BBJJ ada beragam komentar. Ada yang sedih sebab makin nyata kita tertinggal jauh dalam pengembangan teknologi. Ada yang memberi tausiah jangan buru-buru meniru sebab mobil swakendara itu akan menghilangkan pekerjaan jutaan sopir dan kernet. Ada pula yang adem-ayem karena mobil jenis itu tak akan berfungsi di jalanan kita yang penuh sesak, semrawut, dan macet.

Sistem elektroniknya memang mampu menyesuaikan diri dengan seliweran (manoeuvre) kendaraan-kendaraan lain. Sistem kendali itu adaptif. Tetapi komponen-komponen mekanisnya tidak dapat beradaptasi secepat itu. Ada kelembaman (inertia) yang menghambat perubahan geraknya. Seandainya komponen-komponen mekanis itu mampu megimbangi elektroniknya pun, sistem swakendara itu pasti cepat rusak. Katup pengatur gas bahan-bakarnya akan lekas jebol.

Dengan “sersan” (serius tapi santai) saya berkelakar bahwa mobil swakendara itu akan membuat manusia cepat menjadi “citnonong”. Di dunia pewayangan ada setan-setan bajingah bekasakan dengan sosok aneh dan wajah seram. Mereka itu gendruwo, wewe, sundel bolong, glundhung-pringis, banaspati, dan sebagainya.

Ada juga yang disebut citnonong, bersosok seperti karikatur makhluk dari planet Mars dalam kartun fiksi ilmiah. Badan, tangan, dan kaki citnonong itu kecil, tetapi kepalanya besar dan dahinya panjul (menonjol). Otaknya yang sangat cerdas harus diwadahi batok kepala yang bervolume besar.

Intoksikasi-Adiksi

Sedini musim panas 1979, dalam konferensi di MIT, Joseph Weizenbaum mengingatkan bahaya intoksikasi oleh dan adiksi terhadap buah-buah ilmu dan teknologi yang paling jelek. Weizenbaum adalah guru besar TIK di MIT. Toxicon adalah kata dalam Bahasa Yunani yang berarti “racun” atau bisa ”anak panah”.

Intoksikasi berarti masuknya toksin ke tubuh kita dengan dosis cukup tinggi sehingga kita terangsang (atau justru majal rasa), sampai tak dapat mengendalikan mental dan fisik. Kalau kita ingin merasakan sensasi keracunan itu lagi dan lagi, kita sudah kecanduan. Kita terbelenggu adiksi. Zat intoksikan yang adiktif itu misalnya ada dalam rokok, miras, dan narkoba.

Tetapi yang dimaksudkan oleh Weizenbaum adalah kemudahan yang diberikan ilmu dan/atau teknologi, yang membuat kita kecanduan.
Sekarang makin banyak orang menjadi “gadget mania”. Kalau pergi keluar dan ponsel canggihnya tertinggal di rumah, ia kelimpungan. Dalam menerbangkan pesawat jumbo jet komersial, pilot dapat memakai autopilot. Amerika memanfaatkan pesawat tanpa awak “Brengengeng” (the drones) untuk menyerang kubu-kubu pertahanan Taliban.

Di Indonesia pada Lebaran lalu ada stasiun televisi memakai helicam untuk memantau lalu lintas di pantura, jalur tengah, dan selatan. Stasiun televisi itu menggunakan helikopter kecil yang membawa kamera, dan mengendalikan penerbangan helikopter itu dan bidikan kamera yang dibawanya dari jauh. Satelit pemantau (dan mata-mata) juga memanfaatkan inderaja (penginderaan dari jauh; remote sensing).

Ilmu Dasar

Ini semua membuat manusia makin kecanduan iptek canggih. Manusia kian kehilangan kemampuan koordinasi dan kecepatan reaksinya. Bila terjadi kesulitan karena bencana alam atau gangguan ulah peretas sistem komputer, dalam situasi darurat itu sang operator tidak dapat bertindak dengan cepat dan tepat.

“Alah bisa karena biasa”, kata pepatah. Kalau pun iptek canggih itu membuat manusia menjadi makin cerdas pun (sehingga kepalanya besar seperti citnonong) kelincahan dan kecepatan saraf motoriknya sedemikian lamban karena praktis tidak pernah dipakai. Kecepatan otaknya yang cerdas tak diimbangi oleh kemampuan tangan dan kaki yang harus menjalankan perintah otak.

Sistem pintar seperti mobil swakendara itu teknologi canggih yang digarap dalam litbangtek selama bertahun-tahun dengan biaya besar. “Bahan baku”-nya yang terpilih dari sejumlah purwarupa yang merupakan hasil penelitian terapan. Adapun penelitian terapan mengolah hasil-hasil penelitian dasar. Tentu dipilih dulu, mana yang baik dan menjanjikan. Jadi jelaslah bahwa penelitian dasar perlu dikerjakan.

Tidak semua orang setuju memberi prioritas pada penelitian dasar. Dr Ashwin Sasongko (ahli TIK) misalnya, menganggap penelitian dasar hanya menghambur-hamburkan uang. Buat apa miliaran dolar dihabiskan untuk memburu boson Higgs di CERN (Pusat Penelitian Nuklir Eropa, di Geneva)? Ashwin tentu juga tidak mendukung impian Prof Terry Mart (UI) bahwa dalam waktu dekat Indonesia akan mempunyai akselerator dan menggunakannya dalam penelitian fisika tenaga tinggi (high energy physics).

Akselerator adalah mesin pemercepat zarah-zarah bermuatan, lalu tenaga zarah-zarah yang sudah menjadi sangat besar itu diberondongkan ke lesan (target) yang dipasang. Di lab besar, seperti CERN dan Fermilab (Batavia, Illinois), berkas zarah bertenaga sangat besar itu bahkan dibenturkan pada berkas yang sama besar tenaganya, yang bergerak pada arah berlawanan. Itulah yang disebut pembentur (collider).

Kalau ada kemampuan untuk menyisihkan dana untuk penelitian dasar, tak ada jeleknya itu kita lakukan. Kalau belum mampu, ya nebeng sajalah di CERN, atau di Lab Nasional Siklotron Adimenghantar (Superconducting Cyclotron) di MSU (Universitas Negara Bagian Michigan). ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar