Rabu, 21 Maret 2012

Moratorium Remisi, Korupsi, dan Kebobrokan Parpol


Moratorium Remisi, Korupsi,
dan Kebobrokan Parpol
Bawono Kumoro, PENELITI POLITIK DI THE HABIBIE CENTER
SUMBER : SINAR HARAPAN, 21 Maret 2012



Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kembali menghadapi ujian berat. Kali ini ujian itu berupa keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menerima gugatan tujuh terpidana kasus korupsi terhadap kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi narapidana tindak pidana luar biasa korupsi yang dikeluarkan pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM. 

Keputusan PTUN Jakarta itu sungguh patut disesalkan karena tidak selaras dengan semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal lain yang patut disayangkan dari peristiwa itu adalah kesediaan salah satu tokoh reformasi Yusril Ihza Mahendera untuk bertindak sebagai pengacara tujuh terpidana kasus korupsi itu.

Tindakan itu dapat dilihat sebagai wujud advokasi sang mantan menteri terhadap pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia, sebagaimana hak interpelasi yang saat ini tengah diajukan sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). 

Hampir seluruh fraksi di DPR menandatangani pengajuan hak interpelasi, kecuali Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional. Pengajuan hak interpelasi itu ditengarai sebagai bentuk pembelaan DPR terhadap para koruptor. Terlebih, tidak sedikit koruptor yang kini mendekam di tahanan berasal dari lingkungan partai politik dan pernah tercatat sebagai anggota dewan. 

Dalam berbagai kesempatan, anggota DPR asal Partai Golkar Bambang Soesatyo selaku inisiator berdalih bahwa pengajuan hak interpelasi penting dilakukan karena kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi yang dikeluarkan Kementerian Hukum dan HAM dinilai bertentangan dengan hukum positif dan konvensi internasional tentang korupsi.

Seorang terpidana harus diperhatikan hak-hak hukumnya untuk mendapatkan keringanan melalui remisi dan pembebasan bersyarat, jika berkelakuan baik selama berada di tahanan. 
Sementara itu, Kementerian Hukum dan HAM berpandangan bahwa kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi penting dikeluarkan guna memberi efek jera para pelaku tindak pidana korupsi di Indonesia. 

Tidak ayal lagi, perlawanan DPR terhadap kebijakan moratorium remisi dan pembebasan bersyarat bagi terpidana korupsi itu menuai kecaman publik, terutama dari para pegiat gerakan antikorupsi.

Publik tentu patut miris melihat perilaku para wakil mereka di DPR. Alih-alih menjadi lembaga negara yang terhormat dan berwibawa, DPR kini justru seakan ingin menegaskan diri sebagai lembaga tempat bermukim para politikus oportunis. 

Bukan kali ini saja DPR menunjukkan sikap keberpihakan terhadap para pelaku tindak pidana korupsi. Beberapa waktu lalu, anggota DPR asal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Fahri Hamzah pernah melontarkan gagasan kontroversial mengenai pembubaran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Usul itu disampaikan saat berlangsung rapat konsultasi antara DPR, KPK, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung awal Oktober lalu. Fahri Hamzah menilai keberadaan KPK sebagai lembaga superbody telah mencederai prinsip-prinsip demokrasi. KPK memiliki kewenangan yang terlampau luas sehingga cenderung tidak mau diawasi. 

Pelemahan Gerakan Antikorupsi

Kuat dugaan bahwa kemunculan berbagai gagasan yang bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi merupakan bagian dari skenario politik untuk melakukan pelemahan secara sistematis terhadap gerakan antikorupsi secara umum dan eksistensi KPK secara khusus.

Apalagi jika kita melihat realitas dalam beberapa tahun terakhir bahwa para tersangka kasus korupsi banyak yang datang dari Gedung Parlemen. 

Sulit dipungkiri selama ini berbagai upaya pelemahan secara sistematis terhadap KPK memang telah teramat sering dilakukan DPR. Salah satu cara paling populer untuk melemahkan KPK adalah dengan membangun opini publik mengenai ketidakberesan kinerja KPK.

Rumor-rumor mengenai penegakan hukum yang tebang pilih dan diskriminatif menjadi salah satu bahan yang digunakan untuk memberikan stigma negatif terhadap KPK. 

Bahkan, bukan tidak mungkin kelak DPR akan memangkas sejumlah kewenangan penindakan yang dimiliki oleh KPK melalui revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pemangkasan itu agar kewenangan KPK tidak lagi kuat sehingga sama dengan aparat penegak hukum lain, seperti kepolisian dan Kejaksaan Agung. 

Mungkin benar apa yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam kesempatan tanya jawab dengan wartawan di Istana Negara beberapa waktu lalu, bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia bukan perkara mudah. Pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi agenda sekaligus tantangan berat bagi pemerintah, terutama jajaran penegak hukum.

Kebobrokan Partai Politik

Jika diletakkan dalam konteks kehidupan kepartaian di Indonesia, kemunculan anggota-anggota DPR kontroversial semacam Bambang Soesatyo dan Fahri Hamzah di langgam politik nasional tentu sangat terkait erat dengan masalah perekrutan yang dilakukan partai politik selama ini.

Bukan perkara sulit untuk tampil menjadi seorang anggota legislatif di negara yang masih memuja euforia politik seperti yang tengah berlangsung di Indonesia saat ini.

Keengganan partai politik untuk menjadikan aspek intelektualitas, kompetensi, dan etika sebagai parameter utama perekrutan calon legislatif turut memberikan andil bagi terpilihnya orang-orang yang tidak memiliki etika dan kualitas kompetensi memadai sebagai anggota legislatif. Hal itu diperparah dengan minimnya informasi tentang rekam jejak caleg bersangkutan. 

Padahal, informasi mengenai rekam jejak caleg sungguh berguna bagi publik untuk mengevaluasi dan menilai apakah layak untuk menitipkan amanah pada caleg yang bersangkutan.

Selain itu, publik tentu juga lebih mudah menguji janji kampanye si caleg bila mengetahui jejak rekam caleg bersangkutan selama ini. Kesalahan partai politik dalam proses perekrutan caleg ini yang kemudian mendorong munculnya gugatan publik terhadap kualitas intelektualitas, kompetensi, dan etika para anggota dewan. 

Realitas itu seakan kian menegaskan penilaian publik selama ini bahwa partai politik lebih cenderung mengutamakan aspek ketokohan dan kemampuan finasial semata dalam merekrut caleg. Inilah salah satu wajah keboborokan partai politik kita dewasa ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar