Senin, 12 Maret 2012

Gerakan Revolusi Biru Menuju Indonesia Baru (Bag-1)


Gerakan Revolusi Biru Menuju Indonesia Baru
( Bagian-1 )
Parni Hardi, WARTAWAN SENIOR
SUMBER : JAWA POS, 12 Maret 2012



EEEIT, jangan berpikir terlalu jauh! Ini tidak ada hubungannnya dengan gonjang-ganjing partai politik berwarna biru. Juga tidak ada kaitannya dengan revolusi yang berdarah-darah, apalagi yang melibatkan mereka yang dianggap berdarah biru.

Yang saya maksud dengan "Revolusi Biru" adalah sebuah gerakan besar secara drastis untuk mengubah mind set (pola pikir) bangsa Indonesia untuk berorientasi ke laut. Dan, inilah hasilnya: perlu lahir manusia Indonesia "baru" dengan identitas "baru", yang sadar bahwa hari depan, kemakmuran, dan kehormatannya ditentukan oleh kemampuannya mengolah kekayaan potensi sumber daya maritim yang dimiliki NKRI.

Membangun identitas manusia berarti membentuk jati diri atau karakter. Ini adalah sebuah proses "pembudayaan". Yakni, menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai dalam perilaku kehidupan sehari-hari, sehingga menjadi sebuah "kebiasaan", yang kemudian melalui transformasi menjadi sebuah "kebudayaan".

Apa kira-kira ciri-ciri orang yang berbudaya laut atau maritim? Menyadari, mencintai, peduli, dan menjadikan hal-hal yang berkaitan dengan laut sebagai bagian penting dalam kehidupan sehari-hari. Yang paling gampang, ya suka makan ikan laut dulu deh. Lalu, jenis mainan anak-anaknya perahu, kapal, olahraganya berenang, berselancar di laut, dan berlayar. Dongeng yang disampaikan sebelum tidur adalah tentang kegagahan pahlawan laut, seperti Maha Patih Gajah Mada dan Mahapati Nala. Lakon wayang kulitnya tentang kesaktian Ontoseno (anak Bima yang bisa hidup di air). Motif batik dan fashion show-nya bertema laut dan tujuan wisata utamanya ke pantai dan laut.

Kurikulum pendidikannya mengutamakan penguasaan iptek kelautan. Musik dan lirik lagunya bertema laut, kosa kata yang banyak dipakai tentang laut, lakon ketoprak, sandiwara rakyat, teater, serta filmnya bertema laut. Media massanya menyampaikan banyak informasi tentang kelautan.

Lalu, ini juga penting: pemuda ganteng dan pemudi ayu yang terpilih dalam kontes diberi gelar Abang dan None Bahari atau yang sejenis itu. Dan, satu lagi: ratu kecantikannya bergelar "Miss Marine" (bukan Nyai Roro Kidul). Yang paling penting: beri bukti mengolah laut lebih makmur daripada mengolah daratan.

Membentuk karakter baru adalah sebuah proses yang memakan waktu lama dan konsistensi, jangan gampang berubah. Wahana paling efektif untuk transformasi adalah "pendidikan", baik di keluarga, sekolah, masyarakat, maupun di tempat kerja.

Selama ini pola pikir manusia Indonesia masih terlalu "berorientasi daratan" (land-minded), mulai para penyelenggara negara (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), pengusaha, pendidik, pimpinan media massa, pemuda, dan rakyat pada umumnya.

Untuk mengubah land-mindedness, yang sudah terlalu lama berurat berakar atau karatan, menjadi sea-mindedness berarti kebijakan-kebijakan penyelenggaraan negara kita dan kurikulum pendidikan kita harus diubah secara drastis atau revolusioner. Karena itulah, saya menyukai kata revolusi. Dan, karena laut warnanya biru, istilah yang paling klop ya "Revolusi Biru" atau Blue Revolution.

Seseorang, sekelompok orang, sebuah masyarakat, dan suatu bangsa mau berubah secara cepat dan serentak umumnya jika eksistensinya terancam.

Bangsa-bangsa maju sudah lama menyadari bahwa laut adalah Lebensraum (bahasa Jerman), yang artinya ruang kehidupan manusia masa depan. Alasannya, daratan diperkirakan tidak akan lagi mampu menampung keperluan umat manusia, baik dalam suplai bahan pangan dan energi maupun tempat tinggal.

Demikian strategisnya laut, karena itu laut adalah wilayah kedaulatan penting yang diincar, diperebutkan, dan dipertahankan oleh banyak bangsa dan negara sejak dulu kala sampai saat ini. Menguasai laut, terutama selat, dari zaman dulu berarti menguasai "jalan air" sebagai jalur perdagangan yang berarti mengendalikan perekonomian dan sekaligus pertahanan dan keamanan suatu bangsa dan negara. Jadi, jangan heran, kalau kini banyak sengketa bilateral dan internasional karena teritorial laut, seperti klaim atas Ambalat dan Laut Cina Selatan.

Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok dulu selalu dipantau oleh Pangkalan AS di Filipina dan disebut sebagai three choke points (tiga titik pencekik). Artinya, ketiga selat itu harus dijaga agar tetap terbuka untuk jalur pelayaran internasional, karena banyak negara di Asia Pasifik hidup matinya bergantung pada terbukanya tiga selat itu. Laut adalah life line atau garis kehidupan suatu bangsa dan negara(-negara).

Bangsa yang jaya di masa lampau adalah bangsa yang menguasai lautan dengan teknologi pelayaran, astronomi, pembangunan kapal, dan armada perangnya. Karena itu, Kerajaan Inggris punya semboyan Britain rules the waves. (Gara-gara banyak korupsi, di Indonesia bisa dipelesetkan: Indonesia waves the rules atau Indonesia membuang aturan-aturan).

Sejarah penjajahan bangsa Eropa juga bermodalkan penguasaan atas ilmu dan teknologi kelautan, karena dilakukan lewat laut.

Kini, berkat kemajuan ilmu dan teknologi, laut menjadi semakin penting karena di dalam laut tidak hanya ditemukan ikan. Di dalamnya juga terdapat bahan-bahan tambang, terutama minyak dan gas, sumber energi lain, bahan pangan, dan obat-obatan.

Kerajaan-kerajaan besar Indonesia dulu juga unggul menguasai lautan. Sriwijaya di Sumatera dan Majapahit di Jawa adalah dua imperium yang dihormati di luar Nusantara. Setelah itu, muncul Samudera Pasai di Aceh, Demak di Jawa, Gowa di Sulawesi, dan beberapa kerajaan mini sebagai penerus kedua imperium tersebut.

Tetapi, mereka kalah bersaing dengan bangsa-bangsa Eropa yang bergerak ke Nusantara untuk mencari rempah-rempah. Kapal bangsa Eropa lebih besar dengan tiang layar yang lebih tinggi dan layar yang lebih lebar, sehingga bisa melaju lebih cepat dan mengalahkan armada kerajaan-kerajaan di Nusantara. Ini dilukiskan dengan cantik, menarik, cerdas, dan lugas oleh sastrawan besar Indonesia Pramudya Ananta Toer (alm) dalam novel sejarahnya Arus Balik.

Kekalahan Kerajaan Demak dari armada laut Eropa yang menguasai Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Jawa, dan alur pelayaran Kepulauan Maluku untuk mencari rempah-rempah, menyebabkan pusat kerajaan pindah dari pantai ke pedalaman. Kita terdesak. Pertama ke Pajang, dekat Kota Solo, lalu ke hutan Mentaok, yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Mataram (Jogjakarta sekarang).

Nah, Raja Mataram pertama, Panembahan Senopati, konon dibantu Ratu Nyai Roro Kidul, penguasa Laut Selatan (Samudera Hindia), yang kemudian menjadi istri gaibnya dan juga raja-raja keturunannya. Karena beristri penguasa laut, mestinya Mataram berjaya di lautan. Tapi, armada Sultan Agung gagal dalam mengusir Kumpeni Belanda di bawah Jan Pieter Coen di Batavia.

Yang muncul justru mitos, kalau ke Laut Selatan jangan mengenakan pakaian hijau pupus karena menyaingi busana Nyai Ratu. Siapa yang melanggar bisa mati tenggelam di laut. Untung, TNI-AL seragamnya kok tidak hijau pupus, ya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar