Rabu, 16 Januari 2013

Loyalitas Pejabat Jelang Pemilu


Loyalitas Pejabat Jelang Pemilu
Nurudin ;  Dosen Fisip Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
SUARA KARYA, 15 Januari 2013


Loyalitas pejabat negara yang berasal dari partai politik (parpol) cenderung menurun sejak penetapan 10 parpol yang lolos verifikasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasalnya, para pejabat itu akan disibukkan dengan urusan parpol masing-masing untuk menyongsong pemilu mendatang.
Sebagaimana diketahui, KPU telah meloloskan 10 parpol, yakni 9 parpol yang telah memiliki kursi di Senayan (Partai Demokrat, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PKB, PPP, Hanura, Gerindra dan pendatang baru, Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Meskipun protes partai-partai yang tidak lolos terus berlangsung, namun penetapan itu sudah dilakukan.
Yang menarik, justru pasca penetapan 10 parpol peserta Pemilu 2014, sejumlah pekerjaan besar menyangkut kinerja pejabat negara, penting untuk disoroti. Pejabat negara yang dimaksud adalah pejabat yang berasal dari parpol (eksekutif dan legislatif).
Mengapa loyalitas pejabat-pejabat itu bisa menurun?
Pertama, loyalitas pada partai tetap dianggap nomor satu. Mereka itu, diangkat menjadi pejabat karena garansi partainya. Dengan kata lain, partailah yang berwenang menyodorkan nama untuk menjadi pejabat. Partai pulalah yang menjadikan mereka menjadi anggota dewan, kemudian diangkat menjadi pejabat eksekutif, misalnya, menteri. Jadi, sudah jelas di mana pijakan loyalitasnya.
Kalau mereka akhirnya duduk sebagai menteri, maka loyalitas itu hanya loyalitas sementara saja. Loyalitas utama tetap ada pada partainya. Maka, kabinet hasil koalisi itu hanya kompak di awal, begitu antarpartai, anggota koalisi berselisih paham, maka koalisi itu goyah. Tak jarang jika para menteri itu lebih takut pada partai pengusungnya daripada presiden sebagai atasannya di eksekutif.
Kedua, pejabat itu tetap akan sibuk mengurusi partainya. Sejak KPU menetapkan partai yang lolos verifikasi maka para pengurus biasanya akan sibuk melakukan konsolidasi ke dalam partai. Mereka akan sibuk menyiapkan program untuk menyongsong pemilihan umum. Kampanye-kampanye pun akan dilakukan, sampai batas larangan secara resmi melakukan kampaye menjelang pemilihan.
Tak tanggung-tanggung pula, banyak menteri yang berkunjung ke daerah masih menyempatkan diri melakukan konsolidasi dengan partai pengusungnya. Kegiatan ini memang tidak salah, hanya tidak seratus persen benar. Sebab, jelas ada campur tangan dirinya sebagai menteri dengan dirinya sebagai anggota partai bersangkutan. Sementara, untuk kunjungan ke daerah memakai pembiayaan negara atas posisinya sebagai pejabat negara.
Ada sebuah ungkapan politik yang diyakini kebenarannya. "Sebuah negara akan bisa berdiri tegak dan mencapai kemaslahatan rakyatnya, sangat tergantung pada perilaku elite politiknya."
Jika dinegasikan, ungkapan tersebut juga bisa dikatakan bahwa sebuah negara akan bisa mencapai kehancurannya juga sangat tergantung elite politiknya. Jika disederhanakan masalahnya, faktor pemimpin sangat memegang peranan penting dalam proses perubahan di masyarakat. Maka, jika pemimpin bobrok, rakyat akan ikut bobrok dan juga sebaliknya. Karenanya, faktor pemimpin memang menjadi faktor penentu maju mundurnya negara.
Mosca (Bottomore, 2006) pernah mengatakan, "Suatu elite tidak semata-mata berkuasa karena mewakili kepentingan dan tujuan-tujuan kelompok yang berpengaruh dan penting dalam masyarakat, tetapi juga berkuasa dengan menggunakan kekuatan dan penipuan."
Dalam hal ini, pemerintahan demokrasi presidensial semu seperti Indonesia berada dalam posisi dilematis. Di satu sisi, presiden memang mempunyai kekuasan dan hak prerogratif untuk menentukan dan memilih siapa yang akan dijadikan pembantunya. Namun, di sisi lain, keberadaan partai politik yang "menyuplai" juga tidak bisa dianggap remeh.
Idealnya memang zaken kabinet (kabinet ahli) yang memungkinkan presiden bisa punya otonomi luas. Namun, keberadaan lembaga perwakilan rakyat yang dihuni para anggota dewan yang dipilih dalam pemilu juga ikut menentukan arah kebijakan negara. Jika presiden "berjalan sendiri", ia akan kena "semprit" anggota dewan. Maka, jalan tengah koalisi dengan berbagai macam kompromi sering menjadi pilihan utama.
Masalahnya, kepenting-an parpol jelas tidak akan bisa hilang begitu saja dari para pejabat tersebut. Intinya, jika partai membutuhkan, maka ia akan cenderung mengikuti kepentingan partai tersebut. Dengan kenyataan semakin dekatnya pemilu maka kepentingan partai akan ditempatkan pada posisi depan.
Bagaimana dengan anggota dewan? Tidak jauh berbeda. Anggota dewan juga akan ancang-ancang untuk menyongsong pemilu. Entah, apakah mereka disibukkan dengan konsolidasi intern atau usaha penggalangan massa.
Sementara itu, anggota dewan yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk menjadi calon di tahun mendatang, akan bekerja semakin malas-malasan. Dia merasa hanya tinggal menghabiskan masa baktinya di lembaga perwakilan. Setelah itu, ia tidak lagi punya kepentingan untuk mengurusi atas statusnya sebagai dewan perwakilan rakyat. Ibaratnya, kerjanya sudah dianggap usai.
Tak heran, jika di Indonesia ada aturan cuti bagi pejabat saat kampanye. Aturan itu dibuat karena selama ini ada pencampuradukkan antara kepentingan dirinya sebagai pejabat dan posisinya di parpol. Diharuskan cuti saja kepentingan bisa campur aduk, bagaimana jika tidak ada larangan?
Loyalitas kepada negara - karena mereka sudah berikrar menjadi pejabat negara - memang harus ditempatkan pada posisi teratas. Tetapi, kepentingan diri dan kelompok seringkali berlindung di baliknya. Anehnya, kepentingan diri dan kelompok jauh melampaui kepentingan negara. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar