Liminitas
Unjuk Rasa BBM
Tri Marhaeni P.A., DOSEN JURUSAN SOSIOLOLOGI DAN ANTROPOLOGI
FIS UNNES
DAN DOSEN AKPOL
SEMARANG
SUMBER : SUARA MERDEKA, 22 Maret 2012
HAMPIR tiap saat, dalam beberapa pekan
terakhir ini kita disuguhi berita merebaknya aksi demonstrasi mahasiswa dan
masyarakat yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Beberapa sikap
diperlihatkan oleh masyarakat terhadap aksi-aksi tersebut: ada yang mendukung,
ada yang apatis, dan cenderung pasrah menerima apa adanya.
Sikap kedua itu sering kita jumpai.
Masyarakat cenderung sudah bersikap masa bodoh, merasa “tidak berdaya” dengan
kondisi yang tercipta atau sengaja diciptakan oleh struktur. Sebagai orang awam
saya tak hendak memihak salah satu “aktor” yang terlibat dalam aksi unjuk rasa,
entah itu mahasiswa, anggota masyarakat, ataupun anggota polisi.
Masyarakat
Antistruktur
Boleh dikatakan masyarakat sedang berada
dalam kondisi antistruktur, atau meminjam istilah Victor Turner (1974),
“masyarakat yang liminal”, yakni suatu kondisi fase yang ambigu. Masyarakat
mengalami fase liminal, fase transisi dari harga BBM sebelum dinaikkan ke
kondisi harga BBM setelah dinaikkan.
Mereka pun “tidak merasa berada dalam kondisi
sebelumnya, juga belum merasa dalam kondisi yang baru diciptakan oleh struktur”
sehingga masyarakat menjadi antistruktur. Dalam fase inilah terjadi berbagai
kegamangan dalam bersikap dan bertindak.
Terkait dengan kondisi liminal dan
kemerebakan demo mahasiswa, dapat dianalogikan mahasiswa sebagai komunitas yang
sedang dalam fase liminal, satu kaki masih ingin menapaki harga BBM lama,
sementara satu kaki lagi dipaksa untuk menapaki harga BBM yang baru.
Kondisi tersebut memicu kebingungan dalam
menentukan pilihan. Masyarakat (yang diwakili oleh mahasiswa) merasa belum siap
melangkah ke struktur harga BBM yang baru, sementara mau tidak mau mereka sudah
harus dipaksa memasuki fase baru tersebut sehingga menimbulkan “pemberontakan
rasa”.
Dalam kondisi antistruktur itulah banyak hal
dimungkinkan terjadi, termasuk demo menyuarakan rasa, kekerasan, bahkan
anarkisme. Kalau sudah begini, maka tanggung jawab ketertiban dan keamanan ada
di pundak para polisi, yang justru juga menjadi liminal karena menjadi bagian
dari masyarakat yang antistruktur.
Anggota polisi tidak siap dengan kondisi
liminal yang dialami oleh masyarakat. Polisi selalu berlindung di balik kata
“sudah sesuai prosedur”. Hal ini bisa dipahami, karena bekal yang didapat
adalah berbagai macam aturan dan cara menangani ketertiban dan keamanan
masyarakat sesuai standar. Padahal masyarakat yang sangat dinamis terkadang tak
terprediksi tindakannya, seperti dalam kondisi antistruktur saat ini.
Hal itulah yang harus disadari oleh polisi
yang bertugas menangani unjuk rasa sehingga mereka tidak mengalami liminalitas
dan ambiguitas dalam mengambil tindakan.
Liminalitas
Polisi
Polisi sudah berusaha keras untuk menjaga
ketertiban dan keamanan dengan berpegang teguh pada standar pengamanan yang
seharusnya dilakukan. Saya hanya ingin mengajak semua pihak memahami bahwa
polisi adalah manusia biasa, mahasiswa yang demo juga manusia biasa, sehingga
sudah sangat tepat ketika banyak pihak menganjurkan saling mengendalikan diri.
Di tengah kemerebakan aksi sekarang ini,
kedua belah pihak seolah-olah “berhadapan”, saling mengklaim kebenaran. Padahal
sesungguhnya mereka sama-sama elemen masyarakat yang menyuarakan kepentingan
yang sama. Mahasiswa menyuarakan jeritan hati rakyat (berarti juga jeritan hati
polisi) yang terimpit kebutuhan hidup akibat kenaikan harga BBM. Sementara
polisi juga memikul beban tanggung jawab menertibkan dan mengamankan keadaan
masyarakat sekitar. Tak jarang polisi juga berdalih demi kemanan pengguna
jalan, demi keamanan masyarakat sekitar maka polisi “terpaksa” menggunakan
“sedikit kekerasan” dalam menangani aksi. Dua kondisi yang tentu membingungkan
dan dapat menyebabkan antistruktur!
Ketika menangani suatu aksi unjuk rasa
misalnya, polisi tidak boleh emosional, tidak boleh represif, tidak boleh
memukul. Harus selalu bersikap manis namun tegas, harus tidak tersinggung dan
sakit hati ketika dicaci-maki, harus selalu tahan uji ketika dipukul dan
dikeroyok oleh pendemo. Apakah ini keadaan yang berimbang? Masyarakat lupa
bahwa polisi juga manusia biasa yang bisa emosi, jengkel, dan mempunyai rasa
sakit. Ketika polisi membela diri misalnya dengan memukul bisa dilaporkan
sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Kondisi tersebut tentu “membingungkan” dan
membuat para polisi liminal. Liminalitas itu terjadi manakala satu kaki harus
melakukan penertiban dan pengamanan, sementara kaki yang lain harus mendukung
suara rakyat (yang juga dialaminya). Tentu ini kondisi yang sangat sulit.
Polisi harus berwatak dan berperasaan seperti baja untuk tidak cengeng, harus
bisa memisahkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Andai tidak
malu, mungkin mereka juga ingin “ikut menangis” bersama rakyat menyikapi
situasi antistruktur ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar