Jumat, 09 Maret 2012

Petaka Peradilan


Petaka Peradilan
Saharuddin Daming, KOMISIONER KOMNAS HAM
SUMBER : REPUBLIKA, 9 Maret 2012



Terkuaknya kasus kriminalisasi tiga warga Cicaringin, Karang Tengah, Garut, yang ditahan, (17/2), dengan tuduhan pembalakan liar atas dua pohon pinus milik Perhutani, yang akhirnya dilepas oleh Polsek setempat, Ahad (4/3) akibat bombardir pemberitaan makin membuktikan pola penegakan hukum kita tak bernurani dan berselera rendah. 

Hukum sungguh tak ubahnya seperti pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.
Inilah yang menjadi problem karena sejak hukum tercipta sebagai pilar penataan kesinambungan eksistensi para makhluk. Maka, setiap perbenturan dan segala yang mengganggu harmoni keberadaan selalu diselesaikan melalui badan peradilan. Dalam mitologi hukum, badan peradilan adalah istana Dewi Keadilan untuk menjalankan takhta penegakan hukum dan keadilan.

Sungguh amat disayangkan karena pamor kecemerlangan dari singgasana Dewi Keadilan dengan derajat yang amat mulia dari waktu ke waktu tampaknya mengalami pergeseran dan meredup hingga pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Mulai dari performa institusi dan personalia hingga output dan outcome yang dihasilkannya, kesemuanya mengalami degradasi dan dekadensi. Tidak heran jika citra buruk peradilan kita saat ini telah tersungkur.

Tengoklah peran peradilan dalam penanganan beberapa kasus yang melibatkan wong cilik sebagai tersangka/terdakwa sebagaimana yang menimpa Nenek Minah (pencurian tiga biji kakao) di Banyumas dan Manisih (pencurian sisa panen kapuk randu) di Batang. 

Selain itu, ada juga Basar dan Cholil (pencurian semangka) di Kediri, Syukri (pencurian sisa panen kelapa Sawit) di Bangkinang Riau, Kuatno dan Topan (pencurian pisang) di Cilacap, dan berbagai kasus sejenis. Mereka semua divonis bersalah dengan sanksi tegas meski perbuatan mereka sangat remeh.

Ironisnya, meski dikecam oleh berbagai pihak, fungsionaris peradilan tak sedikit pun merasa malu atau risau dengan kritikan publik dan terus saja memperturutkan syahwat kebiadaban peradilan. Mereka telah memasuki wilayah penyalahgunaan wewenang dan jabatan.

Meski Amar Abdullah telah mengalami kebutaan pada mata kanan akibat insiden penganiayaan berat oleh Fenly M Tumbuan sehingga harus dilakukan perawatan intensif demi mencegah kerusakan lebih parah, namun PN Jaktim tetap saja melakukan penahanan kepada yang bersangkutan. Hal yang lebih parah lagi menimpa Samuri bin Darimin (35) yang mengambil bebatuan kira-kira 1/2 karung di sawahnya sendiri dengan kan dungan tembaga 0,03 persen, tiba-tiba divonis bersalah oleh PN Trenggalek Jatim sebagai pelaku illegal mining (Pasal 158 jo 67 UU No 04/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara).

Tragisnya, karena pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung (MA) yang harusnya mengkonter semua putusan pengadilan di bawahnya yang dirasakan bertentangan dengan sense of law and justice value, justru larut dalam euforia peradilan yang hanya menegakkan peraturan. Mereka memperkosa hak asasi warga negara untuk memperoleh keadilan.

Antagonisme peradilan di alam refor masi ini tampak pada putusan PN Ran tau Prapat 2008 yang menjatuhkan pidana 33 tahun kepada M Nur dan Warsiah, sepasang suami-istri tunanetra dengan kasus narkoba. Menariknya, karena meski keduanya telah mengajukan grasi, presiden hanya mengabulkan permohonan grasi Warsiah, itu pun hanya pengurangan hukuman selama lima tahun. Sehingga, Warsiah terpaksa menitipkan ke dua anaknya kepada orang tuanya yang sudah renta lantaran ia harus menjalani sisa hukuman 10 tahun lagi.

Bandingkan dengan kasus penyelewengan pajak oleh Gayus Tambunan dan sejumlah pejabat aktif dan nonaktif di Dirjen Pajak yang telah merugikan ratusan miliar rupiah uang rakyat, ternyata hanya divonis ringan bahkan sebagian besar belum disentuh oleh hukum. Tengok pula kasus Century dan rekening gendut oleh oknum petinggi Polri maupun sejumlah pejabat negara lainnya, semuanya sengaja diendapkan tanpa tindakan hukum.

Mereka semua dapat mengintervensi proses peradilan untuk mendapatkan imunitas kalau bukan peradilan sesat. Fenomena kebangkrutan hukum seperti ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran dan keadilan.

Kurang Bermanfaat

Penulis menilai bahwa robohnya benteng terakhir keadilan tersebut adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat makar yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa, hakim, dan advokat).

Peradilan kini terkesan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya dalam menegakkan hukum. Banyak aparat penegak hukum tidak malu lagi menjadi jongos mafia peradilan. Mereka telah menjungkalkan penegakan hukum ke jurang otoritarianisme peradilan demi gengsi maupun karena kekerdilan interpretasi hukum.

Sayangnya, karena pimpinan MA, kejaksaan, kepolisian, dan organisasi advokat yang masing-masing diserahi tanggung jawab untuk membersihkan lembaga peradilan, bukan saja terkesan melakukan pembiaran, malah justru melindungi dalam bingkai solidaritas korps. Bahkan, kadang-kadang menjadi bagian dari mafia. Legislatif juga turut berkontribusi karena tidak berani menolak RUU yang masih memberi ruang bagi mafia peradilan.

1 komentar:

  1. Bapak Budisan, mengenai kasus Fenly M Tumbuan, lebih baik Bpk cek dengan detil kasusnya. Jgn asal bicara. Kita lht siapa yg salah, apakah Amar atau Fenly yg sampai hari ini masih dipenjara? Apakah Amar yg duluan memukul atau Fenly? Semua berita di koran itu rekayasa. Tylah kpd penduduk di sekitar sana. Bpk akan tahu kebenarannya. Yg jelas sampai sekarang Fenly M Tumbuan masih dlm penjara. Sdgkan Amar bebas. Pdhl yg ajak duel itu Amar.
    Mr. X

    BalasHapus