Dari Seremoni
ke Gerakan Amal
|
SUARA
MERDEKA, 23 Januari 2013
"Kita
belum bisa menyebut seseorang berakhlak bila dia tidak menghadirkan
kemaslahatan bagi sesama"
PERINGATAN Maulid Nabi Muhammad tahun 2013
tampaknya menjadi pembuka pintu amar makruf nahi mungkar bagi umat Islam
untuk menapaki tahun yang baru. Maulid merupakan momentum yang dapat
menggiring ingatan umat Islam menelusuri jejak rekam dan perjuangan sosok
pahlawan peradaban: Nabi Muhammad saw.
Padanya kita bisa melihat segala kebajikan.
Nabi Muhammad adalah sosok anutan, dari kepemimpinannya mengelola
kemajemukan, menuntut ilmu dan kerja kerasnya untuk masa depan gemilang,
hingga mementingkan pengabdian dan perjuangan. Muhammad telah mengajarkan dan
mempraktikkan sejak jauh-jauh hari.
Kini, melihat negeri yang tak kunjung
membaik dari penyakitnya, umat Islam yang mendominasi jagat Indonesia dengan
jumlah mayoritas, yang juga penentu masa depan bangsa, perlu kembali
merenungkan perjuangan Nabi Muhammad membangun masa depan umat.
Karenanya, peringatan maulid harus
benar-benar menjadi ajang refleksi dan media instrospeksi bagi umat Islam.
Kalau boleh penulis mengatakan, kerusakan yang --meminjam ungkapan Buya
Syafii Maarif-- hampir sempurna ini berpangkal pada akhlak. Di sinilah
urgensi maulid keluar dari batas-batas seremonial yang miskin kesalehan
sosial.
Gerakan
Amal
Kita harus bisa mentransformasikan maulid untuk
menjawab kegersangan kesalehan sosial, di samping mengasah kesalehan
individual. Korupsi yang berurat akar, kekerasan yang fenomenal, kemiskinan,
kebodohan dan sebagainya adalah cermin kegagalan memanifestasikan pesan-pesan
Islam yang diajarkan oleh Nabi Muhammad, terutama akhlak.
Akhlak merupakan tonggak pendorong bangsa
ini menuju peradaban negeri yang gemilang. Meniru akhlak Nabi Muhammad adalah
titik tolaknya. Apalagi, kehadiran Nabi di bumi tak lain hanya untuk
menyempurnakan akhlak. Saatnya umat didorong melakukan gerakan amal untuk
kebaikan sesama. Dalam bahasa lain, amar makruf nahi mungkar.
Kini, gambaran realitas sosial masyarakat
kian teramat pekat oleh wajah-wajah yang dijiwai spirit hedonistik,
kapitalistik, dan konsumeristik. Individualistik yang mengental menggumpalkan
noda-noda antisosial dan kememudaran kesetiakawanan antarsesama. Solidaritas
pun tercerabut. Lebih dari itu, relasi sosialistik atas nama kemanusiaan
mengalami pendangkalan.
Cita-cita kebaikan dan amar makruf nahi
mungkar tergantikan oleh syahwat kepentingan diri sendiri, golongan, dan
keluarga. Bukan tidak mungkin, kepedulian dan kedermawanan akan sirna. Yang
kaya makin kaya, dan yang miskin terus miskin. Tidak ada kebermanfaatan dan
kemaslahatan atas nama semua.
Pada ranah yang lain, simbol-simbol
kebersamaan dan persatuan antarkelompok sosial ternodai oleh tendensi dan
arogansi. Egoisme dan dorongan mendominasi memupus harapan-harapan
keterjalinan gerak langkah yang saling menyapa. Secuil perkara yang tidak
prinsipil mengalahkan prinsip-prinsip universal dan general. Tali-tali
pembalut integrasi antara satu dan yang lain dirongrong oleh jubah
kepentingan yang melenakan.
Yang muncul bukan pengorbanan dan
keikhlasan melainkan bagaimana meraih sebesar-besarnya keuntungan yang menyisakan
kerugian bagi yang lain. Ini tentu jauh dari semangat amar makruf nahi mungkar. Padahal Islam sangat menekankan
kebaikan. Titik awalnya adalah konsep tentang berbuat baik atau al-birr dan itu berkait erat dengan
akhlak. Akhlak merupakan manifestasi dari gagasan-gagasan Islam tentang
al-birr.
Dalam sebuah riwayat disebutkan, dari
Nawwas bin Simían al-Anshari, katanya, ”Saya bertanya kepada Rasulullah
tentang kebaikan dan tentang dosa. Baginda menjawab, baik adalah akhlak
mulia, dan dosa adalah sesuatu yang terlintas dalam dadamu (untuk hendak
dikerjakan) dan engkau merasa tidak senang bila orang lain mengetahuinya
(bila itu akan dikerjakan)” (HR Imam Muslim, al-Turmudzi, Ahmad, dan
al-Darimi).
Pada kesempatan lain, Nabi mengungkapkan, dari Abu Hu-rairah, ia berkata, Rasulullah saw pernah bersabda, ’’Sesungguh-nya saya diutus untuk me-nyempurnakan kemuliaan akhlak’’ (HR Ahmad).
Mudah dipahami, hadis itu memberi pesan
akan pentingnya akhlak. Akhlak sangat menentukan dalam mengawal sikap,
tindakan, perilaku, ucapan, dan perbuatan.
Praktik-praktik korupsi yang menggejala tak
lain karena deraan krisis akhlak. Potret ini juga menjadi sinyal jelas bahwa
pendidikan sebagai benteng terakhir penjagaan akhlak seolah-olah jebol dan
hancur. Kemampuan kognisi yang digadang-gadang nyaris meninggalkan problem
defisit akhlak dalam jiwa-jiwa anak bangsa.
Lihat saja, kepemimpinan yang korup,
berbagai kebijakan yang tidak selaras dengan nurani, dan tata aturan yang
di-bangun dengan semangat nepotis dan kolusi menjerumuskan bangsa ini dalam
arus yang tidak jelas arah dan tujuannya.
Saat ini, perlu merevitalisasi teladan Nabi
bagi bangsa ini. Terlebih ormas Islam yang getol menyerukan amar makruf nahi mungkar. Dakwah
sebagai ujung tombak cita-cita harus terus diasah. Semangat menebar kebermanfaatan
dan kemaslahatan jangan sampai pudar dan luntur.
Kita semua dalam payung berbangsa dan
negara adalah sedulur (saudara).
Pengorbanan dan amal harus dikedepankan, bukan seremonial. Jalan dakwah lewat
amal dan karya merupakan jalan kultural paling efektif dan bisa bertahan
lama. Pendidikan, pembinaan, dan pemberdayaan juga bagian dari jalan dakwah
tersebut.
Memang, sungguh berat berakhlak luhur.
Pasalnya, beakhlak berarti dapat memberi manfaat dan membuat senang orang
lain. Seseorang belum bisa dikatakan berakhlak bila tidak memberi
kemaslahatan bagi sesama. Semua berintikan pengorbanan. Hanya orang-orang
yang tahu akan balasan Allah yang mau berbuat baik sekaligus ber-akhlak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar