Sabtu, 19 Januari 2013

Pecandu Agama


Pecandu Agama
Moh Faiz Maulana ;  Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam
Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta, Pengelola
Komunitas Waria (Wacana Riang dan Gembira), Jakarta
SUARA KARYA, 18 Januari 2013

  
Agama adalah fenomena sosial yang selalu menarik bagi penyelidikan keilmuan, dan agama bukan hanya kebutuhan psikologis manusia. Agama juga bukan hanya gejala keilahian yang dapat dipertanggungjawabkan secara teologis belaka. Agama juga suatu lembaga sosial, yang mempunyai fungsi sosial dan kiranya juga mempunyai asal usul sosial pula. Agama bukan hanya gejala adikodrati tapi juga gejala kodrati.
Agama sebagaimana istilahnya Shidunata, adalah institutio divina, yang menyimpan keilahian, kesucian, misteri, bahkan irasionalita, yang tidak dapat begitu saja diterangkan secara ilmiah dan rasional. Namun, sebagai institutio humana, agama dapat juga dikupas dan diterangkan secara ilmiah dan rasional.
Dua aspek ini bisa memancing para ahli untuk berdiri pada dua ekstrem. Pertama, seseorang akan memperlakukan agama sama seperti memperlakukan fenomena sosial yang ada. Seseorang tidak lagi mampu menerima hal yang tabu. Menjadi terlalu rasional, sampai-sampai "seakan tak percaya" terhadap segala macam keilahian Tuhan.
Kedua, seseorang telah pasrah atau bahkan telah menyerah pada pendirian bahwa agama adalah misteri keilahian belaka, semua tergantung pada Tuhan (ortodoks). Jelas dengan demikian, tidak jarang banyak orang selalu membawa-bawa nama agama pada setiap aktivitasnya, baik hal-hal yang bersifat positif, lebih-lebih lagi yang bersifat negatif.
Misal kekerasan yang mengatas namakan agama. Tidak melaksanakan ajaran Tuhan dalam agama itu adalah kekafiran, kedzaliman, dan kefasikan. Kita tahu bahwa prinsip para penganut agama adalah dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan.
Kiranya tidak sulit untuk menunjukkan bahwa setiap kekerasan adalah implementasi dari adanya legitimasi Tuhan tersebut.
Karena pemahaman agama telah memunculkan dua ekstrem yang pasti, dan salah satunya adalah pendirian bahwa agama adalah urusan Tuhan, baik menurut Tuhan harus dijaga, dan jelek menurut Tuhan harus disingkirkan, maka muncullah kekerasan yang mengatasnamakan Tuhan (agama). Padahal, agama berfungsi untuk menundukkan kekerasan, dan menjaga supaya kekerasan itu tidak liar. Bukan malah melegitimasi kekerasan guna menjaga keutuhan agama.
Sebenarnya ada pertanyaan mendasar dari banyaknya kekerasan yang mengatasnamakan agama akhir-akhir ini. Sebab, dua kata itu merupakan kata yang kontradiktif, saling berlawanan. Umumnya kekerasan menampilkan stigma yang negatif, kotor, sedang agama adalah hal yang suci, sakral.
Bagaimana bisa sebuah kejelekan bisa masuk ke dalam agama yang notabenya mengajak untuk menjauhi kejelekan. Toh, menolak kemafsadatan lebih diutamakan dari pada melakukan kemaslahatan. Kekerasan mulai merejalela, dan agama beserta praktik ritualnya mandul menghadapinya. Atau, bisa dikatakan sebaliknya, karena agama dan praktik ritualnya mandul, maka kekerasan mulai merajalela.
Padahal kita semua tahu, jika sendi-sendi agama mulai goncang, bukan hanya keamanan fisik masyarakat yang terancam, melainkan juga seluruh dasar kultural masyarakat berada pada saat yang membahayakan. Institusi-institusi kehilangan vitalitasnya, bentuk-bentuk luar perlindungan masyarakat menjadi kabur, nilai-nilai sosial digerogoti, dan seluruh struktur sosial berada diujung tanduk kehancuran.
Sama halnya dengan kekerasan yang memakai nama agama. Pencuri pun tidak kalah dalam hal menjunjung tinggi nama agama di atas kesalahannya. Kenyataan ini telah ditampakkan oleh para koruptor di negeri ini.
Mendadak menjadi agamis, memakai peci, memakai baju kokoh, dan memakai hijab yang dilakukan tatkala dia telah benar-benar bersalah dengan apa yang dilakukannya. Mereka seolah-olah memberikan keyakinan bawa dirinya tidak bersalah, dia orang yang taat beragama, dan orang yang bertaqwa kepada Tuhan.
Ketaqwaan seseorang bukanya rahasia Tuhan yang tidak dapat diukur dengan angka dan tidak dapat di uji sesama manusia?
Dalam hal itu kita melihat banyak orang dari berbagai kalangan yang menunjukkan kesenjangan antara yang dilakukan dan diucapkan.
Bahkan banyak orang merasa, atau mengaku telah bertaqwa kepada Tuhan, namun bertingkah laku seolah-olah tidak ada Tuhan. Tetapi, itulah yang merupakan suatu bentuk kekafiran yang nyata.
Dari sudut pandang itu pulalah muncul satu paradigma bahwa kita sedang mengalami kemerosotan moral yang sangat drastis. Tampak bahwa pengetahuan tentang keagamaan kita masih berkutat pada simbol-simbol semata, tanpa melihat subtansinya.
Kiranya semua kegiatan kita esensinya memang harus selalu berlangsung dibawah sinar ketuhanan yang maha esa, dan tidak tergantung pada simbol-simbolnya saja. Dengan begitu kita memiliki dasar ketaqwaan yang jelas, untuk menjadi pribadi yang tak "ketergantungan" terhadap agama, yang tidak senantiasa menempatkan agama disisi terakhir pada setiap kegiatan kita.
Semoga kita semua tidak menjadi "pecandu" agama, berlindung dibalik nama agama, justru memanfaatkan agama untuk hal-hal yang dilarang oleh agama. Semoga, kita semua bisa menjadi seorang agamawan yang baik, menjunjung tinggi nilai-nilai agama dengan sebaik mungkin untuk membangun peradaban bangsa yang lebih baik. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar