Di antara kerumunan demonstran, muncul spanduk berbunyi: ”potonglah korupsi bukan subsidi”.
Demikian salah satu gugatan di tengah gelombang demonstrasi menentang
kenaikan harga bahan bakar minyak di Nigeria, Januari 2012. Jantung dari
kebijakan publik adalah legitimasi. Tanpa legitimasi, kebijakan publik tak
berarti apa-apa. Dan, korupsi telah menggerogoti dengan begitu ganas
legitimasi kebijakan publik.
Hari-hari ini, pemerintah kita juga tengah berpikir keras memecahkan
dilema subsidi bahan bakar minyak (BBM). Benarkah menaikkan harga BBM
menjadi pilihan paling mudah dibandingkan dengan opsi lain, seperti
penggunaan kartu pintar, pembatasan terbatas, atau zonasi? Atau,
jangan-jangan kerumitan itu justru menjadi alat berlindung dari substansi
persoalan sebenarnya agar kelihatan bekerja keras penuh kerumitan, padahal
sebenarnya tak melakukan hal mendasar atau much ado about nothing!
Harus diakui, kenaikan harga BBM tak semata-mata persoalan ekonomi,
tetapi juga politik. Dari sisi ekonomi, pemberian subsidi semakin sulit
dipertanggungjawabkan. Pertama, peningkatan konsumsi terus menekan kuota
BBM. Pada 2012, realisasi konsumsi Premium sebesar 28,24 juta kiloliter
(kl), padahal kuotanya 27,84 juta kl. Konsumsi Premium Januari 2013
dibandingkan Januari 2012 naik 7,5 persen. Sementara konsumsi solar naik 5
persen pada periode sama. Meski lonjakan konsumsi BBM tak selalu berarti
buruk karena menunjukkan peningkatan aktivitas ekonomi, tetap saja
menimbulkan risiko, baik jangka pendek maupun panjang.
Kedua, kenaikan konsumsi BBM meningkatkan anggaran subsidi dan
kemudian defisit anggaran. Tahun ini, pemerintah menyediakan anggaran
subsidi energi sebesar Rp 274,7 triliun, meliputi subsidi BBM Rp 193,8
triliun dan subsidi listrik Rp 80,9 triliun. Jika konsumsi terus meningkat,
sangat mungkin subsidi energi melesat di atas Rp 300 triliun. Subsidi
energi akan menyita paling tidak 30 persen dari total pengeluaran
pemerintah pusat. Apa implikasinya?
Pertama, pada keseimbangan primer fiskal yang pada 2012 sudah
mengalami defisit Rp 45,5 triliun. Defisit keseimbangan primer berarti
pengeluaran pemerintah sudah melebihi pendapatan sehingga pembayaran
cicilan utang harus dibiayai dari penarikan utang baru. Karena itu, ada
persoalan kesinambungan fiskal yang sering jadi acuan investor melihat
sehat tidaknya perekonomian sebuah negara.
Kedua, implikasi pada keseimbangan eksternal akibat meningkatnya
impor BBM yang membebani neraca perdagangan. Selain itu, peningkatan
konsumsi juga menaikkan permintaan dollar AS. Itulah mengapa PT Pertamina
diminta tidak mencari valuta asing di pasar, melainkan langsung ke Bank
Indonesia, untuk keperluan impor BBM. Jika langsung mengambil dari pasar
akan mengganggu pasokan dan berpotensi menimbulkan fluktuasi harga.
Sampai kapan kita mampu bertahan menghadapi lonjakan konsumsi BBM
yang dibarengi dengan meningkatnya tekanan pada fiskal dan neraca
perdagangan? Selain akan menimbulkan instabilitas dalam jangka pendek,
beban subsidi juga akan meningkatkan dampak jangka panjang. Besarnya beban
subsidi merupakan mis-alokasi anggaran yang mengurangi proporsi belanja
modal. Sementara kita tahu, saat ini hal paling penting yang kita butuhkan
dalam masa booming ekonomi adalah melakukan transformasi ekonomi guna
meningkatkan produktivitas dan daya saing.
Meski stabilitas makro kita baik dan pertumbuhan ekonomi tinggi,
sejatinya kemampuan bersaing kita masih relatif rendah. Indeks daya saing
Indonesia 2012-2013 ada di peringkat ke-50 dari 144 negara. Sementara
indeks pembangunan manusia masih di peringkat ke-121 dari 185 negara yang
disurvei. Semuanya menunjukkan, masih begitu banyak pekerjaan yang harus
dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini.
Apakah mengurangi subsidi BBM merupakan jalan pintas? Kenaikan harga
BBM hanya akan mendapatkan legitimasi jika dibarengi dengan beberapa hal.
Pertama, mitigasi persoalan jangka pendek yang ditimbulkan oleh kenaikan
harga bahan pokok. Apa pun alasannya, hal itu pasti berdampak negatif
terhadap penduduk miskin atau hampir miskin.
Kedua, dalam jangka menengah harus ada kepastian terjadinya
pengalihan subsidi tersebut ke pos belanja modal sehingga lebih banyak lagi
pembangunan infrastruktur yang dibiayai pemerintah. Setiap pembangunan
infrastruktur selalu membutuhkan pasokan tenaga kerja, terutama buruh,
dalam jumlah besar. Akibatnya, pembangunan infrastruktur, selain akan
meningkatkan sistem logistik nasional, juga menyerap tenaga kerja.
Sayangnya, birokrasi pemerintah gagal menunjukkan kinerja penyerapan
belanja modal. Setiap tahun rata-rata hanya terserap kurang dari 85 persen
dari alokasi.
Ketiga, kenaikan harga BBM hanya bisa diterima oleh masyarakat
(memiliki legitimasi) jika dilakukan pemerintah yang bersih dari korupsi.
Spanduk demonstran di Nigeria menunjukkan dengan baik, rakyat tidak akan
pernah terima kenaikan harga BBM di tengah-tengah kasus korupsi.
Pemberantasan korupsi memang tidak bisa sekali jadi. Sementara
kenaikan harga harus dilakukan secepatnya. Tidak mungkin kenaikan harga
menunggu sampai prospek pemberantasan korupsi membaik. Meski begitu,
komitmen yang kuat tetap bisa dirasakan dengan baik. Bagaimana mungkin
kenaikan harga BBM dilakukan di tengah banyaknya kasus korupsi yang
melibatkan orang-orang penting, baik di pemerintahan maupun partai politik?
Jadi, kenaikan harga BBM hanya mungkin dilakukan dengan melakukan dua
hal pokok. Pertama, pembenahan birokrasi agar terjadi peningkatan
penyerapan belanja modal sehingga lebih banyak lapangan kerja tercipta,
selain peningkatan kualitas infrastruktur secara signifikan. Kedua,
pembenahan korupsi dilakukan secara proaktif dan sistematis, tidak sekadar
reaktif terhadap respons Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ketidakberanian
mengambil pilihan menaikkan harga BBM sama halnya menghindarkan diri dari
bekerja keras karena kenaikan harga BBM membutuhkan prasyarat paling rumit.
Tidak benar kenaikan harga BBM adalah cara termudah menyelesaikan masalah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar