Menagih Janji
Politik
Reza Syawawi ; Peneliti
Hukum dan Kebijakan
|
KOMPAS,
14 Januari 2013
Tahun 2013 akan menjadi
tahun politik karena menjadi tahun penyongsong Pemilihan Umum 2014. Itulah
pemilu nasional keempat sejak tahun 1999, setelah kekuasaan Orde Baru tumbang
dan era Reformasi dimulai.
Secara
formal kekuasaan rezim periode 2009-2014 akan segera berakhir dan digantikan
oleh rezim berikutnya. Di atas kertas, Pemilu 2014 akan menjadi sebuah
catatan sejarah yang baik dalam penyelenggaraan pemilu secara langsung oleh
rakyat dalam menentukan pemimpin politik karena proses demokrasi itu mampu
bertahan di tengah kegaduhan politik yang korup.
Tiga
pemilu sebelumnya—1999, 2004, dan 2009—seharusnya sudah bisa menjadi cermin
untuk melihat bagaimana hasil pemilu tidak hanya dari sisi proses, tetapi
juga hasilnya secara konkret bagi publik. Dalam konteks hukum tata negara
Indonesia, lembaga legislatif—dalam hal ini DPR dan DPD—adalah perwujudan
dari sistem perwakilan politik dan perwakilan daerah yang semestinya dimintai
pertanggungjawaban atas kerja-kerja politiknya selama ini.
Di
negara-negara demokrasi, badan legislatif memang dirancang sebagai
representasi mayoritas rakyat yang memilihnya. Menurut teori, badan inilah
yang akan mewakili rakyat untuk meminta pertanggungjawaban kepada pemerintah.
CF
Strong pernah menggambarkan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan yang
mayoritas anggota dari suatu komunitas politik berpartisipasi atas dasar
sistem perwakilan dan menjamin bahwa pemerintah mempertanggungjawabkan
tindakan-tindakannya kepada mayoritas itu (Miriam Budiardjo, 2012).
Lalu,
bagaimana pertanggungjawaban badan legislatif itu sendiri terhadap rakyat
yang diwakilinya? Pertanyaan ini sebetulnya selaras dengan apa yang disebut
dorongan untuk memunculkan wacana akuntabilitas politik.
Tesisnya
adalah sekecil apa pun kekua- saan politik yang dimiliki harus
dipertanggungjawabkan kepada pemberi mandat. Sebagai perbandingan, misalnya
pada masa Orde Baru, presiden disebut juga sebagai mandataris MPR. Presiden
memperoleh mandat dari (diangkat oleh) MPR dan bertanggung jawab kepada MPR.
Desain
konstitusi juga tidak memberikan arah yang jelas bagaimana badan legislatif
bisa mempertanggungjawabkan kerja-kerja politiknya kepada publik. Sebaliknya,
pemerintah setiap tahun selalu memberikan pertanggungjawaban di hadapan badan
legislatif ataupun dalam forum bersama bernama MPR.
Dengan
kata lain, sistem ini menghasilkan mekanisme untuk menguji akuntabilitas
penyelenggaraan pemerintahan oleh lembaga yang akuntabilitasnya tidak jelas.
Maka, sistem check and balances yang diwacanakan selama ini tidak teraplikasi
dalam konteks ini.
Untuk
itu, perlu ada desain di luar mekanisme formal guna meminta
pertanggungjawaban tersebut oleh publik sebagai pemberi mandat. Selama ini
laporan kinerja DPR hanya disampaikan sebagai pertanggungjawaban
institusional di tiga fungsi yang dimandatkan konstitusi, yaitu fungsi
legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran.
Maka,
yang perlu didorong sebetulnya adalah bagaimana menghadirkan
pertanggungjawaban anggota DPR secara personal. Mengingat setiap anggota DPR
memiliki hak yang dijamin oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi
representasinya.
Belakangan
muncul wacana agar anggota badan legislatif periode 2009-2014 yang
bermasalah, terutama yang berkaitan dengan kasus korupsi, tidak lagi
dicalonkan pada Pemilu 2014. Pada satu sisi ini baik, tetapi perlu juga
melihat apakah setiap anggota DPR saat ini telah menghasilkan sesuatu yang
bermanfaat bagi pemilihnya.
Jangan-jangan
mayoritas anggota DPR hanya menjadi ”penggembira” dalam forum-forum badan
legislatif. Hanya ada beberapa di antara mereka yang secara konkret memberi
ide/gagasan. Itu pun jika mereka bukan bagian dari pelaku beberapa kasus
korupsi yang ditangani penegak hukum.
Pasal
79 (DPR), Pasal 233 (DPD), Pasal 300 (DPRD provinsi), dan Pasal 351 (DPRD
kabupaten/kota) UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang DPR, DPD, dan DPRD
sesungguhnya telah rinci memuat kewajiban setiap anggota badan legislatif
untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi
masyarakat. Dalam pasal yang sama juga diwajibkan bagi mereka
mempertanggungjawabkannya secara moral dan politis kepada konstituen di
daerah pemilihannya.
Ini
bisa menjadi dasar yang sangat kuat bagi pemilih/publik untuk menagih janji
para wakil rakyat. Akuntabilitas secara institusional harusnya juga dibarengi
dengan akuntabilitas anggota badan legislatif secara personal karena pada
prinsipnya desain keterwakilan dibangun atas legitimasi personel pada saat
pemilu.
Ketiadaan
batasan masa jabatan yang bersifat pasti untuk menjadi anggota badan
legislatif berimplikasi pada keterpilihan sebagian besar orang sebagai
anggota badan legislatif ”seumur hidup”. Berbeda halnya dengan jabatan
presiden/wakil presiden yang hanya diperbolehkan untuk dua periode dalam
jabatan yang sama.
Kemunculan
”wajah-wajah lama” dalam susunan anggota badan legislatif untuk periode yang
baru juga terjadi akibat kurangnya perhatian publik atas akuntabilitas
politik setiap wakil yang dipilihnya. Padahal, publik memiliki posisi sangat
strategis menyeleksi siapa saja wakilnya yang benar-benar mewakili
kepentingan politiknya.
Maka,
tahun ini akan menjadi tahun terakhir bagi publik menagih janji para politikus
yang menduduki jabatan di lembaga-lembaga legislatif. Sekadar untuk
mempertanggungjawabkan mandat dan janji politik yang telah diberikan dalam
pemilu sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar