Rabu, 16 Januari 2013

Pengakaran dan Partai Semu


Pengakaran dan Partai Semu
Kris Nugroho ;   Dosen pada FISIP Unair,
Menulis disertasi mengenai Pelembagaan Partai di Sampang
JAWA POS, 16 Januari 2013



KPU telah mengumumkan nomor urut sepuluh partai politik yang akan menjadi peserta pemilu legislatif 2014. Berurutan adalah Partai Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Partai Golkar, Partai Gerindra, PD, PAN, PPP, dan Partai Hanura. Nomor urut setiap partai tersebut akan dipakai sebagai instrumen simbolik untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. 

Dalam sejarah kepartaian di Indonesia, nomor urut partai acapkali dimaknai lebih dari sekadar angka. Nomor urut bisa dikreasi sebagai instrumen legitimasi ideologis-agamis, bahkan mistis-kosmologis, agar bisa diterima pemilih. Seperti terlihat, elite partai berupaya membangun tautan-tautan legitimasi simbolik untuk meyakinkan pemilih bahwa nomor urut mereka paling ideal. Diprediksi, pasca penetapan nomor urut oleh KPU, calon pemilih akan dibanjiri sosialisasi nama-nama partai beserta klaim-klaim simboliknya daripada digerojok program-program strategis partai.

Selain sekadar urutan, terdapat permasalahan penting yang selama ini lepas dari pencermatan publik, yaitu pengakaran partai (party rooting). Bagaimana partai mampu mengakar di benak pemilih. Studi mengenai pengakaran partai (Mainwaring dan Torcal, 2005) mengondisikan bahwa partai dikatakan mengakar jika memiliki dukungan pemilih stabil dari pemilu ke pemilu, mampu menanamkan kepada pemilih rasa keidentitasan, dikenal dalam benak pemilih (reification), dan pergerakan mesin partai disokong pemilihnya. 

Untuk mengakar, partai harus mampu mencapai pelembagaan institusi yang kuat (Panebianco, 1988; Randal dan Svasand, 2002). Artinya, tidak sekadar ditunjukkan oleh kemampuan penetrasi struktur keorganisasian partai dari kantor pusat hingga ke daerah-daerah. Bisa saja partai mampu melakukan penetrasi keorganisasian hingga ke semua teritorial. Namun, ketika dihadapkan pada tantangan-tantangan elektoral, mereka gagal menunjukkan eksistensi politiknya. Pemilu 1999, 2004, dan 2009 menunjukkan banyak partai yang gugur sebelum berlaga dalam pemilu. Kalaupun bertahan sebagai peserta pada tiga pemilu tersebut, perolehan suara mereka sangat fluktuatif (high volatility). 

Pada titik tertentu, kemampuan partai untuk bertahan dari pemilu ke pemilu dikondisikan oleh pengakaran mereka dan kemampuannya mengatasi tantangan-tantangan elektoral. Artinya, pengakaran partai tidak bisa diukur dari kemampuan partai membangun penetrasi keorganisasiannya. Partai dan elitenya bisa saja mengklaim didukung oleh massa yang besar atau memiliki jaringan elektoral yang masif. Tetapi, mereka rentan menghadapi tantangan-tantangan elektoral, seperti pragmatisme pilihan politik pemilihnya sulit diprediksi. 

Pengakaran partai dapat diukur dari dua hal. Pertama, keberhasilan membangun kelembagaan partai yang stabil dan kuat dari pemilu ke pemilu. Dalam perspektif ini, partai yang mengakar akan berhasil mengatasi tantangan-tantangan elektoral seperti potensi pergeseran suara pemilih, pragmatisme pemilih, dan ketatnya kompetisi antarpartai. Kedua, keberhasilan memperluas basis pemilih, dari pemilih loyal ke pemilih baru yang semakin meningkat dari pemilu ke pemilu. Singkat kata, partai mengakar didukung pemilih stabil dan mampu melakukan pengayaan kelembagaan guna menggali sumber-sumber dukungan baru. 

Belajar dari pengalaman pemilu sebelumnya, terlihat bahwa partai masih menggandalkan instrumen-instrumen nonpartai. Partai memanfaatkan kefiguran atau ketokohan agama untuk bisa dikenal di kalangan pemilih. Para caleg sibuk melakukan konsolidasi jaringan politik pribadi nonpartai melalui tim sukses dan kerabat untuk pengakaran pengaruh pada tingkat pemilih. 

Namun, di sisi lain, adanya penerapan sistem pemilihan daftar terbuka (open list system), juga berdampak terhadap cara partai dan caleg dalam melakukan pengakaran. Bagi caleg, daftar terbuka mendorong mereka memanfaatkan berbagai instrumen mobilisasi politik nonpartai berbasis ketokohan, kekerabatan, jaringan tim sukses atau pertemanan sehingga institusi partai tenggelam di balik sosok caleg.

Adanya tantangan-tantangan elektoral, seperti kompetisi pemilihan multipartai yang makin ketat, pemilih yang pragmatis dan tidak memiliki identitas kepartaian secara jelas, kompetisi terbuka antarcaleg yang melibatkan caleg partai lawan maupun caleg dari sesama partai, dan potensi pergeseran suara pemilih, akan memengaruhi kualitas pengakaran partai. Tantangan-tantangan tersebut mendorong caleg kreatif membangun sumber-sumber dukungan politik pribadi yang minim memanfaatkan mesin partai. 

Demi popularitas, caleg pun semakin bergerak menjauh dari institusi partai menuju ke "pengakaran" personal lewat jaringan politik personal. Partai sering harus rela berbagi pengaruh dengan jaringan politik personal elite atau calegnya asal dapat menambah kursi. Berlakulah logika simbiosis mutualisme, yakni partai membutuhkan elite atau caleg-caleg instan untuk mendongkrak suara partai. Begitu pula elite atau caleg-caleg butuh partai sebagai pengabsah elektabilitas pribadi, walaupun pada akhirnya kepentingan partai tidak terwakili.

Adanya tantangan-tantangan elektoral di atas berimplikasi terhadap cara partai dalam mengkreasi pengakaran partai secara instan. Partai akan cenderung mengandalkan figur populer sebagai vote getter guna mendulang suara massa sebanyak-banyaknya, merekrut caleg-caleg selebritis atau menampung elite politik petualang pindahan dari partai lain dengan pertimbangan kekuatan jaringan personalnya. Tak pelak, partai bukannya menempuh cara-cara modern dalam membangun kelembagaan, tapi justru semakin bergerak ke arah partai semu (pseudo party). 

Pseudo party menggambarkan bahwa eksistensi partai tidak hadir dalam benak pemilih. Sebaliknya, kehadirannya hanya berfungsi sebagai instrumen politik personal para elitenya. Fenomena pseudo party justru memperparah prospek pengakaran partai karena partai dengan gampang didirikan untuk akomodasi reposisi kepentingan elite menjelang 2014. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar