Kamis, 05 September 2013

Pendidikan dalam Citra Propaganda

Pendidikan dalam Citra Propaganda
Sulistiyo ;  Ketua Umum PB PGRI, Anggota DPD Wakil dari Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 04 September 2013


"Yang mesti dipropagandakan adalah sekolah dengan perombakan filosofi yang memerdekakan jiwa"
SELALU berkait erat kebijakan pendidikan dengan citra propaganda kekuasaan. Apalagi hari-hari mendekati Pilpres 2014, eksplorasi pendidikan sebagai citra propaganda demi popularitas kian gencar dilakukan. Kebijakan pendidikan merupakan salah satu obsesi yang memancarkan citra propaganda kekuasaan. Paling populer, dan penuh kontradiksi, terutama sekolah gratis untuk pendidikan dasar. Bahkan kini muncul propaganda capres yang ingin menggratiskan pendidikan sampai pendidikan menengah.

Pendidikan gratis yang konsisten, sebagai akibat wajib belajar, tentu sangat bagus, seperti di Jerman. Orang tua diminta mengisi formulir, kebutuhan apa saja yang timbul dan akan menjadi beban jika anaknya bersekolah, termasuk kebutuhan pribadi. Telah dituangkan dalam PP tentang Biaya Pendididikan bahwa biaya pendidikan itu meliputi biaya investasi, personal, dan operasional.

Jadi, jika pemerintah akan menggratiskan biaya sekolah (negeri dan swasta), setidak-tidaknya menanggung penuh biaya investasi (pembangunan gedung sekolah, ruang kelas, perpustakaan, lab, lapangan olahraga, dan sebagainya), biaya personal (gaji guru, tenaga kependidikan, peningkatan kompenetensi), dan semua biaya operasionalnya.  Yang terjadi saat ini adalah sekolah hanya dibantu biaya operasional. Jadi, propaganda pendidikan gratis yang tidak konsisten, sesungguhnya penyesatan dan pembodohan.

Kontradiksi biaya pendidikan di sekolah, dengan propaganda politik itu, sungguh sangat menyudutkan peran kepala sekolah. Ini potret ambiguitas propaganda kekuasaan, yang tak menuntaskan persoalan. Sampai saat ini di Indonesia, hakikatnya, tak pernah terjadi sekolah yang benar-benar gratis. Selalu ada biaya pendidikan tak langsung (uang transpor, uang saku, buku, alat tulis, seragam).

Penyingkapan terhadap kedok, dusta, dan ambiguitas propaganda politik terhadap biaya pendidikan yang diekspresikan capres-cawapres selama ini perlu dilakukan. Minimal kelak pasangan capres-cawapres yang berkuasa tak akan lagi memanipulasi kebijakan biaya pendidikan untuk mendongkrak popularitas mereka.

Sudah saatnya kini biaya pendidikan tak diangkat sebagai propaganda politik dengan sikap ambigu. Kebijakan yang dicitrakan dengan ambiguitas serupa ini, hanya akan membangkitkan berbagai kesulitan praksis pendidikan, seperti kemacetan administrasi dan penyediaan sarana prasarana untuk membangkitkan mutu lulusan.

Serupa Kedok

Citra propaganda biaya pendidikan gratis demi kepentingan kekuasaan dan menarik empati massa, serupa kedok yang menutup bopeng praksis pendidikan. Ingin tahu sebabnya? Pertama; pemerintah pusat dan daerah belum sepenuhnya sanggup mencukupi segala kebutuhan biaya pendidikan.
Kedua; birokrasi pendidikan kita belum sepenuhnya menopang kelancaran praksis pendidikan. Ini realitas yang mesti segera ditanggulangi agar kebocoran dalam dana pendidikan dapat dicegah. Masih terdapat  proses birokrasi, pertanggungjawaban dan pengawasan yang berbelit-belit.

Ketiga; sebagian masyarakat dan orang tua siswa —dengan membebaskan diri dari pembayaran sumbangan pengembangan institusi (SPI), uang komite sekolah, dan ekstrakurikuler— menjadi fatalis. Mereka mau menikmati hasil pendidikan yang bermutu, tanpa biaya. Bahkan mereka cenderung menjadi pribadi pengritik dan penuntut dalam hal pendidikan.

Keempat; mutu pendidikan bukan lagi menjadi prioritas. Praksis pendidikan dilakukan dengan kebijakan serbahemat, serbadicukup-cukupkan. Pendidikan dikelola dalam  “harmoni-semu”. Pengelola pendidikan tak berpikir kreatif, tak sempat memberi bekal siswa untuk menatap tantangan zaman, tak berinisiatif membebaskan diri dari bingkai kesulitan memasuki lapangan kerja.   
   
Biaya pendidikan, baik jenjang pendidikan dasar maupun menengah, selama ini memendam kontradiksi yang menyulitkan praksis pendidikan. Bagi praksis pendidikan dasar, kontradiksi itu terjadi pada ketidakberdayaan manajemen sekolah untuk memenuhi semua kebutuhan sarana prasarana, administrasi sekolah  dan biaya peningkatan mutu pendidikan.

Intervensi Negara

Propaganda politik mengenai sekolah gratis yang memberi citra kemurahan hati pihak yang menyerukan, merupakan pendangkalan filosofi pendidikan karena memendam kontradiksi di dalamnya. Lebih tepat bila dikatakan, ”sekolah bermutu dengan biaya rendah”. Intervensi negara dan kekuasaan atas sekolah begitu kuat semenjak kurikulum dicanangkan, buku teks disusun, dan evaluasi dilaksanakan.

Sejak zaman Orba, intervensi negara terus-menerus dilanggengkan, sehingga mutu pendidikan tak pernah benar-benar mencapai pencerahannya selaras dengan tantangan zaman dan kebutuhan lapangan kerja. Target mutu pendidikan dapat direalisasikan sekolah dengan etos, etika, nurani, kaizen (pembaruan sedikit demi sedikit), dana pendidikan yang cukup dan pemenuhan sarana prasarana. 
Diperlukan ruang kreativitas bagi guru dan siswa di ruang kelas secara terus-menerus. Mengapa tidak lakukukan propaganda pendidikan yang memberikan kebebasan jiwa murid, kemerdekaan untuk berekspresi, pencarian dan pengembangan bakat, dan penumbuhan kesadaran akan tantangan zaman?

Propaganda sekolah gratis merupakan cara meraih empati massa yang paling pragmatis. Tapi lebih realistis bagi capres-cawapres  melancarkan propaganda pendidikan bermutu: perombakan filosofi pendidikan yang selaras dengan bingkai zaman. Kurangi intervensi politik dalam pengelolaan pendidikan. Jadikan guru dan siswa sebagai manusia bergairah mengarungi penemuan dan pengembangan bakat mereka masing-masing. Jagalah mereka menjadi manusia yang menemukan jati diri dalam dialogika zaman.

Tanpa intervensi pemerintah pun bertaburan sekolah gratis untuk kaum papa dan pinggiran didirikan, dikelola, dan dikembangkan. Mutu pendidikan sekolah ini tak kalah dibanding sekolah negeri di kota, yang menerima dana pendidikan dari pemerintah. Ini artinya propaganda sekolah gratis sudah usang. Yang mesti dipropagandakan dan mendesak adalah  sekolah dengan perombakan filosofi yang memerdekakan jiwa. Diperlukan  kebijakan pendidikan yang menghindari rasa takut, stres, rasa tak berdaya, jiwa terbelah, dan ketersia-siaan guru dan siswa. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar