Mengendalikan
Laju Inflasi
Nugroho SBM, DOSEN
FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS SERTA KELAS BEASISWA UNGGULAN DIKTI PROGRAM
MAGISTER ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN (MIESP) UNDIP
SUMBER : SUARA MERDEKA, 10 Maret 2012
SETELAH pemerintah menaikkan
harga BBM per 1 April 2012, salah satu dampak yang paling dikhawatirkan adalah
meningkatnya inflasi. Beberapa lembaga telah menghitung besarnya dampak itu.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan kenaikan harga BBM Rp 500 per liter
menyebabkan tambahan inflasi langsung 0,31 persen dan inflasi tidak langsung
1-2 kali inflasi langsung. Bila dinaikkan Rp 1.500 mengakibatkan inflasi langsung
bertambah 0,93 persen dan inflasi tidak langsung 0,93-2,79 persen.
Kajian Universitas Indonesia menyebutkan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan tambahan inflasi 2,15 persen. Bank Indonesia memperdiksikan tambahan inflasi 0,33 persen jika harga BBM dinaikkan Rp 500 per liter, dan jika dinaikkan Rp 1.500 per liter maka inflasi tambahannya 0,99 persen. Sementara itu, Reforminer Institute menyatakan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan inflasi tambahan 1,58 persen.
Inflasi tinggi sebagai salah satu penyakit ekonomi memang selalu dihindari oleh semua pemerintahan, termasuk Indonesia, mengingat beberapa dampak negatifnya. Pertama; akan mengurangi daya beli masyarakat. Yang terparah penurunan daya belinya adalah mereka yang berpendapatan rendah dan tetap.
Kedua; bisa makin memperlebar kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Logikanya ada golongan masyarakat yang nilai kekayaannya justru meningkat dengan terjadinya inflasi, yaitu mereka yang memiliki tanah dan bangunan, dan di sisi lain ada golongan yang bertambah miskin karena yang dipegang berwujud uang tunai atau tabungan. Ketiga; inflasi bisa menggoyahkan pemerintahan.
Berapa inflasi yang dikategorikan tinggi dan harus dikendalikan? Inflasi dikatakan tinggi bila mencapai 10 persen ke atas per tahun, yang dalam istilah kebijakan moneter Indonesia diistilahkan inflasi double digit. Beberapa ekonom mengibaratkan inflasi seperti tekanan darah. Ada yang cenderung tekanan darahnya tinggi tapi ia biasa-biasa saja, tetapi ada yang tekanan darahnya naik sedikit saja sudah kesakitan. Tiap negara punya batas toleransi inflasi yang dikatakan tinggi itu.
Kendali Kebijakan
Melihat risiko tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM memang perlu beberapa kebijakan untuk mengendalikannya. Pertama, pemerintah hendaknya mengendalikan secara ketat harga komoditas yang diatur (administered commodity). Ada 4 kelompok komoditas yang selama ini bobot pengaruhnya besar terhadap perhitungan indeks harga konsumen sebagai dasar perhitungan inflasi.
Pertama; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (bobot 24,28 persen); kedua, bahan makanan (23,45 persen); ketiga, makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (17,53 persen); dan keempat, transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan bobot 16,18 persen.
Pada kelompok pertama dan keempat, banyak komoditas dan jasa yang harganya diatur pemerintah, misalnya tarif listrik, angkutan umum, telepon, air minum (PDAM), taksi, dan tarif jalan tol. Untuk berbagai tarif itu hendaknya pemerintah lebih berhati-hati bila ingin menaikkannya, bahkan kalau bisa dihindari.
Kedua, pemerintah seyogianya menggelar operasi pasar (OP) untuk komoditas beras dan minyak goreng, bahkan bila perlu diperbanyak jenisnya yang bisa diintervensi lewat operasi pasar.
Kesulitannya memang menentukan target yang tepat supaya komoditas itu jatuh ke tangan mereka yang berhak, dan bukannya penimbun atau spekulan. Kesulitan lain adalah Bulog kini berstatus perusahaan yang harus cari untung, dan tak punya cukup dana karena tidak ada lagi subsidi pemerintah.
Ketiga, pemerintah menindak spekulan yang menimbun barang untuk kemudian menaikkan harganya. Keempat, pemerintah bisa mengaudit untuk memeriksa pengusaha yang menaikkan harga barangnya melebihi seharusnya. Yang terjadi selama ini jika harga BBM naik 33,33 persen maka pengusaha menaikkan harga 33,33 persen.
Padahal, cara yang betul adalah menghitung dulu berapa persen komponen biaya BBM terhadap total biaya. Katakanlah 10 persen maka kenaikan harga barang dengan adanya kenaikan harga BBM 33,33 persen adalah 10 persen x 33,33 persen atau hanya 3,33 persen. ●
Kajian Universitas Indonesia menyebutkan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan tambahan inflasi 2,15 persen. Bank Indonesia memperdiksikan tambahan inflasi 0,33 persen jika harga BBM dinaikkan Rp 500 per liter, dan jika dinaikkan Rp 1.500 per liter maka inflasi tambahannya 0,99 persen. Sementara itu, Reforminer Institute menyatakan kenaikan harga Rp 1.500 per liter menyebabkan inflasi tambahan 1,58 persen.
Inflasi tinggi sebagai salah satu penyakit ekonomi memang selalu dihindari oleh semua pemerintahan, termasuk Indonesia, mengingat beberapa dampak negatifnya. Pertama; akan mengurangi daya beli masyarakat. Yang terparah penurunan daya belinya adalah mereka yang berpendapatan rendah dan tetap.
Kedua; bisa makin memperlebar kesenjangan sosial ekonomi masyarakat. Logikanya ada golongan masyarakat yang nilai kekayaannya justru meningkat dengan terjadinya inflasi, yaitu mereka yang memiliki tanah dan bangunan, dan di sisi lain ada golongan yang bertambah miskin karena yang dipegang berwujud uang tunai atau tabungan. Ketiga; inflasi bisa menggoyahkan pemerintahan.
Berapa inflasi yang dikategorikan tinggi dan harus dikendalikan? Inflasi dikatakan tinggi bila mencapai 10 persen ke atas per tahun, yang dalam istilah kebijakan moneter Indonesia diistilahkan inflasi double digit. Beberapa ekonom mengibaratkan inflasi seperti tekanan darah. Ada yang cenderung tekanan darahnya tinggi tapi ia biasa-biasa saja, tetapi ada yang tekanan darahnya naik sedikit saja sudah kesakitan. Tiap negara punya batas toleransi inflasi yang dikatakan tinggi itu.
Kendali Kebijakan
Melihat risiko tambahan inflasi akibat kenaikan harga BBM memang perlu beberapa kebijakan untuk mengendalikannya. Pertama, pemerintah hendaknya mengendalikan secara ketat harga komoditas yang diatur (administered commodity). Ada 4 kelompok komoditas yang selama ini bobot pengaruhnya besar terhadap perhitungan indeks harga konsumen sebagai dasar perhitungan inflasi.
Pertama; kelompok perumahan, air, listrik, gas, dan bahan bakar (bobot 24,28 persen); kedua, bahan makanan (23,45 persen); ketiga, makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau (17,53 persen); dan keempat, transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan dengan bobot 16,18 persen.
Pada kelompok pertama dan keempat, banyak komoditas dan jasa yang harganya diatur pemerintah, misalnya tarif listrik, angkutan umum, telepon, air minum (PDAM), taksi, dan tarif jalan tol. Untuk berbagai tarif itu hendaknya pemerintah lebih berhati-hati bila ingin menaikkannya, bahkan kalau bisa dihindari.
Kedua, pemerintah seyogianya menggelar operasi pasar (OP) untuk komoditas beras dan minyak goreng, bahkan bila perlu diperbanyak jenisnya yang bisa diintervensi lewat operasi pasar.
Kesulitannya memang menentukan target yang tepat supaya komoditas itu jatuh ke tangan mereka yang berhak, dan bukannya penimbun atau spekulan. Kesulitan lain adalah Bulog kini berstatus perusahaan yang harus cari untung, dan tak punya cukup dana karena tidak ada lagi subsidi pemerintah.
Ketiga, pemerintah menindak spekulan yang menimbun barang untuk kemudian menaikkan harganya. Keempat, pemerintah bisa mengaudit untuk memeriksa pengusaha yang menaikkan harga barangnya melebihi seharusnya. Yang terjadi selama ini jika harga BBM naik 33,33 persen maka pengusaha menaikkan harga 33,33 persen.
Padahal, cara yang betul adalah menghitung dulu berapa persen komponen biaya BBM terhadap total biaya. Katakanlah 10 persen maka kenaikan harga barang dengan adanya kenaikan harga BBM 33,33 persen adalah 10 persen x 33,33 persen atau hanya 3,33 persen. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar