Kamis, 22 Maret 2012

Liminitas Unjuk Rasa BBM


Liminitas Unjuk Rasa BBM
Tri Marhaeni P.A., DOSEN JURUSAN SOSIOLOLOGI DAN ANTROPOLOGI FIS UNNES
DAN DOSEN AKPOL SEMARANG
SUMBER : SUARA MERDEKA, 22 Maret 2012



HAMPIR tiap saat, dalam beberapa pekan terakhir ini kita disuguhi berita merebaknya aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Beberapa sikap diperlihatkan oleh masyarakat terhadap aksi-aksi tersebut: ada yang mendukung, ada yang apatis, dan cenderung pasrah menerima apa adanya.

Sikap kedua itu sering kita jumpai. Masyarakat cenderung sudah bersikap masa bodoh, merasa “tidak berdaya” dengan kondisi yang tercipta atau sengaja diciptakan oleh struktur. Sebagai orang awam saya tak hendak memihak salah satu “aktor” yang terlibat dalam aksi unjuk rasa, entah itu mahasiswa, anggota masyarakat, ataupun anggota polisi.

Masyarakat Antistruktur

Boleh dikatakan masyarakat sedang berada dalam kondisi antistruktur, atau meminjam istilah Victor Turner (1974), “masyarakat yang liminal”, yakni suatu kondisi fase yang ambigu. Masyarakat mengalami fase liminal, fase transisi dari harga BBM sebelum dinaikkan ke kondisi harga BBM setelah dinaikkan.

Mereka pun “tidak merasa berada dalam kondisi sebelumnya, juga belum merasa dalam kondisi yang baru diciptakan oleh struktur” sehingga masyarakat menjadi antistruktur. Dalam fase inilah terjadi berbagai kegamangan dalam bersikap dan bertindak.

Terkait dengan kondisi liminal dan kemerebakan demo mahasiswa, dapat dianalogikan mahasiswa sebagai komunitas yang sedang dalam fase liminal, satu kaki masih ingin menapaki harga BBM lama, sementara satu kaki lagi dipaksa untuk menapaki harga BBM yang baru.

Kondisi tersebut memicu kebingungan dalam menentukan pilihan. Masyarakat (yang diwakili oleh mahasiswa) merasa belum siap melangkah ke struktur harga BBM yang baru, sementara mau tidak mau mereka sudah harus dipaksa memasuki fase baru tersebut sehingga menimbulkan “pemberontakan rasa”.

Dalam kondisi antistruktur itulah banyak hal dimungkinkan terjadi, termasuk demo menyuarakan rasa, kekerasan, bahkan anarkisme. Kalau sudah begini, maka tanggung jawab ketertiban dan keamanan ada di pundak para polisi, yang justru juga menjadi liminal karena menjadi bagian dari masyarakat yang antistruktur.

Anggota polisi tidak siap dengan kondisi liminal yang dialami oleh masyarakat. Polisi selalu berlindung di balik kata “sudah sesuai prosedur”. Hal ini bisa dipahami, karena bekal yang didapat adalah berbagai macam aturan dan cara menangani ketertiban dan keamanan masyarakat sesuai standar. Padahal masyarakat yang sangat dinamis terkadang tak terprediksi tindakannya, seperti dalam kondisi antistruktur saat ini.

Hal itulah yang harus disadari oleh polisi yang bertugas menangani unjuk rasa sehingga mereka tidak mengalami liminalitas dan ambiguitas dalam mengambil tindakan.

Liminalitas Polisi

Polisi sudah berusaha keras untuk menjaga ketertiban dan keamanan dengan berpegang teguh pada standar pengamanan yang seharusnya dilakukan. Saya hanya ingin mengajak semua pihak memahami bahwa polisi adalah manusia biasa, mahasiswa yang demo juga manusia biasa, sehingga sudah sangat tepat ketika banyak pihak menganjurkan saling mengendalikan diri.

Di tengah kemerebakan aksi sekarang ini, kedua belah pihak seolah-olah “berhadapan”, saling mengklaim kebenaran. Padahal sesungguhnya mereka sama-sama elemen masyarakat yang menyuarakan kepentingan yang sama. Mahasiswa menyuarakan jeritan hati rakyat (berarti juga jeritan hati polisi) yang terimpit kebutuhan hidup akibat kenaikan harga BBM. Sementara polisi juga memikul beban tanggung jawab menertibkan dan mengamankan keadaan masyarakat sekitar. Tak jarang polisi juga berdalih demi kemanan pengguna jalan, demi keamanan masyarakat sekitar maka polisi “terpaksa” menggunakan “sedikit kekerasan” dalam menangani aksi. Dua kondisi yang tentu membingungkan dan dapat menyebabkan antistruktur!

Ketika menangani suatu aksi unjuk rasa misalnya, polisi tidak boleh emosional, tidak boleh represif, tidak boleh memukul. Harus selalu bersikap manis namun tegas, harus tidak tersinggung dan sakit hati ketika dicaci-maki, harus selalu tahan uji ketika dipukul dan dikeroyok oleh pendemo. Apakah ini keadaan yang berimbang? Masyarakat lupa bahwa polisi juga manusia biasa yang bisa emosi, jengkel, dan mempunyai rasa sakit. Ketika polisi membela diri misalnya dengan memukul bisa dilaporkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.

Kondisi tersebut tentu “membingungkan” dan membuat para polisi liminal. Liminalitas itu terjadi manakala satu kaki harus melakukan penertiban dan pengamanan, sementara kaki yang lain harus mendukung suara rakyat (yang juga dialaminya). Tentu ini kondisi yang sangat sulit. Polisi harus berwatak dan berperasaan seperti baja untuk tidak cengeng, harus bisa memisahkan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Andai tidak malu, mungkin mereka juga ingin “ikut menangis” bersama rakyat menyikapi situasi antistruktur ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar