Rabu, 23 Januari 2013

Religiositas Maulid Nabi


Religiositas Maulid Nabi
Asep Salahudin ;  Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
REPUBLIKA, 23 Januari 2013



Dalam kosmologi Umat Islam, Muhammad SAW memiliki posisi yang unik. Muhammad Iqbal dalam Javid Nama mencatat, "Tuhan dapat kau ingkari/namun nabi tak...! Serupa darah yang mengalir dalam napas umatnya." Maka, misalnya, menjadi dipahami ketika Muhammad SAW dinistakan, selalu mengundang reaksi keras dari seluruh umat Islam, seperti terjadi dalam kasus film amatir Innocence of Muslim tahun lalu. Umat Islam di Mesir, Yaman, Inggris, Australia, Tunisia, Palestina, Maroko, Malaysia, Indonesia, dan lainnya serentak unjuk rasa.

Mereka secara erat disatukan melalui emosi dan sensitivitas yang tidak berbeda. Film itu juga bahkan telah merenggut nyawa seorang Dubes AS Chris Stevens di Libya dalam serangan ke konsulat AS di Benghazi. Sebelumnya hal itu juga terjadi melalui fi lm Islam, The Untold Story, yang di antaranya dalam film ini disebutkan ada bukti kontemporer sangat sedikit tentang Nabi Muhammad. Dalam film itu juga disebut-sebut Alquran miskin gagasan dan tidak ada bukti bahwa Islam mulai terbentuk pada abad ke-7. 

Kasus jauh sebelum itu adalah Langit Makin Mendung-nya Panji Kusmin, Monitor-nya Arswendo, The Satanic Verses-nya Salman Rusdhie, dan karikatur Jyllands-Posten Denmark. Muhammad SAW dalam memori kolektif umat Islam tidak hanya diyakini sebagai nabi terakhir, tetapi juga dinobatkan sebagai rujukan moral dan muara seluruh keteladanan. Pesan-pesannya diapresiasi melampaui ruang dan waktu. Bahkan, secara teologis disitir bahwa puncak-puncak kebahagiaan dan keselamatan sebagiannya diletakkan dalam kesediaan umatnya untuk menapak jejak-jejak rohaniah yang telah ditorehkannya. 

Dalam sajak kelanjutan penyair Pakistan itu dikatakan, "Melalui cinta esensinya berkobar/dan perbendaharaan tersembunyi berkembang/diri membutuhkan api dan cinta." Dia beristirahat dalam pelukan gua hira/dan membangun bangsa, konstitusi dan pemerintahan/malam demi malam berlalu/dengan isi ranjang menemukannya dalam keadaan jaga/dengan demikian rakyatnya dapat beristirahat."

Dalam simpul seorang perenialis Frithjof Schoun seperti dikutip Annimarie Schimmel dicatat, "Identitas kebajikan-kebajikan Muhammad ini menjelaskan gaya impersonal manusia suci, tidak ada kebajikan-kebajikan lain kecuali kebajikan-kebajikan Muhammad sehingga kebajikan-kebajikan itu hanya dapat berulang pada orang-orang yang meneladaninya."

Kesimpulan yang sama kita temukan juga dalam logika fikih-tasawuf Ihya Ulumuddin karya Al-Ghazali dan nalar mistis Futuhat al-Makiyyah-nya Ibnu Arabi. Begitu juga dalam tradisi kebatinan lokal nusantara dan tasa wuf mistik sunda bagaimana "nur Muhammad" dianggap sebagai mata rantai alam kebatinan dan penghayatan kaum salik (pengembara spiritual). "Nur Muhammad" yang ditafsirkan bukan hanya secara historis, melainkan juga mitologis. 

"Nur Muhammad" dalam titik tertentu menjadi konsep purba yang memperantarai dialog antarkebaikan universal dan hikmah perenial di antara berbagai kepercayaan di berbagai daerah di seluruh dunia tentu dengan bahasa ucap dan simbol yang berbeda. Makna "nur Muhammad" menjadi "tali penghubung" antara masa lalu, hari ini, dan masa depan dalam sebuah fantasi tentang hadirnya kehidupan yang berada dalam terang cahaya kewahyuan, seperti secara historik dicontohkan Muhammad SAW 1.400 tahun lampau.

Konser Spiritual

Maka, menjadi sangat bisa dipahami kalau setiap tahun hari kelahirannya selalu diperingati umat Islam di berbagai belahan dunia dengan tradisi masing-masing. Fragmen kelahirannya ditulis dalam berbagai kitab dalam bentuk prosa dan puisi, dalam wujud natsar dan syair. Atau, dalam bentuk buku utuh seperti dilakukan Husain Haikal dalam Hayat Muhammad (1935), Amir Ali lewat The Spirit of Islam (1922), Khawaja Kamaluddin melalui The Ideal Prophet (1925), dan Hafi dz Ghulam Sarwar mengeluarkan buku Muhammad the Holy Prophet (1949).

Upacara yang dilakukan secara ber ulang-ulang maksudnya tidak lain sebagai satu bentuk kerinduan menghadirkan spirit kenabian pada hari ini, justru ketika zaman semakin melenceng dari fitrahnya. Kini kemanusiaan kian tersekap dalam nafsu culas dan tabiat kebinatangan yang menyeruak menjadi arus utama dasar kemanusiaan kita.

Muhammad SAW dalam upacara Maulid itu dikenang sebagai satu siasat identifikasi diri yang ditautkan pada haluan akar religiositas yang memupuknya: tradisi kenabian. Dari identifikasi ini diharapkan kita bisa menciptakan konsep diri yang lebih autentik dengan meneladani keagungan kiprahnya. Konsep diri berhubungan dengan sosial (membangun solidaritas di atas pijakan semangat persaudaraan), budaya (menjadikan pekerti sebagai jangkar utama dalam merakit kebudayaan), ekonomi (mengelola ekonomi dengan spirit mendistribusikan keadilan yang merata kepada semua pihak), politik (mengembangkan sikap terbuka, toleran, dan membentuk keutamaan publik).

Konsep diri pangkalnya ditancapkan di atas haluan utama sistem kepercayaan monoteisme: pengakuan keesaan Tuhan dengan segala derivasi etik moralitas sosialnya. Tuhan Yang Esa se hingga menihilkan sikap segala kekhawatiran; Tuhan Yang Agung yang menginjeksikan rasa kedaifan kita; Tuhan Yang Kuasa yang membungkam tumbuhnya rasa jemawa; Tuhan Yang Abadi yang merasukkan perasaan ihwal kesementaraan kita; Tuhan Yang Kaya yang membikin kita tidak lupa daratan dengan kekayaan yang dititipkan-Nya;

Tuhan Sang Penguasa yang kuasanya mengakibatkan kita bisa mengelola kekuasaan dengan santun dan tidak kehilangan akal sehat.

Alhasil, mengenang Nabi Muhammad SAW melalui pintu Maulid adalah satu bentuk menyegarkan kembali ingatan tentang pentingnya hidup menemukan fitrahnya yang hakiki. Hidup yang tidak kehilangan marwahnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar