Rabu, 16 Januari 2013

Swing Voters dan Dinamika Elektoral 2014


Swing Voters dan Dinamika Elektoral 2014
Burhanuddin Muhtadi ;  Pengajar FISIP UIN Jakarta, 
Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)
 
SINDO, 16 Januari 2013



Anthony Downs, dalam karya klasiknya, The Economic Theory of Democracy (1957), menjelaskan perilaku partai dan spektrum ideologi politik berdasarkan kurva normal dan kurva terbalik. 
Dalam kurva normal, sebagian besar pemilih cenderung ke tengah. Pemilih bergerak menjauhi titik ekstrem kiri atau kanan. Dalam sistem multipartai ekstrem yang dipengaruhi pendekatan kompetisi elektoral, partai-partai cenderung mengarah ke catch all party, meraup semua segmen pemilih sembari menjauhi pemilih ekstrem yang berjumlah sedikit. 

Kurva Normal 

Tidak ada insentif elektoral bagi partai yang memakai logika basis sosial. Partai dimungkinkan menang justru ketika mereka bermigrasi ke tengah (flight to the center) dan mengaburkan jenis kelamin ideologi mereka. Pemilih bergerak ke tengah karena dalam sistem multipartai yang terlalu ekstrem, positioning dan diferensiasi ideologis tidak terlihat sempurna. Perilaku politik partai di Indonesia pascareformasi mengikuti kurva normal ini.

Partai-partai nasionalis-sekuler mengubah pendekatan dengan lebih terbuka terhadap agenda-agenda Islam sehingga menarik pemilih muslim yang taat. Partai-partai Islam melakukan rebranding dengan mencitrakan diri sebagai partai terbuka dan pluralis. Sebaliknya, dalam kurva lonceng terbalik, median voters berjumlah sangat kecil. Garis kurva semakin bergerak ke titik di ekstrem kiri atau kanan, mencakup pemilih yang makin besar mengikuti garis kurva yang menaik.

Kurva ini meniscayakan partai untuk “mengeksploitasi” garis ideologi ke titik ekstrem partainya masing-masing karena di sanalah ceruk pasar pemilih berada. Logika yang dipakai adalah pendekatan basis sosial partai. Kurva ini lebih dimungkinkan jika sistem kepartaian kita lebih sederhana sehingga memaksa partai untuk menegaskan “jenis kelamin” ideologis mereka. Median voters yang sebagian besar berdomisili di tengah memiliki keterikatan kepada partai yang rendah (partyID). Inilah karakteristik utama dari swing voters. 

PartyID adalah perasaan seseorang bahwa partai tertentu adalah identitas politiknya, atau bahwa dia merasa dekat dengan partai tertentu. PartyID ini merupakan komponen psikologis yang akan memberikan sumbangan bagi stabilitas dukungan terhadap partai dan sistem kepartaian. Namun, data tren survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan rata-rata partyID pemilih kita hanya 20%. Secara umum, ada 80% pemilih yang tidak memiliki loyalitas terhadap partai mana pun. 

Swing Voters 

Indikator dari swing voters yang memiliki partyID yang rendah adalah besarnya pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan pemilih yang lemah “iman” atau pemilih yang memiliki preferensi elektoral ke sebuah partai, tapi mudah pindah ke “lain hati.” Swing voters juga bisa dicirikan oleh pemilih yang suka berpindah-pindah ke lain partai. 

Pemilih labil atau protest voters inilah yang mewarnai dinamika elektoral kita dan menyebabkan instabilitas dukungan elektoral dari pemilu ke pemilu. Dalam sejarah politik elektoral pascareformasi, jumlah swing voters sangat besar. Tiga pemilu juga menghasilkan pemenang dari tiga partai yang berbeda.Tak pernah ada juara bertahan yang mampu menang kembali pada pemilu berikutnya. Dukungan terhadap partai seperti roller coaster. 

Perolehan suara PDI Perjuangan yang mencapai 34% pada Pemilu 1999, tinggal 14% pada Pemilu 2009. Golkar yang memperoleh 23% pada 1999 juga mengalami gempa tektonik elektoral dan suaranya menyusut menjadi 14% pada 2009. Partai-partai Islam seperti PKB dan PPP juga tak luput dari sentimen negatif dari pemilih mengambang. Pada 2009, keduanya ditinggalkan separuh pemilihnya pada Pemilu 1999. Pada 1999 PPP, misalnya, meraih 10,71%, lalu turun menjadi 8,15% pada 2004, dan hanya meraih 5,46% pada Pemilu 2009. 

Perubahan dukungan pada partai 1999-2009 pada tingkat agregat dilihat dari selisih perolehan suara partai-partai pada dua pemilu tersebut. Ada yang selisihnya positif, ada pula yang negatif. Perubahan dukungan pada partai-partai dari Pemilu 1999 ke Pemilu 2009 ternyata sangat besar. Kalau dilihat perubahan pada partai lima besar Pemilu 1999 (PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, dan PAN), perubahan rata-rata sekitar sembilan persen pada masing-masing partai dalam 10 tahun. 

Selain itu, perolehan suara ketiga pemenang pemilu dari waktu ke waktu terus merosot. Pada 1999 PDI Perjuangan menjadi pemenang pemilu dengan dukungan 34%, pada 2004 Golkar tampil sebagai juara dengan hanya bermodalkan 22%.Terakhir, Demokrat menjadi jawara Pemilu 2009 cukup dengan membukukan suara 20,8%. Uniknya, fragmentasi suara justru makin menjadi-jadi. Partai yang mendapat suara 3% atau lebih pada Pemilu 1999 hanya terdiri dari atas lima partai saja.

Pada 2004, partai yang menangguk suara 3% atau lebih naik menjadi tujuh partai (pemain barunya Demokrat dan PKS), dan 9 partai pada 2009 (plus Gerindra dan Hanura). Perubahan elektoral makin menyulitkan terjadinya konsensus di DPR. Swing voters telah membuat sistem kepartaian kita terlihat semakin terfragmentasi, di mana jumlah partai di parlemen makin banyak dengan kekuatan kursi yang hampir merata. 

Akibatnya, sering terjadi ketegangan antara pemerintahan dan legislatif dan koalisi permanen menjadi sulit tercapai karena ketiadaan partai mayoritas di parlemen. Koalisi yang dibangun lebih didasarkan oleh faktor transaksional. Partai-partai politik harus segera mencermati besarnya proporsi pemilih mengambang (swing voters) yang mempengaruhi peta kekuatan partai politik pada 2014 nanti.

Pertanyaan menariknya, partai mana yang potensial menangguk dukungan swing voters? Inilah yang harus dipotret secara berkala melalui survei sistematik untuk melihat pergerakan dukungan pemilih mengambang. Survei hari ini memang membuktikan Golkar berada di atas, namun dalam waktu 15 bulan ke depan, bukan tidak mungkin muncul kejutan baru akibat migrasi swing voters ke partai lain. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar