Rabu, 09 Januari 2013

Blusukan, Memotret Pemerintahan


Blusukan, Memotret Pemerintahan
Baharuddin Aritonang ;  Pengamat Sosial
MEDIA INDONESIA,  09 Januari 2013



KATA itu sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa. Karena itulah tidak kita temukan di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau kamus bahasa Indonesia lainnya. Kata ‘bludrek’ malah ada, maksudnya pusing. Namun, ‘blusukan’? Padahal, kata itu sekarang begitu populer dalam percakapan sehari-hari. Sudah menjadi kosakata yang umum. Ketika saya bertanya kepada seorang teman yang berasal dari Purworejo, dia menjelaskan arti kata itu adalah jalan-jalan ke tempat kotor, misalnya ke sawah atau tempat-tempat berlumpur. Keblusuk artinya masuk ke lumpur, tambahnya. Istilah kotor tersebut tentu perlu kita beri imbuhan tanda petik. ‘Kotor’ di sini tidak diidentikkan ke tempat-tempat yang bau dan penuh dengan bakteri, tapi memang bukan pula tempat yang bersih, licin, harum, atau mengilap.

Karena itu, ketika Joko Widodo, gubernur baru DKI yang sering menjenguk tempat-tempat yang tidak terbiasa didatangi pejabat sebagaimana yang umumnya kita kenal, hal itu kian memopulerkan istilah tersebut. Dia pergi ke kampung-kampung melalui jalan-jalan becek, daerah banjir, pinggir kali, hingga masuk ke got di Jalan MH Thamrin. Istilah yang tepat tak lain dari blusukan. Itu pula sebabnya, tatkala Pak SBY, presiden RI, mengunjungi kampung nelayan, pada Jumat, 4 Januari 2013, ada yang menyebutnya blusukan. Lagi pula itu tidak dipersiapkan sebagaimana kunjungan presiden yang biasanya sampai-sampai bupati Tangerang pun tidak tahu, termasuk petugas keamanan yang biasanya akan berjagajaga di sepanjang jalan yang dilalui. Benar-benar spontan.

Yang tidak enaknya, banyak koran atau media sosial mengaitkannya dengan kebiasaan Jokowi yang sudah duluan populer dalam beberapa bulan terakhir ini. Keruan saja beberapa staf presiden mencoba meluruskannya. Tak ada hubungannya dengan Jokowi, apalagi mencontoh-contoh. Istilahnya pun bahkan seolah dikoreksi, bukan blusukan, melainkan turba alias turun ke bawah. Tidak sedikit yang mencoba menerangkan bahwa kebiasaan itu sesungguhnya dari dulu telah dilakukan Pak SBY.

Pada periode pertama kepresidenan Pak SBY (20042009), memang tidak terhitung kunjungan yang dia lakukan ke berbagai daerah. Pada 2005, sebagai anggota BPK yang mengaudit bantuan tanggap darurat tsunami Aceh/Nias, saya malah pernah bergabung dengan rombongan dia di saat mengunjungi Banda Aceh. Di rombongan itu juga turut serta Gus Dur. Konon sampai empat kali Pak SBY mengunjungi daerah yang didera bencana dahsyat itu.

Ketika foto perjumpaan di Masjid Raya Banda Aceh itu saya muat di Facebook, saya tunjukkan ketika itu Pak SBY masih singset dan rajin berkunjung ke berbagai daerah dengan menggulung celana saat meninjau banjir di Bekasi, melihat korban gempa di Yogyakarta, ke Papua, bahkan menginap di tenda di lereng Gunung Merapi. Mungkin Anda masih ingat ketika fotonya yang sedang memetik gitar di malam hari di tenda itu dipublikasikan. Apakah itu disebut blusukan? Terserah pada Anda.

Namun ketika memasuki periode kedua kepresidenan dia (2009-2014), berita semacam itu nyaris tak terdengar. Yang saya baca malah `kunjungan' ke New York, Mexico City, Sao Paulo, Hanoi, New Delhi, London, Kuala Lumpur, atau yang lainnya. Acaranya pertemuan pemimpin dunia atau menerima gelar penghargaan. Kalaupun di kota-kota dunia itu dia keluar dari pertemuan resmi, paling-paling ke West Point, di luar New York City. Saya tidak tahu, apakah kunjungan ke berbagai pojok dunia itu disebabkan sudah ada pesawat kepresidenan, yang pernah diumumkan berupa Boeing 737 tipe 800, tapi mungkin itu tidaklah terlalu penting. Cuma, pada salah satu kunjungan itu, pernah saya dibuat trenyuh. Di halaman satu sebuah koran nasional, muncul tiga berita penting. Yang pertama, kerusuhan yang terjadi di Lampung yang menewaskan 14 orang dan tidak kurang dari 2.000 orang mengungsi. Berita yang kedua, Presiden Obama yang meninggalkan kampanyenya dan lebih mementingkan membantu korban badai Sandy di New Jersey dan New York. Lantas di sebelahnya, foto Bapak Presiden bersama Ibu yang sedang berkunjung ke London dan diterima Ratu Elizabeth dan Pangeran Philips di pintu Istana Buckingham.

Sekarang kita kembali ke soal blusukan. Tentu saja kunjungan ke berbagai negara itu tak dapat kita sebut sebagai blusukan. Sama saja tak da pat kita sebut turba alias turun ke ba wah. Apalagi dise but turun ke atas. Kalau mau diper debatkan, tentu kunjungan ke luar negeri itu juga dianggap penting. Karena itu, keseimbangannya perlu dicari, yakni dengan melakukan turba, sidak (infeksi mendadak), on the spot, atau blusukan ke tengah-tengah rakyat sendiri.

Tidak perlu dikaitkan dengan pencitraan. Apalagi di periode kedua jabatan kepresidenan ini. Tujuannya untuk melihat rakyat, meyakinkan bahwa semua berjalan di jalan yang tepat dan benar.

Syukurnya, itu sudah dimulai dengan mengunjungi kampung nelayan di Tangerang tadi. Itu mungkin bisa diperluas dengan melihat kampung nelayan di Kepulauan Riau, di Muncar, Ambon, atau Manokwari. Juga, kaum petani di Pulau Buru, di Bantul, serta di Lampung dan Poso yang berdarah-darah. Atau ke kampung saya di Padangsidempuan, yang sejak merdeka belum pernah dikunjungi presiden Republik Indonesia kecuali Soekarno.

Tentu saja dengan tidak mengabaikan kunjungan ke berbagai pusat ekonomi dan industri. Juga, pusat-pusat pendidikan, baik pesantren maupun perguruan tinggi. Atau, pasar-pasar di berbagai daerah dan berbagai tempat lain yang dianggap amat penting. Itu sekaligus untuk dijadikan sebagai contoh. Selanjutnya, para menteri diperintahkan untuk melakukan hal yang sama sesuai dengan bidang masing-masing. Juga, para kepala daerah, khususnya gubernur dan bupati. Itu layaknya yang dilakukan khalifah Umar bin Khattab. Bukankah jabatan itu untuk rakyat? Bukankah kita bekerja untuk rakyat?

Tentu pula blusukan, turba, sidak, dan semacamnya itu bukan sekadar mode atau euforia, apalagi sebagai pekerjaan utama. Lebih jelasnya, langkah tersebut hanyalah sampingan, yang dilakukan sesekali. Jangan lupakan tugas-tugas lain yang juga penting, termasuk mengawasi dan mengarahkan anggaran negara agar lebih prorakyat dan digunakan sebaik-baiknya serta tidak diselewengkan. Mendorong, mengoordinasikan, dan mengawasi agar semua institusi dan aparat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Menggerakkan birokrasi agar mencapai tujuan pembentukan pemerintahan, yakni demi menyejahterakan rakyat. Itu untuk melihat apakah pemerintahan berjalan dengan baik. Masih cukup waktu untuk menjalankan semua itu secara paralel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar