Sabtu, 03 Maret 2012

Efektifkan Penjara Koruptor


Efektifkan Penjara Koruptor
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR INDONESIA CORRUPTION WATCH (ICW)
SUMBER : SINDO, 3 MARET 2012



Setelah lama tak mendapat sinyal hijau dari DPR, keinginan KPK untuk memiliki rutan sendiri terjawab sudah. Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin telah memberikan persetujuan atas permintaan KPK untuk memiliki rumah tahanan di Kantor KPK.Kehadiran rutan KPK merupakan tindak lanjut atas nota kesepahaman yang ditandatangani Menkum HAM dan Ketua KPK.

SK persetujuan pembangunan rutan cabang KPK ini bernomor M.HH-01.OT.01.01,tanggal 11 Januari 2012. Dengan memiliki penjara sendiri,KPK tidak akan bergantung pada lembaga penegak hukum lain seperti kepolisian untuk menempatkan tahanan KPK selama menjalani proses hukum.

Dengan rutan khusus milik KPK, agenda penegakan hukum kasus korupsi diharapkan tidak akan menghadapi banyak hambatan dan rintangan. Pertanyaannya, apakah dengan rutan yang dikelola KPK sendiri agenda penindakan kasus korupsi akan lebih efektif? Atau dengan bahasa lain, mungkinkah muncul efek jera apabila KPK sudah bisa menahan para tersangka korupsi di rutannya sendiri?

Meredam Efek Negatif

Barangkali dengan rutan yang dikelola dan dikendalikan langsung oleh KPK beberapa hal yang tidak diinginkan dapat dihindari. Salah satunya menghilangkan peluang bagi tersangka korupsi untuk menghirup udara bebas selama masa penahanan di mana hal itu sudah beberapa kali terjadi dalam kasus tersangka korupsi yang ditahan di rutan milik Polri.

Kontrol atas keluar-masuk para tersangka korupsi yang kasusnya ditangani KPK akan lebih maksimal. KPK juga dapat mengeliminasi kesempatan tersangka untuk berhubungan dengan pihak lain melalui alat komunikasi canggih seperti ponsel dan sejenisnya selama proses hukum sebagaimana kerap dilakukan ketika mereka dititipkan di tahanan milik Polri.

Kemungkinan praktik suap-menyuap antara petugas penjara dan tersangka atau pihak lain yang berkepentingan juga dapat dihindari jika KPK mengelola sendiri rumah tahanan tersebut. Salah satu hal yang terpenting, KPK dapat mengendalikan situasi apabila pada beberapa kasus korupsi yang melibatkan kekuatan ekonomi politik besar terjadi ancaman pembunuhan terhadap tersangka yang juga merupakan saksi kunci.

Rosalina Manulang, terpidana kasus Wisma Atlet, adalah contoh paling anyar pihak terkait kasus korupsi yang menerima ancaman pembunuhan.Sangat mungkin dalam kasus korupsi lain juga ada tersangka atau saksi kunci yang diteror, namun tidak diketahui oleh publik.

Lemahnya Politik Penegakan Hukum

Sebagaimana kita ketahui, tujuan dari penegakan hukum atas kasus korupsi adalah timbulnya efek jera.Efek jera diperlukan untuk menekan angka korupsi pada level yang minimum. Efek jera penting untuk mengontrol kejahatan korupsi supaya tidak berkembang menjadi tindak pidana yang bersifat sistemik. Penegakan hukum tanpa efek jera akan menciptakan situasi yang kondusif bagi pelakunya untuk terus korupsi.

Demikian pula, ongkos atau biaya untuk memberantas korupsi akan menjadi lebih mahal daripada hasil yang dicapai. Salah satu faktor yang dapat membuat orang berpikir dua kali untuk melakukan korupsi adalah ketika penegakan hukum dibuat tegas dan keras. Masalahnya, integritas penegak hukumlah yang justru membuat efek jera dalam penegakan hukum kasus korupsi menjadi lemah.

Keterlibatan aparat penegak hukum dalam berbagai praktik korupsi menjadikan fungsi penindakan menjadi tidak berjalan. Karena korupnya penegak hukum, berbagai kasus korupsi yang ditangani mereka bahkan sering berujung SP3, dipetieskan, atau bahkan berakhir ‘damai’. Kehadiran KPK selama ini diharapkan dapat menjadi pemicu perbaikan pada integritas penegak hukum secara umum sehingga proses hukum akan berjalan lebih efektif.

Tetapi, penegakan hukum KPK harus diakui belum maksimal. Terutama jika dilihat dari ratarata tingkat tuntutan yang diajukan jaksa KPK terhadap para terdakwa korupsi. Berkaca pada beberapa tuntutan kasus korupsi terakhir, tingkat tuntutan kasus korupsi jaksa KPK bahkan kian menurun.

Karena itu, tidak heran jika rata-rata putusan Pengadilan Tipikor atas kasus korupsi yang diajukan KPK hanya berkisar 4,4 tahun vonis penjara pada 2009 dan 2010. Membandingkan kasus kriminal (street crimes) lain seperti pencurian sandal jepit, pencurian buah cokelat, dan berbagai kejahatan jalanan yang dipicu oleh kemiskinan dan kelaparan, tuntutan dan vonis kasus korupsi terasa menyakitkan.

Dalam kasus Aal misalnya, ia dituntut oleh JPU lima tahun penjara gara-gara hanya mencuri sandal jepit milik seorang anggota Polri. Meskipun hakim pada akhirnya memutuskan untuk mengembalikan Aal yang masih anak-anak ke orang tuanya, cara pandang jaksa dalam melihat kejahatan atau tindak pidana terasa sangat tidak adil.

Karena dalam kasus pidana lain seperti kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi,JPU hanya memberikan tuntutan yang ringan.Misalnya terdakwa Amrun Daulay, anggota DPR dari Demokrat yang terlibat kasus korupsi saat dirinya menjabat sebagai Dirjen Bantuan dan Jaminan Sosial Depsos, yang hanya dituntut dua tahun enam bulan oleh jaksa KPK.

Pendek kata, kehadiran rutan milik KPK tidak akan banyak membawa angin segar bagi timbulnya efek jera kepada pelaku korupsi sepanjang KPK tidak melakukan perbaikan atas semua tuntutan terhadap terdakwa korupsi.Memaksimalkan tuntutan kepada terdakwa korupsi sebagaimana UU Tipikor telah atur bukanlah hal yang dilarang atau tabu.

Sebaliknya, itu sangat diharapkan untuk meningkatkan efek jera bagi para pelakunya. Jika Kementerian Hukum dan HAM harus berhadapan dengan ancaman interpelasi dari DPR gara-gara mencabut pemberian remisi bagi koruptor,

KPK seharusnya menjadi garda terdepan dalam mengunci semua peluang bagi pelaku korupsi untuk menikmati hasil kejahatannya dan memastikan mereka mendekam lebih lama di penjara.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar