Jumat, 18 Januari 2013

Seriuskah Melawan Korupsi?


Seriuskah Melawan Korupsi?
Moh Rozaq Asyhari ;  Wasekjen Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia
REPUBLIKA, 17 Januari 2013



Pemberantasan tindak pidana korupsi seharusnya dapat memberikan efek jera. Bila vonis pengadilan tipikor disambut dengan senyum dan sujud syukur oleh terpidana, seperti beberapa waktu yang lalu, apa yang sebenarnya terjadi dengan sistem pembarantasan korupsi di negeri ini?

Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian dan demokrasi bangsa. Pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) dibentuk sebagai upaya meng awal pemberantasan korupsi pada tahap peradilan. Sedangkan, pada hukum materiil, diundangkan UU No 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi. 

Era Reformasi yang memberikan dukungan sangat kuat secara sosiologis dan politis terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Besarnya dukungan publik ini terlihat saat terjadi kasus cicak-buaya, koin untuk gedung KPK, ataupun ketika salah satu penyidik KPK hendak ditangkap polisi, secara spontan publik melakukan pembelaan.

Besarnya investasi publik untuk meng advokasi dan menyelamatkan KPK sepertinya belum sebanding lurus dengan kinerja yang diharapkan. Sebagai lembaga yang menjadi trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi, KPK sepertinya belum bisa memuaskan espektasi masyarakat yang berniat membuat jera dan memiskinkan para koruptor. 

Pada kasus Wa Ode Nurhayati, KPK sepertinya tidak main-main. Beberapa pasal berat didakwakan kepadanya. Selain itu, Wa Ode juga dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Namun, berbeda dengan Naza- ruddin. Meskipun sempat menjadi buron dan membeli saham Garuda, Nazar tidak dikenakan UU TPPU. 
Pada kasus Angelina Sondakh, KPK terlihat ragu, sehingga tidak berani mengenakan pasal berlapis. Penyidik menyuguhkan dakwaan alternatif, yang berarti menyerahkan kepada hakim pasal manakah yang dirasa sesuai. 

Yang juga menjadi pertanyaan, mengapa penyidik mengenakan pasal- pasal pencucian uang hanya kepada Wa Ode Nurhayati? Pada setiap kasus korupsi JPU seharusnya bisa memanfaatkan jerat pasal pencucian uang untuk mengembalikan kerugian negara. Sebab dalam praktik, uang hasil korupsi sering dilarikan dengan modus pencucian uang.

Pada tahap penuntutan, sepertinya Wa Ode adalah terdakwa yang dituntut paling tinggi dibandingkan dengan yang lain, yaitu 14 tahun penjara dengan denda satu milyar. Sedangkan, Angie-sapaan Angelina Sondakh-ini dituntut hukuman 12 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta dan membayar uang pengganti sesuai dengan yang diterima dari Permai Group, yaitu Rp 32 miliar.
Adapun Nazaruddin dituntut dengan pidana selama tujuh tahun penjara dan denda Rp 300 juta. 

Bila dikatakan oleh juru bicara (jubir) KPK bahwa Angie dituntut tinggi lantaran berbelit dan tidak kooperatif, lantas bagaimana dengan Nazaruddin dan Wa Ode. Apakah Wa Ode lebih tidak kooperatif dibandingkan dengan Angie sehingga dituntut lebih tinggi, yaitu 14 tahun? Lantas, apakah dapat dikatakan pula bahwa Nazar lebih kooperatif sehingga hanya dituntut tujuh tahun penjara? Padahal, ia sempat melarikan diri ke Singapura dan menjadi buron hingga ke Kolumbia.

Penyidik juga hanya menuntut berdasarkan pasal pencucian uang kepada terdakwa Wa Ode, sedangkan pada terdakwa yang lain tidak. Padahal, jaksa meyakini bahwa untuk pengurusan Wisma Atlet, Nazaruddin dikatakan telah mengeluarkan uang sebesar Rp 16,770 miliar untuk kepentingan Banggar DPR RI. Demikian pula pada kasus lain, Jaksa meyakini bahwa Angie menerima suap sebesar Rp 12,580 miliar dan 2,350 juta dolar AS terkait proses penganggaran di Kemendiknas dan Kemenpora.

Tentunya, hal ini akan membuat publik bertanya, berdasarkan parameter apa tuntutan itu dibuat. Apakah didasarkan pada sikap terdakwa yang kooperatif dan tidak atau didasarkan pada jumlah nilai kerugian negara yang ditimbulkan? Selain itu, apa pula yang menjadi parameter dari jaksa penuntut umum (JPU)?

Pada perkara Wa Ode, Nazaruddin, maupun Angie, hakim memberikan pertimbangan memberatkan yang serupa. Pada umumnya, majelis menyatakan bahwa perbuatan terdakwa telah merusak sistem perencanaan anggaran yang membuat korupsi terjadi secara simultan, merusak citra DPR RI, berbelit-belit, dan tidak menunjukkan sikap bersalah. 

Yang kemudian mengundang tanya adalah pertimbangan meringankan terhadap Angie. Menurut majelis, perannya sebagai pembicara dalam sidang umum PBB, pembicara di Harvard University, duta batik Indonesia, duta gemar membaca, duta untuk kelestarian hewan langka, duta orang utan, dan duta pelestarian Keraton Surakarta merupakan faktor meringankan.

Apakah bukan sebaliknya, sebagai tokoh publik seharusnya terdakwa memberikan contoh yang baik dalam upaya pemberantasan korupsi. Terdapat pula aspek lain yang dilupakan oleh majelis, yaitu terdakwa adalah salah satu bintang iklan antikorupsi. Bukankah hal ini seharusnya bisa menjadi pertimbangan yang memberatkan?

Hal lain yang membingungkan adalah Angie dinyatakan terbukti menerima suap sebesar Rp 12,580 miliar dan 2,350 juta dolar AS, namun majelis tidak memutuskan untuk mengembalikan atau melakukan penyitaan. Menurut majelis, uang tersebut tidak perlu dikembalikan kepada negara karena uang yang diterima terdakwa berasal dari Permai Grup, bukan uang negara.

Majelis sepertinya mengesampingkan fakta bahwa korporasi kerapkali membuat sistem ijon, yakni mereka mengeluarkan anggaran terlebih dahulu untuk mendapatkan proyek. Dalam istilah pembukuan Permai Group, hal ini biasanya disebut dengan biaya proyek. Logikanya, sebenarnya uang suap juga uang negara. Majelis juga mementahkan pasal 12 yang dituntut oleh JPU berkaitan dengan jabatan Angie sebagai anggota Banggar. Menurut hakim, pasal tersebut tidak tepat dikenakan kepada Angie karena terdakwa tidak mengambil keputusan sendiri. Bila logika hukum ini yang dipergunakan, seharusnya tidak ada satu anggota DPR pun yang bisa dikenai pasal itu.

Memberantas korupsi tak sekadar kampanye dengan membentangkan spanduk besar, memberikan seragam tahanan khusus, atau menahan tersangka di Rutan Guntur. Ini merupakan sebuah upaya untuk mencegah agar orang takut untuk melakukannya, memberikan efek jera, memiskinkan koruptor, dan yang terpenting lagi adalah mengembalikan keuangan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar