Kamis, 17 Januari 2013

Pemberantasan Pendanaan Terorisme


Pemberantasan Pendanaan Terorisme
Susaningtyas Handayani Kertopati ;  Anggota Komisi I DPR Partai Hanura
KOMPAS, 17 Januari 2013



Diharapkan, beberapa minggu lagi pemerintah dan DPR dapat mengesahkan RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.
RUU Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (PPTPPT) akan memperkuat UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme yang telah memampukan Indonesia mengkriminalkan tindak pidana terorisme melalui kemampuan memblokir aset yang diduga terkait dengan upaya teror. Pendanaan merupakan salah satu faktor utama dalam setiap aksi terorisme nasional dan internasional sehingga upaya penanggulangan terorisme tak akan optimal tanpa diikuti adanya kemampuan mencegah dan memberantas pendanaan terorisme.
RUU PPTPPT ini membuat jelas alur mekanisme pemblokir- an baik yang terkait WNI maupun WNA, menjelaskan peran dan wewenang Polri, Kejaksaan, Kementerian Luar Negeri, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, penyedia jasa keuangan, dan juga pengadilan Indonesia. Makna pemblokiran di sini luas, yakni seluruh kegiatan dari mencegah transfer hingga pelarangan pergerakan harta kekayaan dan dana untuk jangka waktu tertentu yang dimiliki individu atau korporasi yang diduga terkait tindak teror.
Rangkaian aksi teror di Indonesia sejak Bom Bali 2002 menunjukkan diperlukannya penanganan yang komprehensif atas isu terorisme. Itu sebabnya, penanggulangan terorisme menjadi salah satu prioritas utama dalam usaha menjaga keamanan nasional. Selain itu, dalam kaitannya dengan pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme internasional, Indonesia telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism melalui UU No 6 Tahun 2006.
RUU PPTPPT sangat kental aroma internasionalnya. Permintaan pemblokiran ini dalam praktiknya nanti akan banyak terkait dengan permintaan negara-negara sahabat atau subyek hukum internasional lain. Tindak pidana terorisme bisa saja tidak dilakukan di wilayah hukum Indonesia, tetapi dapat saja terduga teroris itu memiliki aset di Indonesia.
Berdaulat dan Mandiri
Sebagai bagian politik luar negerinya ikut serta melaksanakan ketertiban dunia, Indonesia harus memiliki kemampuan melakukan pemblokiran itu. Maka, wajarlah pembahasan RUU PPTPPT menarik dan terdapat harapan DPR kepada pemerintah tentang pentingnya dijaga prinsip kedaulatan dan kemandirian suatu negara dalam menangani isu terorisme transnasional.
Hal ini terlihat dari mekanisme pembekuan aset yang diatur di dalam RUU PPTPPT bagi WNI dan WNA, serta entitas lokal dan asing yang memiliki aset di Indonesia dan diduga terkait atau melakukan tindak pidana terorisme baik di dalam maupun di luar yurisdiksi Indonesia.
RUU ini pun mengatur wewenang pemerintah untuk tidak serta-merta membekukan aset terhadap individu atau entitas lokal dan asing atas dasar laporan atau permintaan dari negara lain atau organisasi internasional. Hal ini merefleksikan harapan DPR bahwa pemerintah perlu hati-hati dan selektif dalam membuat keputusan pemblokiran dan tidak didikte oleh negara tertentu atau entitas tertentu seperti Dewan Keamanan PBB atau Financial Action Task Force (FATF).
Disayangkan adanya pandangan FATF, organisasi yang khusus menangani masalah yang berkaitan dengan pencucian uang dan Indonesia bukan anggota langsungnya, yang menilai upaya Indonesia menangani pendanaan terorisme masih kurang maksimal. Ini terlihat dari dimasukkannya Indonesia ke dalam daftar ”sanksi” (secara halus disebut dengan public statement FATF) yang mengategorikan Indonesia negara yang masih memiliki kelemahan strategi memberantas pendanaan terorisme, bersama dengan 16 negara lainnya, pada Februari 2012.
Alasan ketakpuasan FATF, Indonesia belum mengimplementasikan prosedur identifikasi aset dan pembekuan aset teroris atau terduga teroris secara serta-merta seperti yang dimaui Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait pendanaan terorisme. Indonesia dipandang belum memiliki kerangka hukum yang cukup bagi upaya implementasi konvensi internasional mengenai pendanaan terorisme. Apabila dalam jangka satu tahun Indonesia dianggap belum dapat mengatasi hal-hal itu, FATF ”mengancam” akan menggolongkan Indonesia ke dalam ”sanksi” yang lebih berat, yakni memasukkannya di daftar countermeasures bersama-sama dengan negara seperti Iran dan Korea Utara di sidang FATF pada Februari mendatang.
Sangat disayangkan cara-cara FATF itu. FATF tidak berupaya melihat usaha pemberantasan terorisme internasional dalam semangat kemitraan yang tulus dan seimbang, tetapi justru memaksakan produk-produk Dewan Keamanan PBB yang tidak demokratis dan elitis (anggota DK PBB 15 negara dan hanya lima negara anggota tetap sebetulnya yang menguasai pengambilan keputusan) untuk serta-merta harus dipatuhi Indonesia dan negara lain. Padahal, sebetulnya terdapat beberapa hal yang menjadi kesamaan kepentingan antara Indonesia dan entitas-entitas itu dalam pemberantasan terorisme.
Masuknya Indonesia ke public statement FATF pada 2012 bukanlah kali pertama. Pada 2001, Indonesia juga masuk ke Teritori dan Negara Nonkooperatif (NCCT) oleh FATF karena dianggap tidak kooperatif dalam upaya global menanggulangi kejahatan pencucian uang. Baru setelah Indonesia membuat beberapa UU terkait tindak pidana pencucian uang, FATF mengeluarkan Indonesia dari daftar NCCT pada 2005. Harapan DPR dan rakyat Indonesia tentunya pemerintah Indonesia harus kuat, berani, dan mandiri untuk tidak takut atas berbagai ancaman sanksi yang diberikan pihak asing. Indonesia hanya akan menerapkan suatu kebijakan atau ketentuan yang memang sejalan dengan kepentingan nasional Indonesia.
Bukan Karena Tekanan
Indonesia hendaknya membuat dan melaksanakan RUU PPTPPT nantinya bukan karena tekanan mereka, tetapi memang karena secara tulen melihat manfaat yang besar dari UU ini, yakni terdapat kebutuhan domestik memperkuat upaya nasional memberantas terorisme secara menyeluruh.
Untuk itu, RUU PPTPPT diharapkan dapat memenuhi kebutuhan domestik Indonesia dalam pemblokiran pendanaan terorisme. Terhadap pemblokiran dana terorisme yang terkait dengan WNI, selain terdapat instrumen tambahan bagi pihak berwenang mengawasi dan melumpuhkan jejaring keuangan terorisme, prinsip due diligence dan penghormatan HAM bagi tertuduh juga harus menjadi unsur penting yang dihormati.
Terkait dengan konteks internasional, RUU PPTPPT memberi jaminan perlunya keputusan politik yang baik dan tepat oleh pemerintah dan tidak hanya melihat aspek teknis pemblokiran. Setiap permintaan yang datang dari negara asing atau organisasi internasional terkait pembekuan aset seorang individu atau suatu entitas harus hati-hati dilihat.
Dengan disepakatinya mekanisme ini, Indonesia hanya akan melakukan implementasi terhadap rekomendasi organisasi internasional, seperti rekomendasi FATF atau badan lain seperti DK PBB yang sejalan dengan kepentingan nasional.
Proses penyusunan RUU Pendanaan Terorisme ini juga memperlihatkan, dalam penanganan isu terorisme yang bersifat transnasional terdapat kesepakatan antara DPR dan pemerintah untuk sama-sama menjaga dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip kedaulatan dan kemandirian bangsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar