Kamis, 05 September 2013

Aliansi Kelas Pekerja dan Reformasi Agraria di Indonesia

Aliansi Kelas Pekerja dan
Reformasi Agraria di Indonesia
Emilianus Yakob Sese Tolo ;   Peneliti pada Magister Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
INDOPROGRESS, 02 September 2013


SUDAH sejak lama, Indonesia berada dalam paradoks: kaya sumber daya alam, tetapi mayoritas rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan. Data berbicara bahwa sejak tahun 2008, pertumbuhan ekonomi Indonesai selalu positif yakni 4,58 persen (2009), 6,1 persen (2010), 6,5 persen (2011) dan 6,3 persen (2012). Namun,  pertumbuhan ekonomi ini tidak diikuti oleh pemerataan ekonomi.[1] Hal ini ditunjukkan oleh koefisien gini (gini index) yang terus naik yakni 0,39 (2009), 0,38 (2010), dan 0,41 (2011).

Menurut analisis ekonomi-politik, koefisien gini di atas 0,4 sangat berbahaya bagi stabilitas sebuah negara karena berpotensi menimbulkan konflik sosial yang dipicu oleh tingginya kesenjangan ekonomi antara si kaya dan si miskin (Sinaga 2012). Menurut BPS (Maret 2011), jumlah orang miskin di Indonesia sebesar 29,89 juta jiwa. Laporan Bank Dunia jauh lebih mengejutkan, yakni 40 persen saya er  menduduki cabanangungg jawab kepada rakyat rsal, dan karena itu tidak bertanggung jawab kepada rakyat. hubungan  dari total penduduk Indonesia (Media Indonesia, 5/1/2012). Di Indonesia (2011), kekayaan dari 40 orang terkaya, setara dengan kekayaan 60 juta penduduk. Atau, kekayaan dari 43 ribu penduduk hampir sama dengan kekayaan yang dimiliki oleh 140 juta penduduk (Prakarsa Policy Review 2011).

Ilustrasi tersebut menunjukkan bahwa Indonesia merupakan negara dengan kesenjangan ekonomi tinggi dan sekaligus merupakan negara terburuk dalam mengatasi kemiskinan di Asia Tenggara, karena jumlah penduduk miskin bertambah 2,7 juta dalam tiga tahun terakhir (Prakarsa Policy Review 2011). Salah satu penyebab tingginya kesenjangan ekonomi dan kemiskinan adalah ketiadaan keadilan agraria, yang ditunjukkan oleh koefisien gini kepemilikan tanah yang terus naik dari tahun ke tahun.

Naiknya koefisien gini kepemilikan tanah setiap tahun disebabkan oleh kepemilikan tanah dari puluhan hingga jutaan hektar oleh pengusaha berkapital besar. Akibatnya, banyak petani di Indonesia yang tidak atau hanya memiliki lahan kecil yang melakukan urbanisasi untuk mendapat kehidupan yang lebih layak di kota. Dalam pendekatan agraria, proses ini disebut de-peasantization.[2] Urbanisasi seperti ini tidak menyelesaikan persoalan karena pertumbuhan ekonomi kota tidak mampu menyerap semua tenaga kerja yang berlimpah ruah. Apalagi, banyak dari tenaga kerja dari pedesaan tak memiliki pendidikan dan keterampilan. Karena tidak terserap sektor formal, tenaga kerja yang tak berpendidikan dan keterampilan ini terpaksa menjadi penganggur yang rentan terlibat dalam aksi kejahatan di perkotaan.

Situasi paradoksal yang dijelaskan di atas perlu dicarikan solusinya. Salah satunya adalah reformasi agraria yang akan diulas dalam tulisan ini. Di sini saya akan membahas signifikansi reformasi agraria di Indonesai yang dibagi ke dalam beberapa bagian. Setelah pendahuluan singkat ini, saya akan menjelaskan kontestasi wacana reformasi agraria di Indonesia dari era pasca-kemerdekaan hingga pasca-reformasi. Pada bagian selanjutnya, akan diuraikan tentang landasan teoritis yang berkaitan dengan reformasi agraria dan pembangunan bangsa. Uraian ini akan berlanjut dengan fakta-fakta empiris yang menjadi pijakan untuk merekomendasikan reformasi agraria di Indonesia.  Akhirnya, saya akan menguraikan tawaran strategi reformasi agraria yang perlu dilakukan untuk konteks Indonesia.
Kontestasi wacana reformasi agraria di Indonesia (1945 -   )
Wacana reformasi agraria di Indonesia yang pasang surut sangat bergantung pada dinamika politik dan kemauan penguasa. Hal ini terjadi sejak Indonesia terlepas dari belenggu penjajahan Belanda. Wiradi (2005) menegaskan bahwa kondisi agraria Indonesia ditentukan oleh empat faktor yang saling berkaitan yakni (1) warisan sejarah, (2) dinamika internal, (3) intervensi pemerintah melalui pelbagai kebijakan, dan (4) intervensi pihak luar seperti perusahaan besar nasional dan multi nasional. Dinamika keempat faktor ini membentuk kebijakan nasional dalam kaitannya dengan struktur agraria.

Setelah kemerdekaan, para founding fathers berniat menata kembali sistem pertanahan melalui reformasi agraria. Menurut Soemardjan (1962), tujuan utama reformasi agraria pasca kemberdekaan bukan terutama untuk memfasilitasi pembangunan ekonomi, walaupun reformasi agraria itu sendiri berimplikasi ekonomis bagi kehidupan masyarakat.

Awalnya, pada tahun 1945, reformasi agraria dicetuskan sebagai percobaan, oleh Menteri Dalam Negeri, di sebuah desa perdikan di Banyumas, Jawa Tengah. Implementasi reformasi agraria ini didukung oleh undang-undang No. 13/1946. Melalui undang-undang ini, hak istimewa yang diberikan kepada elit desa (land lords) dalam kaitannya dengan kepemilikan tanah dan hak-hak kepemimpinan dicabut. Pemerintah mengambil tanah-tanah dari para tuan tanah dan dibagikan kepada para petani (sharecroppers) yang sebelumnya bekerja secara bagi hasil  kepada para tuan tanah. Namun, pemerintah membayar kompensasi bulanan seumur hidup bagi mereka yang kehilangan tanah (Soemardjan 1962).

Tiga tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan undang-undang darurat No. 13/1948. Dengan undang-undang ini, para petani berhak atas tanah yang sebelumnya dikontrol oleh perusahan Belanda, khususnya sekitar 40-an perusahan gula milik Belanda di Yogyakarta dan Surakarta. Akhirnya, perusahaan yang ditinggalkan Belanda diambil alih oleh pemerintah Indonesia dengan membayar kontrak dengan para petani. Kemudian, reformasi agraria dilakukan pada skala yang lebih luas dengan memasukan tanah-tanah partikelir (perkebunan milik pribadi) yang diperkirakan seluas 1.150.000 hektar di daerah Jawa dan Sulawesi yang sebelumnya dijual oleh Belanda kepada orang-orang Inggris, Arab, dan Tionghoa pada masa krisis keuangan sebelum abad ke-20 (Soemardjan 1962).
Pada masa demokrasi terpimpin, pemerintah mengeluarkan undang-undang No. 1/1958 yang berimplikasi pada penghapusan tanah perkebunan pribadi (particuliere landerijen). Semua hak istimewa yang sebelumnya dikuasai para tuan tanah kini diambil alih oleh pemerintah. Para tuan tanah diberi dua pilihan yakni: (1) menjual langsung kepada petani, atau (2) menjual kepada pemerintah Indonesia yang kemudian dibagikan kepada para petani yang bekerja pada perkebunan itu. Dalam dua penjualan di atas, pemerintah yang menentukan harga dan dapat dicicil dalam waktu maksimum 5 tahun. Namun, para pemilik perkebunan dapat meminta ijin atau sertifikat kepada pemerintah untuk memiliki perkebunannya dengan jangka waktu yang ditetapkan oleh undang-undang agraria (Soemardjan 1962).

Pada tanggal 24 September 1960, presiden Sukarno mengesahkan UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). UUPA menjadi dasar untuk redistribusi tanah bagi para petani miskin dan tak bertanah. Pada tahun 1962-1964, sering terdengar berita tentang aksi pendudukan lahan oleh para petani yang dijadikan sebagai obyek reformasi agraria. Biasanya tanah yang dijadikan sasaran reformasi agraria adalah tanah ‘guntai’ dan tanah para tuan tanah yang luasnya bertentangan dengan undang-undang agraria (Setiawan 2008). Di Jawa, dari tahun 1963-1965, reformasi agraria masuk dalam agenda politik PKI. Namun, kampanye ini akhirnya menjadi noda ketika PKI disingkirkan oleh negara (Lucas 1992). Setelah jatuhnya Sukarno, isu reformasi agraria pun lenyap dari konstelasi politik nasional. Para petani yang mendukung land reform  dituduh sebagai PKI. Mereka diburu, dipenjara dan banyak juga yang dibunuh (Lucas 1992,  Setiawan 2008).

Pada masa pemerintahan Orde Baru, upaya kebijakan reformasi agraria mengalami stagnasi total, bahkan mengalami involusi. Pemerintah Orde Baru telah mengkhianati semangat UUPA (1960). Dengan jargon ‘demi pembangunan bangsa’, pemerintah Orde Baru mengutamakan kepentingan pemilik modal besar daripada masyarakat kecil dengan membuat undang-undang di bidang kehutanan, kelautan, perkebunan dan pertambangan yang pro-kapitalis. UUPA hanya diberi otoritas untuk mengatur 30 persen dari wilayah daratan Indonesia, selebihnya menjadi kewenangan undang-undang Kehutanan yang dibuat tahun 1967. Dengan kata lain, UUPA hanya mengatur tanah non-hutan. Selain itu, UUPA yang sebelumnya dikendalikan oleh Depertemen Agraria diserahkan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang lebih mengurus hal-hal administratif (Setiawan 2008).
Pada repelita pertama Orde Baru (1969-1974), pemerintah berorientasi meningkatkan hasil pertanian melalui intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi dalam bidang pertanian. Repelita ini berhasil dan membawa implikasi ekonomi pada nilai tanah. Namun semenjak itu pula, nilai jual tanah menjadi lebih tinggi. Kenyataan ini melahirkan para cukong tanah yang membeli tanah dengan harga murah dan menjualnya dengan harga lebih tinggi kepada kelas menegah di kota yang ingin menjadikan tanah sebagai investasi di masa depan. Dengan ini, tanah dikomodifikasi demi keuntungan ekonomi pihak-pihak tertentu yang memiliki kapital.
Selama Orde Baru, di kota-kota besar di Indonesia, para konglomerat bekerja sama dengan para birokrat untuk membeli tanah guna membangun mall, hotel, restoran, dll. Sementara itu, di daerah pedesaan, para konglomerat bekerja sama dengan birokrat lokal untuk mendapatkan daerah eks-HPH untuk membangun lahan pertanian (Lucas 1992). Persekutuan ini telah menyingkirkan masyarakat yang tidak memiliki sertifikat tanah yang jelas. Bagi Orde Baru, mereka dianggap telah menghalangi pembangunan. Jika ada masyarakat yang berani menentang pengalihan lahan untuk kepentingan kapital, pemerintah segera melabeli mereka sebagai PKI, dengan konsekuensi pemenjaraan tanpa proses peradilan atau bahkan pembunuhan.

Sejatinya, UUPA sudah menyiapkan instrumen agar masyarakat memiliki land security melalui sertifikat yang jelas dengan mudah. Lucas (1992:83) menegaskan bahwa ‘menurut UUPA, agar negara dapat mengakui kepemilikan tanah, semua hak atas tanah mesti didaftarkan agar mendapat sertifikat. Hanya dengan cara inilah keamanan legal tersedia bagi pemilik tanah. Pendaftaraan untuk sertifikasi tanah adalah wajib berdasarkan undang-undang, tidak ada batas waktu yang ditetapkan untuk pendaftaraan tanah.’ Namun, hal ini tidak bisa direalisasikan karena masalah biaya dan birokrasi Orde Baru yang koruptif dan berbelit-belit. Tanpa kepemilikan sertifikat, tanah masyarakat yang memiliki potensi ekonomi dengan mudah dirampas oleh negara yang telah berselingkuh dengan kapitalis tanpa memberikan kompensasi yang adil sesuai undang-undang yang berlaku. Karena itu, Lucas (1992: 84) secara sinis mengatakan bahwa di Indonesia ‘tanah dan hukum adalah milik orang berduit.’

Pengkhianatan Orde Baru kepada agenda reformasi agraria berpuncak di tahun 1971 ketika negara memberhentikan dana untuk membiayai program reformasi agraria. Bagi Lucas (1992: 83), hal ini menandai bahwa ‘reformasi agraria “bukan lagi prioritas pemerintah”.’ Tak heran, ketimpangan kepemilikan tanah terus naik dari tahun ke tahun. Pemerintah daerah berada dalam dilema: di satu pihak mesti mempertahankan hak-hak masyarakat, tetapi, di pihak lain harus secara aktif mempromosikan proyek pembangunan daerahnya di bawah agenda nasional (Lucas 1992).

Setelah Orde Baru tumbang, keran isu reformasi agraria dibuka kembali. Pada tahun 2001, pemerintah menerbitkan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Ketetapan MPR ini berintensi mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah dan kekayaan alam lainnya, menyelesaikan konflik-konflik agraria dan sumber daya alam, dan memperbaiki kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam yang rusak. Pasal 2 Tap MPR No. IX/2001 menegaskan sebagai berikut bahwa ‘pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksakanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia’ (Setiawan 2008: 417).

Agar Tap MPR No. IX/2001 segera dilaksanakan, lahirlah Tap MPR No. VI/ 2002 dan Tap MPR No. I/2003 yang menegaskan bahwa pemerintah tetap berkewajiban mengimplementasikan apa yang telah ditetapkan dalam Tap IX/MPR/2001. Sementara itu, Tap MPR No. V/2003 menuntut lembaga negara, DPR dan Presiden, untuk melaksanaka reformasi agraria dengan terlebih dahulu menyelesaikan konflik dan permasalahan di bidang agraria dan mempercepat pembahasan RUU Pelaksanaan Pembaruan Agraria dengan membentuk lembaga atau institusi independen (Setiawan 2008).
Pada tanggal 31 Januari 2007, Presiden SBY berencana memulai pelaksanaan reformasi agraria dengan prinsip tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat. Sebelumnya, pada 28 September 2006, SBY memanggil Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian dan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI untuk menetapkan 18,15 juta hektar hutan produksi konversi dialokasikan bagi program reformasi agraria untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Sementara itu, pada 29 Januari 2007, DPR RI tetap mempertahankan UUPA karena diniali relevan dan urgen bagi bangsa Indonesia. Apalagi, dasar hukum reformasi agraria adalah UUPA No. 5/1960 (Setiawan 2008).
Pada bulan Mei 2007, dalam rapat kabinet tentang reforma agraria, presiden RI berencana menerbitkan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria dan akan diadakan pertemuan presiden dengan gubernur, bupati/walikota, serta peluncuran Program Pembaruan Agraria nasional (PPAN) oleh Presiden. Namun, di penghujung tahun 2007, agenda reforma agraria berada di persimpangan jalan. Kemauan politik yang telah direncanakan tidak bisa diimplementasikan. Para petani kecewa. PP No. 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayaagunaan Tanah Terlantar sempat memberikan angin segar bagi petani agar terjadi redistribusi lahan bagi tanah yang ditelantarkan oleh perusahaan. Namun, hal ini tidak terealisasi secara maksimal. Dari 4,8 juta hektar yang terindikasi sebagai tanah terlantar oleh BPN RI, baru 37.223 hektar yang ditetapkan sebagai tanah terlantar. Parahnya lagi, tanah terlantar yang ditetapkan ini belum diredistribusikan kepada masyarakat (Setiawan 2008).
Tahun 2012, DPR RI mengesahakan UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. UU ini kemudian diperkuat oleh Perpres No. 71/2012 tentang Penyelenggaraan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dua peraturan ini telah memuluskan proses pembebasan tanah atas nama pembangunan dan kepentingan umum. Karena itu, konflik agraria meningkat pada tahun 2012 (Arsyad 2012b). Pada masa kepemimpinan SBY, sejak 2004-2012, telah terjadi 618 konflik agrarian di seluruh Indonesia dengan areal konflik seluas 2.399.314, 48 hektar yang mana telah membawa kerugian bagi 731.342 KK. Banyak pihak meragukan niat politik SBY untuk menyelesaikan permasalahan agraria di sisa masa jabatannya. Apalagi, tahun 2013 adalah tahun persiapan bertarung dalam pemilu nasional 2014 (Arsyad 2012b).
Reformasi agraria dan pembangunan

Reformasi agraria (agrarian reform) didefinisikan sebagai ‘suatu penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil pada umumnya yang sekaligus menjadi landasan menuju proses industrialisasi nasional’ (Setiawan 2008: 414). Ini berarti bahwa setiap perubahan yang lebih baik dalam kaitan dengan kepemilikan tanah bisa digolongkan sebagai reformasi agraria. Karena itu, Barlowe (1953: 175) menegaskan bahwa ‘poin penting yang harus diperhatikan adalah bahwa reformasi agraria punya makna berbeda bagi kelompok-kelompok yang juga berbeda.’

Tujuan utama reformasi agraria adalah agar terjadi perubahan yang lebih adil dalam struktur kepemilikan tanah. Secara teoritis, struktur kepemilikan tanah berpengaruh terhadap struktur sosial, ekonomi dan politik. Penelitian terdahulu (Feder & Onchan 1987, Ip & Stahl 1978, Barlowe 1953, Ahmed 1976, Place & Hazell 1993) menegaskan bahwa reformasi agraria ‘berpotensi’ positif bagi pembangunan dan pemerataan ekonomi suatu bangsa. Artirnya, reformasi agraria tidak ‘otomatis’ akan berdampak positif terhadap pembangunan dan pemerataan ekonomi suatu bangsa. Dalam kasus-kasus  reformasi agraria di Rumania dan beberapa negara Eropa Timur setelah Perang Dunia I yang diajukan Barlowe (1953), reformasi agraria memang memuaskan para petani yang ingin memiliki tanah, namun belum tentu berimplikasi positif terhadap meningkatnya produktivitas petani. Karena itu, Barlowe (1953: 176, 187) menyimpulkan bahwa ‘…reformasi agraria bukanlah obat mujarab penyembuh semua penyakit. … Reformasi agraria saja tidak semerta-merta menjamin majunya pembangunan ekonomi.’

Setelah melakukan penelitian di 25 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, Ahmed (1976) mencapai kesimpulan yang sama dengan Barlowe (1953) dan membantah hipotesis yang mengatakan bahwa kepemilikan tanah pertanian kecil di negara berkembang dapat berdampak positif mengurangi ketimpangan (inequality) penghasilan di daerah pedesaan, juga bisa meningkatkan efisiensi produktivitas pertanian. Tanpa diikuti oleh perubahan lain yang berkaitan dengan struktur agraria, institusi dan kebijakan, reformasi agraria tidak akan membawa banyak perubahan bagi tingkat kesejahteraan para petani. Ahmed (1976) juga berargumen bahwa bahwa tanpa intervensi teknologi yang memadai, produktivitas dan keseimbangan pendapatan petani di negara berkembang sulit dicapai walaupun telah terjadi reformasi agraria.

Agar membawa manfaat positif, menurut Wiradi (2005: 130), reformasi agraria mesti didukung oleh beberapa hal seperti: (1) jaminan hukum atas hak yang diberikan, (2) tersedianya kredit yang terjangkau, (3) akses terhadap jasa-jasa advokasi (4) akses terhadap informasi baru dan teknologi, (5) pendidikan dan pelatihan, dan (6) akses terhadap sarana produksi. Faktor-faktor pendukung yang disebutkan ini berkontribusi bagi reformasi agraria yang sustainable. Namun, faktor-faktor pendukung ini diperlukan supaya demokrasi ekonomi bisa terealisasikan, bukan demi kepentingan akumulasi kapital seperti dalam logika kapitalisme. Karena itu, reformasi agraria mesti dirancang sedemikian rupa agar logika kapitalisme benar-benar ‘dimatikan’ setelah redistribusi lahan tercapai. Dengan demikian, reformasi agraria ‘kedua’ sebagaimana yang sedang diwacanakan di Jepang, tidak terjadi pada negara lain yang berkomitmen untuk melakukan reformasi agraria di masa mendatang (Solon & Saragih 2013).

Salah satu hal penting yang dituntut dari reformasi agraria adalah bahwa pasca-reformasi agraria, kejelasan kepemilikan tanah (ownership security) mesti merupakan sebuah keniscayaan. Sebab, kejelasan inilah yang akan mendorong pembangunan ekonomi. Di satu sisi, Feder & Onchan (1987) telah membuktikan hipotesa ini dengan melakukan penelitian di tiga provinsi di Thailand, yakni Lop-Buri, Nakhon Ratchasima dan Khon-Kaen. Hasil penelitian mereka membuktikan bahwa ada hubungan positif antara meningkatnya investasi ekonomi dan kejelasan kepemilikan tanah, terutama dalam suatu masyarakat di mana institusi keuangan dikuasai oleh lembaga formal seperti bank. Korelasi ini terlihat sangat jelas pada dua propinsi di Thailand, yakni Nakhon Ratchasima dan Khon-Kaen.

Kejelasan kepemilikan tanah pasca reformasi agraria adalah syarat utama pembangunan ekonomi. Menurut Feder & Onchan (1987: 311-318), ada dua alasan kepemilikan tanah yang jelas berdampak positif terhadap pembangunan ekonomi. Pertama, kepemilikan tanah yang jelas ditandai oleh kepemilikan sertifikat tanah akan meningkat formasi kapital dan investasi karena akses terhadap kredit lebih mudah. Feder & Onchan (1987: 311) menulis bahwa ‘[...] dengan dokumen legal kepemilikan tanah akses pemilik tanah terhadap modal pada bank, yang umumnya kekurangan informasi tentang latar belakang dan potensi peminjam, lebih mudah.’  Sebaliknya,  ‘ketidakjelasan kepemilikan tanah menyebabkan tanah tidak bisa menjadi jaminan pinjaman di bank’ (Ibid., p. 318). Kedua, kepemilikan tanah yang jelas mendorong para petani untuk mengolah tanahnya secara lebih baik (land improvement). ‘[...] kepemilikan tanah yang jelas akan menyebabkan pengelolaan pertanian secara lebih baik’ (Ibid., p. 318). Kejelasan kepemilikan tanah menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi, sehingga ada kemauan dan usaha untuk mengolah dan memanfaatkan sumber daya tanah secara memadai untuk meningkatkan kesejahteraan.

Jadi, reformasi agraria jelas memiliki implikasi positif bagi pembangunan ekonomi. Di Asia, reformasi agraria di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan memberikan bukti yang tepat bahwa reformasi agraria membawa kemajuan bangsa (Wiradi 2005). Produktivitas pertanian meningkat yang akhirnya juga mendorong seluruh pembangunan ekonomi di bidang lain, termasuk bidang industri (Ip & Stahl 1978). Namun, reformasi agraria tidak saja berhenti pada pembangunan ekonomi. Demokrasi ekonomi mesti menjadi tujuan akhir dari upaya reformasi agraia.  Oleh sebab itu, negara berkembang yang mengalami ketimpangan dalam struktur kepemilikan tanah namun masih mengandalkan pembangunan dari sektor pertanian seperti Indonesia[3], wajib hukumnya segera melakukan reformasi agraria agar pembangunan ekonomi dan demokrasi ekonomi bisa teralisir (Wahono 2005). Untuk mencapai tujuan ini, perkembangan pertanian harus pula mendorong tumbuhnya  industrialisasi. Surplus ekonomi dari aktivitas pertanian mesti juga dialokasikan bagi pembagunan dan pengembangan industri. Kemajuan suatu bangsa juga sangat ditentukan oleh proses industrialisasi (Lane 2013).

Reformasi agraria dan kondisi keagrariaan kita

Sekitar 43 persen tenaga kerja Indonesia bekerja pada sektor pertanian (Khudori 2013). Kemiskinan lebih terkonsentrasi di pedesaaan sebesar 66 . Makin banyak ditemukan petani yang hanya memiliki lahan pertanian seluas 0,3 hektar atau hanya menjadi buruh tani (landless). Menurut, Joyo Winoto, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), sekitar 84 persen petani Indonesia yang memiliki tanah di bawah 1 hektar. Di Indonesia, sejak tahun 1960an, luas kepemilikan tanah semakin menurun dari tahun ke tahun. Pada tahun 1963, rata-rata penguasaan tanah petani adalah 1,05 hektar menjadi 0,99 hektar pada tahun 1973, 0,90 pada tahun 1983, 0,81 pada tahun 1993 (Setiawan 2008). Menurut Sensus Pertanian (1993), terdapat 21,1 juta rumah tangga (RT) di pedesaan yang mana 70 persen dari mereka menggantungkan diri pada sektor pertanian. Dari jumlah 21,1 juta RT,  sekitar 3,8 persen merupakan rumah tangga penyakap yang tak bertanah, 9,1 juta RT bekerja sebagai buruh tani, dan 9,9 juta RT petani tidak bertanah. Sensus Pertanian (2003) menyebutkan bahwa jumlah RT petani kecil yang memiliki tanah 0,5 hektar (milik sendiri atau pun menyewa) meningkat 2,6 persen per tahun dari 10,8 juta RT (1993) menjadi 13,7 juta RT (2003). Selain itu, dari 24,3 juta RT petani yang memiliki tanah, 20,1 juta (82,7 persen) dikategorikan miskin.

Menurunnya jumlah luas lahan garapan para petani disebabkan oleh terkonsentrasinya kepemilikan tanah dalam jumlah besar pada pengusaha. Di sektor perkebunan, berdasarkan data dari Ditjen Perkebunan Dept. Hutbun (2000) meliris data 30 tahun terakhir (1968-1998) yang menunjukkan bahwa luas perkebunan secara keseluruhan meningkat dari 4,96 juta hektar menjadi 14,67 juta hektar.  Pada tahun 1997/1998, jumlah perkebunan besar di Indonesia sebanyak 1.338, dan 252 dari jumlah tersebut dalam kondisi terlantar (Wiradi 2005). Dewasa ini, kelapa sawit sedang memperdalam kesenjangan kepemilikan tanah karena terdapat sekitar 11,5 juta hektar lahan kelapa sawit, 52 persen milik swasta dan 11,69 milik perusahan negara (Arsyad 2012).
Di sektor kehutanan, terdapat 531 izin pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI) yang luasnya mencapai 35,8 juta hektar dan dikuasai oleh puluhan konglomerat nasional. Masyarakat hanya mendapat 57 ijin pengelolaan hutan dengan luas hanya 0,25 juta hektar. Artinya,  hanya sekitar 0,19 persen  masyarakat pedesaan yang mendapat akses secara legal terhadap kawasan hutan. Di sektor pertambangan, tercatat dari tahun 1998-2010 terdapat sekitar 8.000 perizinan tambang yang dikeluarkan oleh pemerintah yang menyebabkan sekitar 3 juta hektar kawasan lindung dikonversikan menjadi areal tambang. PT Freeport Indonesia sendiri memperolah kontak karya seluas 2,9 juta hektar. Selain itu, lebih dari 20 pulau telah dikapling perorangan dan berbadan hukum asing untuk kepentingan industri pariwisata. Sementara itu, sekitar 50.000 hektar konsesi budidaya dikelolah oleh asing (Arsyad 2012, Setiawan 2008).
Akibat dari terkosentrasinya kepemilikan tanah pada konglomerat nasional dan perusahan multi nasional, hanya sekitar 0,2 persen penduduk Indonesia menguasai 56 persen aset produktif dan 87 persen dalam bentuk tanah (Arsyad 2012). Ketimpangan kepemilikan tanah ini berimplikasi pada konflik agraria yang terus terjadi hingga saat ini. Terkosentrasinya kepemilikan tanah pada konglomerat nasional dan perusahan multi nasional telah lahirkan konflik agraria di Indonesia. Sejak tahun 1970-2001, menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 2.834 kasus konflik agraria struktural di 286 daerah (kabupaten dan kota). Luas tanah berkonflik sekitar 10.892.203 yang mengorbankan sekitar 1.189.482 KK. Konflik paling tinggi terjadi pada sektor perkebunan yakni 344 kasus. Selain itu, sepanjang 2007, KPA merekam peningkatan kekerasan kepada petani sebanyak 80 kasus konflik agraria. Konflik agraria (2007) telah menewaskan 9 jiwa yakni 1 polisi, 2 satpam dan 6 warga. Terdapat pula 255 orang yang ditahan polisi dan 129 di antaranya mengalami cacatan akibat siksaan. Tambahan lagi, 208 rumah telah dibakar (Setiawan 2008). Pada tahun 2011 saja terjadi banyak sekali konflik agraria seperti yang terjadi di Mesuji, Bima, Pulau Padang, Jambi dan banyak daerah lain. Semua konflik agraria di atas biasanya dipicu oleh perampasan tanah (land grabbing) yang dilakukan oleh pemerintah dan korporasi besar baik nasional maupun multi nasional yang sudah beraliansi dengan negara.

Dalam tiga tahun terakhir (2010-2012), jumlah konflik agraria meningkat, yakni 106 (2010), 163 (2011, disertai dengan tewasnya 19 orang petani),  dan 198 (2012). Luas areal konflik adalah 963.411, 2 hektar dan melibatkan 141.915 KK. Dari 198 kasus (2012), konflik agraria sebesar 40 persen terjadi di sektor perkebunan (90 kasus), 30 persen di sektor pembangunan infrastruktur (60 kasus), 11 persen di sektor pertambangan (21 kasus), 4 persen di sektor kehutanan (20 kasus), 3 persen di pertanian tambak dan pesisir (5 kasus), dan 1 persen di sektor kelautan dan wilayah pesisir pantai (2 kasus). Konflik di sektor perkebunan paling besar karena izin lokasi dan izin prinsip yang diberikan di atas tanah yang masih dimiliki oleh masyarakat. Sepanjang tahun 2012, konflik agraria terjadi di 29 propinsi di Indonesia yang mana jumlah konflik paling tinggi terjadi di propinsi Jawa Timur sebanyak 24 konflik agraria dan Sumatra Utara 21 konflik agaria (Arsyad 2012b).
Konsentrasi kepemilikan tanah pada negara, peguasa dan pengusahan telah menyebabkan kemiskinan dan konflik agraria yang menelan banyak korban. Menurut Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (HAM) 1948, ‘setiap orang mempunyai hak untuk memperoleh taraf hidup yang layak bagi kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluargannya, termasuk pangan sandang, perumahan dan perawatan kesehatan…’ (Wiradi 2005: 128). Di Indonesia, ketimpangan kepemilikan lahan dan konflik agraria telah menimbulkan pelanggaran HAM. Oleh karena itu, reformasi agraria niscaya segera dilakukan.
Aliansi buruh dan tani sebagai strategi reformasi agraria
Agraria dan industri adalah dua hal yang tak dipisahkan. Begitu juga dengan petani dan buruh pabrik. Selain agraria menjadi dasar bagi proses industrialisasi dengan cara memindahkan surplus dari sektor pertanian ke sektor industri, juga kondisi agraria juga mempengaruhi upaya sektor industri kapitalis memperoleh keuntungan yang besar. Pada abad 16, di Eropa Barat, terutama di Inggris sudah ada upaya sistematis untuk mengakumulasi kapital melalui proses industrialisasi. Sejak itu, tanah-tanah di Inggris dirampas oleh pemilik modal dengan dua tujuan utama yakni (1) akumulasi kapital dan (2) proletarisasi (Mulyanto 2011).
Salah satu faktor penyebab kapitalis menerapkan outsourcing dan membayar murah para buruh adalah kelimpahan tenaga kerja akibat proletarisasi. Kelimpahan tenaga kerja ini terjadi akibat land grabbing, yakni para petani yang tanahnya dirampas terpaksa ke kota menjual tenaganya agar bisa terus mempertahankan hidup. Di Indonesia, tingkat urbanisasi jauh lebih tinggi daripada negara berkembang raksasa seperti China dan India (Prakarsa Policy Review 2011). Pada tahun 2012, terdapat sekitar 8,14 juta penganggur terbuka. Dari jumlah penganggur ini, 20 persen berpendidikan SD, 22,6 persen berijasah SMP, 40,07 persen menamatkan SMA, 4 persen diploma dan 5,7 persen berijasah sarjana (Republika, 1/5/2012).
Namun, di Indonesia, ‘relasi sosial yang ditimbulkan antara petani dan buruh […] belum mendapat perhatian memadai’  (Habibi 2012: 266). Karena itu, upaya melawan logika kapitalis ini seolah terfragmentasi antara (aktivis dan akademisi) buruh dan petani. Buruh merasa eksistensinya tidak memiliki relasi timbal balik dengan petani sehingga mereka hanya menuntut ketidakadilan yang berkaitan dengan sektor industrialisasi seperti upah buruh, jam kerja, pasar kerja fleksibel dan sistemoutsourcing. Jarang sekali terdengar demo buruh menuntut agenda reformasi agraria. Begitu juga sebaliknya dengan demo para petani. Baik buruh maupun petani berjuang sendiri-sendiri agar bisa keluar dari kapitalisme. Padahal, jika saja petani dan buruh bisa bekerja sama mengupayakan reformasi agraria, sistem upah buruh murah dan outsourcing bisa diatasi (Ilyas 2012).
Menurut Gunawan Wiradi, reformasi agraria di Indonesia harus diperjuangkan oleh masyarakat (reform by leverage) melalui organisasi tanpa menunggu inisiatif dari atas (reform by grace). Karena jika inisiatif  berasal dari pemerintah, reformasi agraria sewaku-waktu bisa menjadi barang tabu bila pendulum politik berubah,. Inilah yang terjadi pada peralihan dari era Sukarno ke Suharto. Peran negara tetaplah penting karena memiliki kekuatan memaksa untuk melangsungkan upaya reformasi agraria. Akan tetapi, pada dasarnya reformasi agraria mesti berasal dari masyarakat yang dipelopori oleh aliansi buruh dan petani. Aliansi buruh dan petani ini mesti juga didukung oleh kalangan akademisi yang memberikan landasan konseptual yang jelas tentang reformasi agraria.
Namun, perjuangan reformasi agraria by leverage ini mesti didukung oleh organisasi masyarakat. Sejauh ini, buruh dan petani di Indonesia yang memiliki serikat yang cukup terorganisir dapat mengambil peran sebagai kelas pelopor dalam upaya reformasi agraria. Di Indonesia, terdapat sekitar 90 serikat buruh (2008) dengan total anggota 3,4 juta jiwa (Juliawan 2013). Begitu juga dengan serikat petani baik lokal maupun nasional yang banyak yang tersebar di seluruh Indonesia seperti: Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Federasi Serikat Petani Indonesia (FSPI), Aliansi Petani Indonesia (API), Serikat Tani Nasional (STN), Persatuan Tani Nelayan Indonesia (PETANI), Mandiri dan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Petani Pasundan di Jabar, Organisasi Tani Jawa Tengah di Jateng, Serikat Tani Independen di Jatim, Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) di Sumut, Serikat Tani Bengkulu (STAB), Persatuan Petani Jambi (PPJ), Ikatan Petani Lapung (IPL), Serikat Tani (SERTA) di Nusa Tenggara Barat, Serikat Petani Kabupaten Sikka di Nusa Tenggara Timur, Serikat Tani dan Nelayan (STAN) di Sulawesi Selatan (Setiawan 2008). Jika diorganisir dalam satu gerakan berwawasan nasional[4] yang terkoordinir secara sitematis dalam satu aliansi, serikat-serikat petani dan buruh ini bakal mendorong perubahan yang dicita-citakan, yakni reformasi agraria.

No
Kepadatan penduduk per KM persegi
Tanah Irigasi (dalam Hektar)
Tanah Landang (dalam Hektar)
1
Populasi sangat padat, lebih dari 400 orang
5
6
2
Populasi agak padat, 251-400 orang
7 ½
9
3
Populasi kurang padat, 51-250 orang
10
12
4
Populasi tidak padat, sampai 50 orang
15
20
Sumber: Soemardjan 1962: 26

Namun, lagi-lagi perlu diingat bahwa tugas organisasi buruh dan petani ini bukan saja memungkinkan terjadinya reformasi agraria, tetapi juga membangun aliansi dengan kelas pekerja yang lain agar mendukung upaya reformasi agraria. Selain itu, fungsi organisasi buruh dan petani adalah memastikan agar tidak terjadinya akumulasi kapital ala kapitalis pasca-reformasi agraria. Reformasi agraria sesungguhnya berorientasi pada pembentukan ‘kapital domestik yang progresif’ yang berbeda dengan akumulasi kapital ala kapitalis. Sejatinya, upaya mencegah akumulasi kapital pasca-reformasi agraria telah diantisipasi dalam UUPA No. 5 Tahun 1960 dengan membatasi luas maksimal kepemilikan tanah (lihat tabel 1). Namun, keefektifan UU ini hanya mungkin bila masyarakat yang terorganisir mengontrol proses implementasinya.
Selain itu, koperasi mesti dikembangkan agar terjadi demokratisasi ekonomi pasca reformasi agraria. Dalam UUPA 1960, Hak Guna Usaha (HGU) masih diakui. Namun, UUPA memberikan HGU kepada masyarakat melalui koperasi (Ilyas 2012). Hanya dengan koperasi, akumulasi kapital pasca reformasi agraria ala kapitalis dapat dihindari. Bila HGU diserahkan kepada koperasi, maka koperasi juga dapat mengembangkan industrialisasi di pedesaan. Industrialisasi pedesaan memungkinkan surplus kapital desa bisa diinvestasikan di desa demi kehidupan masyarakat desa, sekaligus mencegah keluarnya tenaga kerja produktif ke kota. Dengan demikian, buruh industri di kota tetap memiliki posisi tawar tinggi terhadap perusahaan di kota karena fakta keterbatasan tenaga kerja di kota. Sudah saatnya, masyarakat Indonesia membangun membangun negerinya dari desa ke kota dan bukan sebaliknya.
Akhir kata, tak ada jalan pintas untuk konsolidasi aliansi buruh dan petani. Terfragmentasinya organisasi buruh dan petani baik secara internal maupun eksternal adalah kenyataan objektif yang mesti dipecahkan secara bersama. Beberapa akademisi merasa fragmentasi ini adalah hal yang alamiah dan sulit untuk didamaikan (Juliawan 2013). Namun, aliansi buruh dan tani ini perlu suatu tujuan bersama, dan itu terletak pada Reformasi agraria. Untuk jangka pendek, aliansi buruh dan petani merupakan perintis dalam perubahan struktur agraria. Meski demikian, untuk jangka pajang, aliansi buruh dan petani saja tidaklah cukup.  Diperlukan aliansi nasional yang melibatkan lebih banyak organisasi dari berbagai sektor. Akhirnya, kita membutuhkan ideologi pemersatu yang lebih besar, yakni pemberantasan kemiskinan, sehingga Indonesia tak lagi menjadi ‘kuli’ bangsa asing di negerinya sendiri yang kaya raya.

KEPUSTAKAAN

Ahmed, Iftikhar. (1976). Reduction in Rural Income Inequity Through Land Redistribution: A Quantitative Estimate, The Bangladesh Development Studies 4, 4: 499-502.
Arsyad, Idham. (2012). ‘Kusutnya Keagrariaan Kita’, Opini Kompas, 25 September 2012.
Arsyad, Idham. (2012b). Terkuburnya Keadilan Agraria Bagi Rakyat Melalui Reformasi Agraria, Laporan Akhir Tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria 2012. (Online).  (http://www.sapa.or.id/laporan-program/126-mitra-sapa/805-laporan-akhir-tahun-2012-konsorsium-pembaruan-agraria.html, diakses 22 Maret 2013)
Barlowe, Raleigh. (1953). Land Reform and Economic Development, Jurnal of Farm Economics 35, 2: 173-187.
Feder, Gershon & Onchan, Tongroj. (1987). Land Ownership Security and Farm Investment in Thailand, American Journal of Agricultural Economic  69, 2: 311-320.
Habibi, Muhtar. (2012). Konflik dan Transformasi Agraria: Kasus Indonesia. Dalam Agus Pramusinto & Erwan Agus Purwanto (Ed). Indonesia Bergerak,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar. pp. 255-271.
Ilyas, Ulfa. (2012). ‘Reforma Agraria dan Kemandirian Bangsa’ laporan diskusi di Wisdom Istitute, Jakarta 6 Januari 2012.
Ip, P.C & Stahl, C. W. (1978). System of Land Tenure, Allocative Efficiency, and Economic Develpment, Jurnal of Agricultural Economics 60, 1: 19-28.
Juliawan, Beni H. (2013). Politik Jalan Buruh dan Pasar Kerja Fleksibel, dalam seminar MAP Corner UGM Yogyakarta, 30 April 2013.
Lucas, Anton. (1992). Land Dispute in Indonesia: Some Current Perspectives, Indonesia53: 79-92.
Mulyanto, Dede. (2011). Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Eksploitasi Kapitalistik, Yogyakarta: Resist Book.
Place, Frank & Hazell Peter. (1993). Productivity Effects of Indigenous Land Tenure System in Sub-Saharan Africa, American Journal of Agricultural Economics 75, 1: 10-19.
Prakarsa Policy Review. (2011). Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar. Pp. 1-4.
Setiawan, Usep. (2008). Dinamika Reforma Agraria di Indonesia. Dalam S.M.P Tjondronegoro & Gunawan Wiradi (Ed). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Pnguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. pp. 399-342.
Sinaga, Andre. (2012). ‘Income, A Perilously Widening Gap’, dalam Jakarta Post [Opini], Selasa, 5 Juni 2012.
Soemardjan, Selo. (1962). Land Reform in Indonesia, Asian Survey 1,12:23-30.
Solon, Pablo & Saragih, Henry. (2013). ‘Demokrasi Ekonomi di Asia: Peluang dan Tantangan’, dalam Seminar Internasional di Fisipol UGM, Yogyakarta tanggal 25 April 2013.
Wahono, Francis. (2005). Pembaharuan Agraria: Fondasi Hak-Hak Petani. Dalam Francis Wahono (Ed). Hak-Hak Asasi Petani & Proses Perumusannya. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Pp. 165-182.
Wiradi, Gunawan. (2005). Reforma Agraria: Tuntutan Bagi Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia. Dalam Francis Wahono (Ed). Hak-Hak Asasi Petani & Proses Perumusannya. Yogyakarta: Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. pp. 121-123.
Wiradi, Gunawan. (2008). Garis-Garis Besar Argumen dalam Wacana Reforma Agraria. Dalam S.M.P Tjondronegoro & Gunawan Wiradi (Ed). Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Pnguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. pp. 483-491.



[[1]]Selama ini pertumbuhan ekonomi di Indonesia didorong oleh sektor modern atau non-tradeable seperti sektor keuangan, jasa, perumahan real estate, transportasi, komunikasi, perhotelan, perdagangan, dan restoran. Pertumbuhan sektor ini berada di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Sebaliknya, sektor tradeable seperti pertanian, pertambangan dan manufaktur mengalami pertumbuhan yang rendah. Padahal, pelaku ekonomi sektor tradeable ini jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan sektor non-tradeable. Hal inilah yang menyebabkan paradoks ekonomi di Indonesia: ‘ekonominya tumbuh, tapi tidak semua sejahtera’ (Khudori 2013).

[[2]]De-peasantization adalah fenomena dimana petani atau rumah tangga petani kehilangan kapasitasnya sebagai produsen atau unit ekonomi. Dalam proses ini, mereka bertransformasi melalui urbanisasi agar bisa masuk dalam sektor informal dan buruh migran. Menurut Rudi Hartono, aktivis Partai Rakyat Demokrat (PRD), yang terjadi di pedesaan Indonesia bukan ‘proletarisasi’, melainkan de-peasantization (Ilyas 2012).

[[3]]Di Indonesia, sektor pertanian masih berkontribusi cukup besar terhadap PDB. Kecuali untuk pulau Bali dan Jawa, hampir semua pulau lain di Indonesia mengandalkan pertanian yang ditunjukkan oleh Produk Domestik Regional Bruto. Pada tahun 1998, pertanian menyumbang 12,66 persen (Jawa & Bali), 16,38 persen (Kalimantan), 34,93 persen (Sulawesi), dan 25,29 persen (pulau-pulau yang lainnya) (Wahono 2005: 165-167). Namun, walaupun berkontribusi cukup besar terhadap PDB, secara nasional, sumbangan sektor pertanian terus menurun tiap tahun. Jika dibandingkan dengan tahun 1968, sumbangan sektor pertanian terhadap PDB sangat besar yakni sebesar 51 persen. Berbading terbalik dengan pertanian, sumbangan bagi PDB dari sektor industri terus naik. Tahun 1968, sumbangan sektor industri hanya 8,5 persen, namun pada tahun 2006 menjadi 47 persen (Habibi 2012).
[[4]] Sejauh ini, serikat buruh dan petani cenderung terfragmentasi,  baik dalam kelompok itu sendiri maupun dengan serikat buruh dan petani yang lain. Dalam kelompok internal, friksi dan fragmentasi itu disebabkan oleh faktor usia, gender, dan lama kerja. Sementara itu, fragmentasi eksternal antarserikat buruh dan tani disebabkan oleh tujuan organisasi, komunikasi, ambisi dan ego serikat. Juliawan (2013) mengakui kenyataan fragmentarisasi gerakan serikat buruh dan petani ini. Upaya untuk menyatukan mereka tidak mudah. Satu-satunya cara menyatukan mereka adalah dengan mengusung ideologi pemersatu. Salah satu ideologi pemersatu itu, menurut penulis, adalah reformasi agraria. Sebab, efek dari reformasi agraria akan membawa keuntungan ganda, yakni kepada petani karena mereka memiliki lahan, tetapi juga kepada buruh karena mengurangi tenaga kerja di kota, atau buruh juga bisa terjun ke sektor agraria yang lebih menguntungkan keluarganya secara ekonomi seperti yang terjadi di Brazil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar