Rabu, 16 Januari 2013

Fenomena Negeri Dagelan


Fenomena Negeri Dagelan
I Wayan Dendra ;   Anggota DPRD Sidoarjo dari Hanura
JAWA POS, 16 Januari 2013



TERINGAT ungkapan Gubernur Jokowi saat masih menjadi wali kota Solo. Kala itu dia mengatakan bahwa negeri ini ibarat "negeri dagelan". Ungkapan itu disampaikan ketika banyak pihak meragukan mobil Esemka hasil karya anak bangsa. Dia berpendapat, seharusnya pemerintah maupun masyarakat memberi dukungan terhadap hasil karya itu. Bukan malah memunculkan wacana yang bernada menggembosi.

Ketika mobil tersebut gagal mengikuti uji kelayakan, Jokowi dan penciptanya dianggap memiliki angan terlalu tinggi. Bahkan, ada wacana yang sengaja melemahkan ide itu agar tidak dilanjutkan. Dari situlah Jokowi menganggap bahwa ada fenomena aneh yang sudah mengakar di negeri ini. Yakni, sesuatu yang baik bukannya mendapat dukungan, tapi justru menjadi bahan cemoohan. Apalagi bila sesuatu yang baik itu punya cela. Hujatan semakin bertubi-tubi. Wajar jika banyak orang memiliki ide, tapi takut untuk menampilkannya. Sebab, mereka takut dicemooh bila hasil karyanya tidak memuaskan. 

Pernyataan Jokowi memang mewakili fenomena yang terjadi di negeri ini. Ketika pionir-pionir bangsa bermunculan, pasti ada yang bersikap menentang mereka. Contoh yang baru saja terjadi, kecelakaan yang menimpa Menteri BUMN Dahlan Iskan saat mengemudikan "Ferrari"-nya. Berbagai komentar pun bermunculan. Meski tidak sedikit yang memberi dukungan, tetap banyak yang mencibir.

Ada yang menyebut Indonesia belum layak memproduksi mobil. Terbukti hasil karyanya belum bisa diandalkan. Selain itu, banyak yang meremehkan bahwa mobil warna merah tersebut tidak mampu menandingi kecanggihan kendaraan seharga Rp 120 jutaan. Itu memperjelas fenomena negeri dagelan. 

Seperti dikenal, dagelan menyajikan banyolan untuk menghibur penonton. Bahkan, saking santainya, penonton memiliki hak protes ataupun mencemooh pemain di panggung. Sehingga muncul guyonan yang bisa membuat tertawa penonton maupun pemainnya.

Yang paling mudah dilakukan memang menjadi penonton. Bukan pemain, pengarah laku, ataupun sutradara. Penonton cukup duduk, mendengarkan, dan menyaksikan. Setelah itu memberi komentar yang sering bersifat merendahkan mereka yang tampil di panggung. 

Berbeda dengan sutradara. Dia harus berpikir menyajikan adegan sehingga mampu memberikan hiburan yang menarik. Begitu juga pemain, mereka dituntut mengaplikasikan skenario dalam bentuk gerak, bicara, sehingga menjadi adegan yang mampu menimbulkan tawa. Jika dalam penampilannya tidak ada tawa ataupun komentar, mereka dianggap gagal. Sedangkan penonton tanpa komentar pun tetap dianggap sukses menjadi penonton. 

Seperti itulah yang terjadi di negeri ini. Dahlan Iskan bersama mobil Tucuxi ibarat pemain dalam sandiwara tersebut. Sedangkan Danet Suryatama berlaku sebagai sutradara yang mengarahkan bentuk tampilan yang akan dimainkan Dahlan. Bisa jadi Danet berkeinginan menjadikan Dahlan sebagai tokoh yang menggunakan hasil karya anak bangsa. Apalagi, ketertarikan mantan Dirut PT PLN itu terhadap mobil tersebut sangat besar. 

Hanya, dalam pelaksanaannya sang pemain tidak sempurna. Cerita yang disampaikan lepas dari skenario yang diinginkan sutradara. Hasilnya sebuah kecelakaan yang terjadi di Plaosan, Magetan, Minggu lalu (6/1). Tawa riuh pun bermunculan. Merekalah penonton yang menganggap ide cerdas sang sutradara dan pemain itu sebuah dagelan. 

Masyarakat memang lebih banyak menjadi penonton daripada pemain ataupun sutradara. Padahal, mereka paham bahwa dalam sebuah penampilan drama, yang lebih dikenal adalah pemain, sutradara, ataupun kru. Penonton tidak pernah menjadi unggulan. Namun, sedikit sekali yang memiliki keinginan untuk menjadi pemain. Mereka takut salah, nanti jadi bahan tertawaan. Pernyataan paling aman untuk membela diri.

Mental seperti itulah yang seharusnya dibuang. Sudah saatnya masyarakat berkompetisi untuk menjadi yang terbaik. Bukan sekadar penonton, melainkan pemain ataupun sutradara. Sehingga mampu mewarnai perkembangan bangsa ini.

Ibaratnya, ketika bermain sandiwara, Dahlan bak aktor Jackie Chan. Dia tidak mau menggunakan peran pengganti. Apa pun bentuk adegan dilakukannya sendiri meski nyawa menjadi taruhan. Apa boleh buat, sebagian tetap mencibir. 

Sampai kapan negeri ini menjadi "negeri dagelan" dan gembira menjadi penonton? Hendaknya bersama-sama melakukan perubahan nyata. Paling tidak dalam bentuk pemikiran yang bersifat membangun. Bukan mencemooh tanpa kontribusi. 

Menghasilkan karya yang sempurna butuh waktu yang cukup panjang. Karya Danet Suryatama yang terwujud itu mampu berjalan di daerah tanjakan, bisa dikatakan hampir sempurna. Hanya persoalan rem yang menjadikan mobil tersebut tidak bisa dikendalikan. 

Jika itu tercapai, ungkapan Dahlan untuk menjadikan Indonesia bangkit melalui mobil listrik bisa terbukti. Negeri ini bukan lagi konsumen mobil dari luar negeri. Tapi menjadi produsen produk yang bersaing di pasar internasional. Dengan begitu, perkembangan ekonomi akan terdongkrak. Apalagi jika diikuti munculnya pabrik-pabrik mobil listrik di Indonesia. Lapangan kerja akan semakin terbuka.

Saat itulah negeri ini bukan lagi "negeri dongeng". Tapi berubah menjadi negeri impian. Orang bermimpi bisa menjadi negara seperti Indonesia.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar