Loyalitas
Pejabat Jelang Pemilu
Nurudin ; Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang
(UMM)
|
SUARA
KARYA, 15 Januari 2013
Loyalitas pejabat
negara yang berasal dari partai politik (parpol) cenderung menurun sejak
penetapan 10 parpol yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Pasalnya, para pejabat itu akan disibukkan dengan urusan parpol masing-masing
untuk menyongsong pemilu mendatang.
Sebagaimana diketahui,
KPU telah meloloskan 10 parpol, yakni 9 parpol yang telah memiliki kursi di
Senayan (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Hanura,
Gerindra dan pendatang baru, Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Meskipun
protes partai-partai yang tidak lolos terus berlangsung, namun penetapan itu
sudah dilakukan.
Yang
menarik, justru pasca penetapan 10 parpol peserta Pemilu 2014, sejumlah
pekerjaan besar menyangkut kinerja pejabat negara, penting untuk disoroti.
Pejabat negara yang dimaksud adalah pejabat yang berasal dari parpol
(eksekutif dan legislatif).
Mengapa
loyalitas pejabat-pejabat itu bisa menurun?
Pertama,
loyalitas pada partai tetap dianggap nomor satu. Mereka itu, diangkat menjadi
pejabat karena garansi partainya. Dengan kata lain, partailah yang berwenang
menyodorkan nama untuk menjadi pejabat. Partai pulalah yang menjadikan mereka
menjadi anggota dewan, kemudian diangkat menjadi pejabat eksekutif, misalnya,
menteri. Jadi, sudah jelas di mana pijakan loyalitasnya.
Kalau
mereka akhirnya duduk sebagai menteri, maka loyalitas itu hanya loyalitas
sementara saja. Loyalitas utama tetap ada pada partainya. Maka, kabinet hasil
koalisi itu hanya kompak di awal, begitu antarpartai, anggota koalisi
berselisih paham, maka koalisi itu goyah. Tak jarang jika para menteri itu
lebih takut pada partai pengusungnya daripada presiden sebagai atasannya di
eksekutif.
Kedua,
pejabat itu tetap akan sibuk mengurusi partainya. Sejak KPU menetapkan partai
yang lolos verifikasi maka para pengurus biasanya akan sibuk melakukan
konsolidasi ke dalam partai. Mereka akan sibuk menyiapkan program untuk
menyongsong pemilihan umum. Kampanye-kampanye pun akan dilakukan, sampai
batas larangan secara resmi melakukan kampaye menjelang pemilihan.
Tak
tanggung-tanggung pula, banyak menteri yang berkunjung ke daerah masih
menyempatkan diri melakukan konsolidasi dengan partai pengusungnya. Kegiatan
ini memang tidak salah, hanya tidak seratus persen benar. Sebab, jelas ada
campur tangan dirinya sebagai menteri dengan dirinya sebagai anggota partai
bersangkutan. Sementara, untuk kunjungan ke daerah memakai pembiayaan negara
atas posisinya sebagai pejabat negara.
Ada
sebuah ungkapan politik yang diyakini kebenarannya. "Sebuah negara akan
bisa berdiri tegak dan mencapai kemaslahatan rakyatnya, sangat tergantung
pada perilaku elite politiknya."
Jika
dinegasikan, ungkapan tersebut juga bisa dikatakan bahwa sebuah negara akan
bisa mencapai kehancurannya juga sangat tergantung elite politiknya. Jika
disederhanakan masalahnya, faktor pemimpin sangat memegang peranan penting
dalam proses perubahan di masyarakat. Maka, jika pemimpin bobrok, rakyat akan
ikut bobrok dan juga sebaliknya. Karenanya, faktor pemimpin memang menjadi
faktor penentu maju mundurnya negara.
Mosca
(Bottomore, 2006) pernah mengatakan, "Suatu elite tidak semata-mata
berkuasa karena mewakili kepentingan dan tujuan-tujuan kelompok yang
berpengaruh dan penting dalam masyarakat, tetapi juga berkuasa dengan
menggunakan kekuatan dan penipuan."
Dalam
hal ini, pemerintahan demokrasi presidensial semu seperti Indonesia berada
dalam posisi dilematis. Di satu sisi, presiden memang mempunyai kekuasan dan
hak prerogratif untuk menentukan dan memilih siapa yang akan dijadikan
pembantunya. Namun, di sisi lain, keberadaan partai politik yang "menyuplai"
juga tidak bisa dianggap remeh.
Idealnya
memang zaken kabinet (kabinet ahli) yang memungkinkan presiden bisa punya
otonomi luas. Namun, keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang dihuni para
anggota dewan yang dipilih dalam pemilu juga ikut menentukan arah kebijakan
negara. Jika presiden "berjalan sendiri", ia akan kena
"semprit" anggota dewan. Maka, jalan tengah koalisi dengan berbagai
macam kompromi sering menjadi pilihan utama.
Masalahnya,
kepenting-an parpol jelas tidak akan bisa hilang begitu saja dari para
pejabat tersebut. Intinya, jika partai membutuhkan, maka ia akan cenderung
mengikuti kepentingan partai tersebut. Dengan kenyataan semakin dekatnya
pemilu maka kepentingan partai akan ditempatkan pada posisi depan.
Bagaimana
dengan anggota dewan? Tidak jauh berbeda. Anggota dewan juga akan
ancang-ancang untuk menyongsong pemilu. Entah, apakah mereka disibukkan
dengan konsolidasi intern atau usaha penggalangan massa.
Sementara
itu, anggota dewan yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk menjadi calon di
tahun mendatang, akan bekerja semakin malas-malasan. Dia merasa hanya tinggal
menghabiskan masa baktinya di lembaga perwakilan. Setelah itu, ia tidak lagi
punya kepentingan untuk mengurusi atas statusnya sebagai dewan perwakilan
rakyat. Ibaratnya, kerjanya sudah dianggap usai.
Tak heran, jika di
Indonesia ada aturan cuti bagi pejabat saat kampanye. Aturan itu dibuat
karena selama ini ada pencampuradukkan antara kepentingan dirinya sebagai
pejabat dan posisinya di parpol. Diharuskan cuti saja kepentingan bisa campur
aduk, bagaimana jika tidak ada larangan?
Loyalitas kepada
negara - karena mereka sudah berikrar menjadi pejabat negara - memang harus
ditempatkan pada posisi teratas. Tetapi, kepentingan diri dan kelompok
seringkali berlindung di baliknya. Anehnya, kepentingan diri dan kelompok
jauh melampaui kepentingan negara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar