Selasa, 06 Maret 2012

Dilema Kenaikan BBM


Dilema Kenaikan BBM
Ichsanuddin Noorsy, EKONOM SENIOR,
DEKLARATOR ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA (AEPI)    
SUMBER : SINDO, 6 Maret 2012



Masyarakat Indonesia kembali disibukkan oleh keinginan pemerintah menaikkan harga BBM. Jika penurunan harga BBM menjelang Pemilu 2009 diklaim sebagai keberhasilan penguasa, kenaikan harga komoditas hajat hidup orang banyak kali ini disebabkan oleh, kata Pemerintah, kenaikan harga minyak internasional dan subsidi salah sasaran bersamaan dengan penurunan produksi minyak mentah nasional.

Harga minyak internasional saat ini mencapai USD110 per barel, sedangkan APBN 2012 menetapkan asumsi harga Indonesia crude price (ICP) sebesar USD90 per barel. Saya tidak mengerti bagaimana pemerintah dan Badan Anggaran DPR serta rapat paripurna DPR bisa menyepakati hal sensitif ini. Sejak saya di DPR dulu, istilah asumsi itu saya tolak dan saya usulkan dengan sangat agar menggunakan istilah target atau prediksi. Karena yang menargetkan pemerintah, bagi saya, kegagalan mencapai hal itu merupakan bagian dari kegagalan membuat perencanaan.

Jika gagal membuat perencanaan, logika menyatakan bahwa sebagian besar pelaksanaan kegiatan dari perencanaan yang gagal itu pun tidak akan mencapai sasaran. Alasan ini yang mendorong saya memaksa agar diberikan minderheidsnota (catatan khusus) pada UU APBN terhadap semua asumsi makro, termasuk harga minyak, nilai tukar, dan produksinya. Usul saya tentang catatan khusus itu seketika ditentang oleh Fraksi TNI/Polri dan Fraksi Golkar.

Sambil mengerubungi saya, mereka bertanya, “Tahu tidak akibat minderheidsnota? Jika memang asumsi itu tidak tercapai, catatan khusus itu akan mendorong lahirnya mosi tidak percaya parlemen terhadap kabinet.” Dengan ringan saya menjawab, “Tentu saja saya tahu. Minderheidsnota adalah bukti bahwa pengusul dan perancang APBN bertahan atas pemikiran dan prediksinya dengan berbagai alasan dan tidak tercapai.

Jadi, walau hak anggaran itu ada pada DPR, dalam praktik justru Dewan nyaris didikte oleh pemerintah karena kelemahan Dewan dalam masalah keahlian, data, dan informasi.” Dalam kondisi sekarang, posisi itu tidak banyak berubah. Sebagaimana kritik saya tentang kelemahan pemerintah dan DPR membaca dinamika ekonomi politik internasional, khususnya ekonomi politik Timur Tengah.

Hal itu terus terjadi. Dampak kelemahan itu adalah kesalahan menetapkan target harga minyak internasional dan nilai tukar. Padahal Barat, khususnya AS, dalam memainkan posisi sebagai satu-satunya adikuasa selalu menggunakan instrumen harga minyak, perang militer lokal dan regional, dan fluktuasi nilai tukar sehingga memengaruhi inflasi dan pemberitaan media massa Barat.

Bisa jadi lebih rendahnya penetapan harga minyak itu merupakan modus operandi guna mendapatkan pembenaran subsidi yang membengkak. Dengan menggunakan alasan subsidi itu membengkak dan sebagian besar dinikmati orang kaya, subsidi pada harga barang patut diubah yakni menaikkan harga BBM sehingga sesuai dengan hukum penawaran permintaan (mekanisme pasar bebas).

Menurut UU APBN 2012 Pasal 7 ayat (6),pemerintah menetapkan tidak menaikkan harga BBM. Dengan kuota subsidi sebanyak 40 juta kilo liter dan dari jumlah itu 2,5 juta kilo liter tidak dicairkan,harga BBM tidak dinaikkan. Masyarakat diminta untuk menggunakan gas yang converter kitnya seharga     Rp 9-15 juta per unit dan harus diimpor. Sementara SPBG-nya harus disiapkan.

Karena converter kit yang mahal dan SPBG tidak siap, pemerintah kemudian beralih gagas menjadi menaikkan harga BBM. Konsekuensinya, UU APBN 2012 harus diubah karena harga minyak internasional USD110 per barel sehingga tidak sesuai lagi dengan target ICP.

Alasan ini membutuhkan penjelasan tentang neraca BBM (banyaknya ekspor-impor untuk minyak mentah dan olahan) yang berdampak pada belanja dan pendapatan APBN. Namun, alasan ini pun sulit diterima karena di satu sisi pemerintah menerapkan harga belanja minyak internasional, dan di sisi lain pemerintah tidak menerapkan, tepatnya tidak memiliki strategi bagaimana masyarakat mempunyai pendapatan internasional.

Komitmen

Lebih tidak logis lagi jika merujuk pada Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang menetapkan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,dan kekayaan alam digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Sementara pemerintah sudah terikat pada program reformasi sektor energi yang dijanjikan kepada IMF melalui Letter of Intend, kepada USAID, Bank Dunia, dan ADB melalui Loan Agreement.

Sekjen OECD Angel Guria pada 1 November 2010 saat menjumpai petinggi Indonesia menyatakan, sudah saatnya Indonesia memenuhi komitmen dan meninggalkan mekanisme subsidi yang tidak efisien, terutama subsidi energi, dan lebih fokus pada program untuk memenuhi target pertumbuhan ekonomi jangka menengah sekaligus mengurangi kemiskinan.

Guria bahkan menegaskan dengan pertumbuhan ekonomi ketiga tertinggi pada G-20, Indonesia layak memenuhi komitmennya untuk mencabut subsidi BBM. Lebih jauh mengenai subsidi, menarik juga melihat besaran dana yang dikeluarkan pemerintah dalam membayar utang. Pada 2009 Indonesia membayar utang Rp161,83 triliun, lalu Rp142,5 triliun (2010), serta Rp154,4 triliun (2011).

Sementara pada 2009 subsidi energi Indonesia Rp94,59 triliun, lalu Rp139,95 triliun (2010), serta Rp195,28 triliun (2011). Yang perlu dicatat, pembayaran bunga itu karena pemerintah menjual bunga obligasi yang lebih tinggi dibanding BI Rate. Untuk Global Mutual Fund bermata uang USD, obligasi pemerintah bahkan dijual dengan imbal hasil 10,5% untuk tenor lima tahun dan 11,75% untuk tenor 10 tahun.

Padahal saat yang sama Fed Rate hanya 0,25%. Bayangkan, siapa sebenarnya yang sedang disubsidi pemerintah melalui penjualan obligasi seperti ini? Mana yang lebih besar, menyubsidi bangsa sendiri melalui harga BBM atau menyubsidi orangorang kaya karena imbal hasil obligasi yang, mengutip pernyataan Anwar Nasution, na’udzu billah min dzalik saking tingginya imbal hasil itu.

Itulah dilema kenaikan harga minyak. Tunduk pada konstitusi atau patuh pada dikte asing. Menyubsidi bangsa sendiri melalui harga BBM atau menyubsidi orang kaya di Washington dan domestik melalui imbal hasil obligasi yang tinggi. Belum lagi kalau kita pun menghitung pemerintah membeli kembali obligasi. Maka jelas lebih tinggi membayar bunga dan cicilan utang ketimbang membiayai subsidi energi dan nonenergi. Di sini muncul persoalan, kepada siapa sebenarnya pemerintah berpihak?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar