Sabtu, 23 Maret 2013

Jalan Asketisme Politik


Jalan Asketisme Politik
Asep Salahudin  ;  Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya 
Tasikmalaya, Jawa Barat
KOMPAS, 22 Maret 2013

  
Ketika kawannya, Sultan Muhammad Ibnu Malik, menjadi penguasa dinasti Saljuk, seorang ulama asketik, Imam Al-Ghazali, mengirimkan ucapan selamat dalam bentuk risalah berisi sejumlah petuah sekaligus harapan agar kekuasaan yang telah ada di genggaman karibnya itu mendatangkan berkah dan menjadi saluran yang mewariskan faedah bagi semua.

Al-Ghazali merasa mumpung kekuasaan itu baru saja berada di pangkuan, kecendekiaannya merasa terpanggil untuk turun gunung, lekas mengingatkan bahaya kekuasaan apabila tidak dikontrol dengan nasihat.

Petuah itu ditulis dalam sebuah kitab terkenal dan sampai kepada kita hari ini: At-Tibrul Masbuk fi Nashihatil Muluk ”Senarai Mutiara Nasihat untuk Para Penguasa”. Ada baiknya juga di tahun 2013 menjelang Pemilu 2014 buku ini menjadi bahan renungan bagi politikus. Toh, pada akhirnya karakter kekuasaan itu dari dulu sampai hari ini tidak jauh berbeda. Kekuasaan selalu cenderung korup kecuali sejak awal pemegang kekuasaan itu dengan ikhlas bersedia menjaga kebeningan hati dan menyimak setiap nasihat kebaikan dari mana pun datangnya.

Nasihat Al-Ghazali laiknya zaman skolastik, tentu berpusat pada pusaran nilai-nilai religiusitas dan pedoman etik moralitas yang diyakininya dan saat itu semakin lamat terdengar, bahkan nyaris absen dari ruang publik. Nasihat yang dijangkarkan pada pentingnya kesadaran metafisik sebagai haluan utama menata kekuasaan yang sudah semakin kehilangan nalar.

Nasihat yang disampaikannya betul-betul tanpa pamrih, nyaris di belakangnya tak ada motif meraih kuasa seperti yang dilakukan Sengkuni dalam dunia pewayangan. Sejak awal, seperti dapat juga dibaca dalam kitab Al-Ihya, dia sudah meneguhkan simpulan bahwa kerusakan penguasa itu sebermula ketika bersekongkol dengan ulama dan partai berjubahkan dakwah yang kerjanya membajak ayat-ayat Tuhan, memperjualbelikan fatwa dan kharismanya.

Ketika terjadi persekongkolan jahat antara kuasa dan jaringan simbolis keagamaan yang ditafsirkan secara salah kaprah, mesin kekuasaan akan mewajahkan raut mengerikan.

Karena itu, menjadi sangat dapat dipahami bahwa hal pertama yang diterakan Al-Ghazali dalam risalahnya itu adalah keniscayaan menancapkan rasaning daif dalam diri penguasa. Bahwa kursi yang ada di tangan kawannya harus dijadikan sarana untuk berkhidmat kepada Yang Mahakuasa sebagai pemilik absolut seluruh kekuasaan dengan cara menjadi pelayan makhluk Tuhan.

Bahwa kekuasaan yang kita genggam hanyalah fragmen-fragmen kecil amanat dari kuasa Tuhan, dari bayangan kodrat dan iradat-Nya. Karena amanat, maka imperatif moral susulannya adalah bagaimana kekuasaan itu kemudian dikelola dengan saksama. Amanat menjadi sebuah panggilan dari kedalaman iman karena hanya pemimpin amanah yang dapat menjadi garansi terdistribusikannya rasa aman kepada seluruh warganya tanpa pandang bulu.

Penguasa harus bisa mengerangkeng watak tiranik, hubbul istila’; bisa meredam keinginan primitif hegemonik, hubbul isti’la’'; nafsu untuk selalu diprioritaskan dalam hal ihwal, takhshish; dan menghindari kecenderungan menganggap diri yang paling benar, hubbul istibdad.

Dalam pasal selanjutnya, Al-Ghazali mengaitkan kekuasaan dengan kesadaran-kesadaran eskatologis. Bahwa kekuasaan itu bukanlah cek kosong, tetapi seluruhnya akan dimintai pertanggungjawaban. Justru pertanggungjawaban yang hakiki dan tidak mungkin dimanipulasi adalah ketika tubuh terpisah dari raga, saat menggetarkan berhadap-hadapan dengan pemilik sah daulat kekuasaan hakiki.

Terakhir, Al-Ghazali menyuntikkan ”politik profetis” sebagai landasan kekuasaan agar kuasa ini menemukan ”kebenaran”. Bahwa ”jalan kenabian” merupakan teladan yang tidak hanya berkaitan dengan aspek ritual, tetapi juga tarekat sosial yang dapat mengantarkan kehidupan menemukan harkatnya yang luhur, ruang sosial tidak kemudian kehilangan adab.

Nasihat Machiavelli

Berbeda dengan Al-Ghazali adalah Niccolo Machiavelli. Ia se- orang politikus ulung yang telah malang melintang di panggung politik praktis. Pernah bertemu dengan Raja Perancis Louis XII, Paus Julius II, Kaisar Romawi Suci Maximilian (1459-1519), Raja Ferdinand (1452-1516) dari Spanyol, hingga para penguasa Turki. Adalah Cesare Borgia (1476-1507), putra Paus Alexander VI, yang paling dikagumi Machiavelli.

Halnya Al-Ghazali, dia juga memberikan nasihat kepada penguasa Firenze, Lorenzo de’ Medici, yang sedang berkuasa saat itu dalam surat panjang yang kemudian menjadi kitab terkenal, Il Principe ”Sang Penguasa”.

Nasihat Machiavelli berbeda dengan Al-Ghazali. Justru sebaliknya, Niccolo Machiavelli menasihati sang penguasa agar menjauhi moral seandainya kekuasaannya itu ingin abadi. Karena itu, ia kerap dituduh sebagai biang penyebar asas tujuan menghalalkan cara, the end justifies the means.

Berangkat dari pengalamannya sebagai praktisi politik, Machiavelli menyimpulkan bahwa agar kekuasaan tersebut abadi, haluan moral harus disingkirkan. Bagi dia, penguasa tidak ada urusan dengan aspirasi rakyat sehingga ditakuti rakyat jauh lebih penting daripada sekadar dicintai, apalagi kecintaan itu hanya sekadar keterpesonaan pada politik pencitraan yang serba artifisial.

Di samping itu, menurut Machiavelli, untuk melangsungkan pemerintahan yang efektif, sang penguasa harus menciptakan sebanyak mungkin ”laskar berani mati” yang memiliki kesediaan membela kekuasaannya, cakap mendirikan ”ormas-ormas” yang dapat pasang badan untuk menghalau setiap serangan lawan, baik fisik maupun opini.

Atas nama mempertahankan kekuasaan, seluruh muslihat dibenarkan; yang dikedepankan bukan logika, melainkan retorika; bukan kecakapan menyusun argumen yang koheren dan sistematis, melainkan kecerdikan mencuci otak warga agar kemudian mendapatkan kepatuhan mutlak. 

Kekuasaan yang ”benar” harus melampaui hukum, bukan bersujud pada pasal-pasal undang-undang.
Hari-hari seperti sekarang, ketika setiap partai sedang menyusun calon anggota badan legislatif, tentu saya sebagai warga berharap semoga penguasa dan kerumunan calon penguasa dapat menjadi politikus otentik dan merambah asketisme politik, di antaranya kesediaan menyimak nilai-nilai inklusif nasihat Al-Ghazali sehingga kekuasaan itu mendatangkan keberkahan bagi semua.

Kita tetap berharap, walaupun tetap dengan rasa cemas, seluruh janji yang disampaikan dapat direalisasikan. Kata seorang arif, ”Tidak ada yang lebih mulia kecuali ketika janji itu menjadi fakta. Dan tidak ada yang lebih hina kecuali janji-janji yang telah disampaikan terus dipercakapkan warga karena tidak pernah direalisasikan.” ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar