Kamis, 17 Januari 2013

Memaknai Keamanan Nasional


Memaknai Keamanan Nasional
Kiki Syahnakri ;  Ketua Badan Pengkajian Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat
KOMPAS, 17 Januari 2013



Eternal vigilance is the price of liberty”                                                                                    (kewaspadaan yang tiada henti adalah harga dari sebuah kebebasan).
Begitu kata Thomas Jefferson, Presiden ketiga Amerika Serikat, konseptor Declaration of Independence dan pembuat UU Kebebasan Beragama di Virginia pada akhir abad ke-18. Kata bijak itu masih berkumandang hingga kini. Jefferson menyadari, kebebasan individual yang jadi syarat liberalisme harus dibarengi kewaspadaan. Apabila tidak, rakyat akan terjebak dalam konflik berkepanjangan yang membahayakan keutuhan bangsa. Waspada berarti juga mampu melihat jauh ke depan, memperkirakan risiko yang dihadapi sebagai akibat digulirkannya suatu langkah strategis. Seraya mampu pula melakukan manajemen risiko agar tujuan strategis bisa tetap terjaga. Kewaspadaan tinggi pada gilirannya akan membangun rasa tanggung jawab.
Demokrasi Liberal
Sejak Reformasi 1998, Indonesia telah memasuki era kebebasan ala sistem demokrasi liberalnya AS. Iklim kebebasan pada kenyataannya telah membuat permintaan pada politik (kekuasaan) meningkat tajam. Peserta kompetisi politik bukan hanya datang dari para politisi, melainkan juga dari berbagai kalangan, termasuk cendekiawan, artis, bahkan agamawan. Sesuai hukum ekonomi, peningkatan permintaan selalu diikuti naiknya harga sehingga mengakibatkan tingginya biaya politik. Pada sisi lain, tingkat kedewasaan elite politik dalam berdemokrasi umumnya masih sangat rendah. Pihak yang kalah dalam kompetisi politik sulit menerima kekalahan (antara lain karena banyak kehilangan uang). Akibatnya, muncul konflik politik yang melibatkan massa dan kerap diwarnai kekerasan. Konflik politik tidak hanya bersifat antarparpol, tetapi juga intra parpol ketika elite berebut kesempatan maju dalam kompetisi.
Liberalisme yang biasanya diikuti oleh kapitalisme juga membuka peluang bagi institusi korporasi (termasuk asing) untuk turut mengatur sistem politik. Tak heran kalau negara atau pemerintahan dalam sistem demokrasi liberal biasanya dikendalikan oleh korporasi. Dengan demikian, tak jarang pula konflik politik yang muncul sesungguhnya dilatari konflik antar-korporasi. Kondisi ini sangat potensial membiaskan tujuan nasional suatu bangsa dan tujuan demokrasi itu sendiri, yaitu ”kepentingan umum, kebaikan bersama” menjadi hanya tujuan korporasi. Sebagai contoh, munculnya kebebasan mengeksploitasi sumber daya alam.
John Naisbitt (Global Paradox, 1994) menyinyalir transisi menuju demokrasi kerap membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter ke situasi tanpa otoritas. Globalisasi dengan mudah menyedot sebagian kedaulatan negara-bangsa dan menyerahkannya kepada otoritas maya global. Sebagian lainnya kepada otoritas daerah akibat otonomisasi sebagai syarat demokrasi.
Dengan demikian, otoritas negara yang mutlak dibutuhkan untuk penegakan hukum, pengendalian stabilitas politik serta potensi konflik menjadi lemah karena tereduksi secara signifikan. Dalam kondisi ini, biasanya mekar masalah primordialisme, lokalisme, dan tribalisme sehingga ancaman disintegrasi akan membayangi dengan ketat.
Singkatnya, sistem demokrasi liberal yang diterapkan pada masyarakat/bangsa yang belum siap secara pendidikan dan kesejahteraan, atau kulturnya tak cocok, akan membuat spektrum konflik jadi sangat luas dan sulit dikontrol. Terlebih bagi Indonesia yang amat majemuk. Ironisnya, ada yang bangga Indonesia jadi negara demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika dan India. Namun, Economist Intelligence Unit (2010) mengungkapkan, dari 167 negara demokrasi di dunia, Indonesia di urutan ke-60, di bawah Timor Leste (42) dan Papua Niugini (59). Rendahnya peringkat ini karena lemahnya variabel demokrasi, seperti kualitas penyelenggaraan pemilu, apresiasi terhadap pluralitas, terutama kelompok minoritas; dan tingginya korupsi serta kekerasan.
Makna Kamnas
Dalam bingkai membangun kewaspadaan, mengantisipasi besarnya potensi konflik serta ancaman disintegrasi itulah seharusnya masalah keamanan nasional (kamnas) dimaknai dan ditempatkan. Kamnas dengan ’K’ besar—mulai dari keamanan individual dan keamanan masyarakat (’k’ kecil), sampai keamanan negara yang di dalamnya terdapat aspek pertahanan—tidak mungkin hanya jadi tanggung jawab satu institusi. Ia harus jadi tanggung jawab bersama secara terpadu dan melibatkan banyak pihak. Karenanya, kita perlu kehadiran UU Kamnas yang akan mengatur keterpaduan tersebut.
Kementerian Dalam Negeri memperkirakan, di 2013 konflik horizontal dan komunal pada level nasional dan daerah akan meningkat. Karena itu, perlu langkah antisipatif agar konflik di daerah tidak meluas. Mendagri Gamawan Fauzi bahkan menilai kondisi sosial politik di berbagai daerah sudah pada tahap mengkhawatirkan. Indikatornya, jumlah kerusuhan yang terus bertambah sehingga dipandang perlu menerbitkan Inpres Kamnas.
Memang bisa dipahami jika ada pihak yang masih dihinggapi trauma karena dalam kurun lama telah dimarjinalkan sekaligus dirugikan pemerintahan represif masa lalu. Namun, hendaknya kini kita harus bisa memandang ke depan dengan lebih jernih, jangan terus terjebak dalam trauma. Kita juga patut mewaspadai adanya kelompok politik, ekonomi yang bermain di luar kepentingan nasional, yang merasa kepentingannya akan terjegal oleh kehadiran UU Kamnas. Terkait draf RUU Kamnas yang belakangan diributkan di DPR, penulis juga belum setuju dengan beberapa klausul. Khususnya menyangkut fungsi Dewan Keamanan Nasional serta formulasi ancaman karena memberi peluang dijadikan alat represif oleh penguasa. Namun, menolak RUU Kamnas, menghapusnya dari program legislasi nasional, adalah kesalahan besar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar