Jumat, 02 Maret 2012

Menuju Pusat Halal


Menuju Pusat Halal
Ledia Hanifa Amaliah, ANGGOTA PANJA RUU JAMINAN PRODUK HALAL FRAKSI PKS DPR RI
Sumber : REPUBLIKA, 2 Maret 2012


Dalam pertemuan tahunan Dewan Pangan Halal Dunia (World Halal Food Council/ WHFC) yang diselenggarakan Januari lalu, 24 pimpinan lembaga sertifikasi halal internasional dari 14 negara yang mengikuti pertemuan tersebut menyatakan mendukung Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia. Sebelum itu, pemerintah melalui Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, juga menyampaikan harapan agar Indonesia bisa menjadi pusat halal dunia.

Keinginan Indonesia untuk menjadi pusat halal dunia sesungguhnya cukup beralasan karena beberapa hal. Pertama, Indonesia boleh dikatakan merupakan negara pionir dalam upaya mengembangkan sistem sertifikasi halal, yaitu sejak tahun 1989 seiring dengan pendirian Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Selain itu, penduduk Muslimnya yang mencapai jumlah sekitar 200 juta jiwa dan telah menobatkan Indonesia menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar sedunia, juga menjadi faktor penunjang yang kuat.

Namun, impian untuk menjadi pusat halal dunia nyatanya tak hanya dimiliki Indonesia. Malaysia dan Brunei Darussalam juga berkeinginan serupa. Bahkan, negara Thailand yang notabene mayoritas penduduknya nonMuslim pun punya impian untuk menjadi pusat halal dunia. Karena itu, mampukah Indonesia mewujudkan mimpi menjadi pusat halal dunia ini?

Persoalan Sistem

Agaknya langkah awal yang kita perlu lakukan adalah melakukan introspeksi diri untuk melihat apakah Indonesia telah siap untuk menjadi pusat halal dunia? Kalau belum, mana titik lemah yang harus segera diperbaiki?

Perlu diingat, walau Indonesia termasuk negara awal yang telah memberlakukan penerapan sertifikasi halal, sistem sertifikasi yang diberlakukan saat ini nyatanya masih memiliki beberapa kelemahan. Misalnya saja, soal sistem sertifikasi yang bersifat parsial sehingga memunculkan ketidakjelasan hubungan antara LPPOM MUI yang berada di tataran pusat dan LPPOM yang berada di level provinsi.

Hal ini sempat mencuatkan persoalan, antara lain: pertama, standar proses pengeluaran sertifikat halal yang dipakai oleh LPPOM MUI belum tentu sama dengan yang dikeluarkan LPPOM provinsi. Kedua, hasil pemeriksaan LPPOM provinsi ternyata juga belum tentu diakui LPPOM MUI.

Di samping itu, ada juga persoalan kewenangan yang juga menjadi salah satu titik lemah proses sertifikasi halal di Indonesia selama ini. Yaitu dengan tidak adanya pemisahan wewenang antara pihak yang membuat standar halal, pihak yang melakukan pemeriksaan halal, dan pihak yang melakukan pengawasan penerapan sertifikasi.

Saat ini semua tahapan berada di tangan LPPOM MUI. Tentu ini bukan sistem yang baik. Berdasarkan sistem manajemen yang baik, pihak yang membuat aturan, regulasi, atau standar haruslah berbeda dengan pihak pelaksana. Demikian juga, pihak pelaksana mesti dipisahkan dari pihak yang melakukan pengawasan.

Peran Negara

Di Indonesia, urusan sertifikasi produk halal masih cenderung dipandang sebagai persoalan umat Islam dan untuk kepentingan umat Islam semata.
Sertifikasi halal apalagi penataan sistem jaminan produk halal belum dilihat sebagai peluang besar yang bisa memberi nilai lebih bagi dunia industri, serta peluang untuk memberi peningkatan nilai perekonomian bangsa.

Mari kita buat perbandingan dari beberapa negara tetangga. Pemerintah Malaysia, untuk mengembangkan industri produk halal mereka, telah membuat kebijakan memfasilitasi pembentukan Halal Development Corporation (HDC) yang berkerja sama dengan Department of Islamic Development Malaysia (JAKIM) di seluruh wilayah Federal Malaysia.

Begitu pula, Pemerintah Thailand yang mayoritas penduduknya adalah non-Muslim, telah memberi perhatian dalam pengembangan industri halal, di mana lembaga The Central Islamic Committee of Thailand (CICOT) bekerja sama dengan Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri Thailand dan berhasil menjadikan Thailand sebagai pusat kuliner dan produk halal di ASEAN. Thailand bahkan juga unggul dalam pengembangan keilmuan serta pengujian industri halal dengan konsep HalQ.

Karena itu, untuk menjadi pusat halal dunia, pemerintah harus terlibat dalam persoalan membangun sistem jaminan produk halal. Salah satu langkah awalnya adalah dengan melakukan penentuan standar halal.

Saat ini praktik penentuan standar proses sertifikasi halal masih ditentukan oleh LPPOM MUI. Maka ke depannya, pemerintah harus secara aktif menentukan standar proses sertifikasi halal produk di Indonesia, sedangkan MUI berperan sebagai lembaga yang mengeluarkan fatwa halalnya. Ini juga untuk memenuhi syarat bahwa pihak penentu standar halal dan pemberi fatwa halal dilakukan secara berbeda.

Keterlibatan lain yang juga harus dilakukan pemerintah adalah menyangkut Mutual Recognition Arrangement (MRA) dalam hal produk halal.
MRA Halal ini maksudnya adalah suatu kesepakatan pengakuan oleh dua pihak atau lebih untuk secara bersama-sama mengakui atau menerima sebagian atau seluruh aspek yang dilakukan oleh negara lain tentang standar dan sistem halal dengan negara lain.

Kabar baiknya, pemerintah telah melakukan kerja sama multilateral dalam wilayah ASEAN yang diwujudkan melalui forum komunikasi untuk mengembangkan agroindustri halal yang berkelanjutan. Wujud kerja sama tiga negara ini dinamakan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMTGT). Tentu akan lebih baik bila pemerintah bisa melangkah lebih luas dengan melakukan MRA Halal juga.

Last but not least, di samping itu, semua peran negara yang tidak kalah pentingnya tentulah membuat regulasi sistem jaminan produk halal. Pada 13 Desember 2011 lalu, Rapat Paripurna DPR telah menyetujui Draf RUU Jaminan Produk Halal (JPH) menjadi RUU inisiatif DPR. Ini tentu merupakan langkah maju setelah pada periode yang lalu RUU ini kandas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar