Kamis, 15 Maret 2012

Apa yang Tidak Bisa dengan Pembuktian Terbalik?

Apa yang Tidak Bisa
dengan Pembuktian Terbalik?
Romli Atmasasmita, GURU BESAR EMERITUS; ANGGOTA DEWAN PAKAR PARTAI NASDEM
SUMBER : SINDO, 15 Maret 2012



Pertanyaan di atas provokatif tentu bagi pihakpihak yang paham hukum karena praktik pemberantasan korupsi dengan pembuktian terbalik melalui UU RI Nomor 8 Tahun 2010 Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sejak pembentukan PPATK terbukti mandul.

Keberadaan dua undangundang strategis (UU RI Nomor 31 Tahun 1999 diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 dan UU RI Nomor 8 Tahun 2010) bukan sekadar pencitraan, melainkan juga sungguh-sungguh telah diperhitungkan bahwa korupsi intinya perampokan harta kekayaan negara dan hanya dapat dibongkar tuntas melalui UU Pencucian Uang dengan memberlakukan ketentuan pembuktian terbalik. Mengapa? Karena UU Pencucian Uang dapat menelusuri aliran dana hasil korupsi dilanjutkan dengan pemblokiran dan pembekuan aset tersebut sampai kepada terdakwa harus membuktikan sendiri asal-asal harta kekayaan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi.

Rangkaian proses hukum melalui UU Pencucian Uang bukan persoalan mudah dan sangat menghabiskan waktu lama. Agar tujuan ketentuan pembuktian terbalik tuntas diterapkan, perlu diketahui benar dengan bukti yang sah bahwa harta kekayaan terdakwa benar berasal dari korupsi atau sebagian juga berasal dari penghasilannya yang sah. Tenggat waktu yang cukup dan teknik penyelidikan dan penyidikan yang bersifat “hightech” hanya dapat memberikan hasil optimal dan kebenaran materil mengenai asal-usul harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi.

Proses itu tidak asal tebak atau asumsi dan dugaan saja ada keterkaitan dengan korupsi seperti yang sering dilontarkan aparat penegak hukum atau orang awam. Contohnya pada kasus Dhana,pegawai pajak.Sampai saat ini Kejaksaan Agung masih belum dapat memastikan asalusul hartanya sebanyak Rp60 miliar yang menurut dugaan berasal dari penyimpangan UU Perpajakan. Dalam kasus Dhana, Kejaksaan Agung merupakan tumpuan harapan masyarakat luas yang dapat menuntaskannya secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Kehati-hatian

Setiap Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK yang kini telah disebarluaskan kepada anggota DPR RI dan termasuk transaksi keuangan mencurigakan (TKM) dan berindikasi pidana wajib ditindaklanjuti baik oleh kepolisian, kejaksaan, maupun KPK jika diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Sebelum sampai pada penerapan ketentuan pembuktian terbalik aparatur penegak hukum harus ekstrahati-hati melaksanakan tugas dan wewenang sesuai undang-undang, menelusuri asal usul harta kekayaan setiap orang atau korporasi yang diduga berasal dari kejahatan (korupsi). Jika tidak, akan berujung skandal dan bebasnya terdakwa beserta harta kekayaannya, terlepas dari jangkauan hukum.

Seyogianya PPATK tidak selalu didorong, apalagi ditekan untuk segera melaporkan hasil analisisnya kepada DPR atau lembaga penegak hukum sebelum hasil analisis diuji dan direviu berkali-kali termasuk dengan bantuan para ahli forensik keuangan,ahli hukum pidana,dan ahli keuangan atau ahli hukum perbankan. Hal penting kedua,yang juga diatur dalam UU Pencucian Uang adalah kerahasiaan informasi dan identitas pelapor transaksi keuangan mencurigakan dari lembaga penyedia jasa keuangan bank dan nonbank.

Kunci keberhasilan pemberantasan korupsi dan kejahatan lain melalui pembuktian terbalik sangat bergantung pada integritas dan kredibilitas pegawai PPATK dan penegak hukum dalam merahasiakan informasi tersebut. Tanpa kedua unsur tersebut (integritas dan kredibilitas), dapat dipastikan keberadaan UU Pencucian Uang dan UU Antikorupsi menjadi kontra produktif bagi iklim perbankan dan keuangan terutama di dalam negeri.

Kita bisa mencontoh ketatnya penegak hukum dan lembaga keuangan Singapura dalam informasi keuangan nasabah, sekalipun ada kecurigaan transaksi keuangan dalam perbankannya dari financial intelligence unit (FIU) di semua negara. Pembuktian pencucian uang melalui pembuktian terbalik di beberapa negara maju masih “diharamkan” dengan berbagai pertimbangan antara lain merupakan bentuk pelanggaran hak asasi seseorang. Secara teoritik penolakan pembuktian terbalik telah dapat diatasi dengan teori “balanced probability principle” (teori pembuktian keseimbangan kemungkinan).

Konsep ini menempatkan harta kekayaan seseorang dalam posisi terbawah pada lini hak asasi manusia yaitu berlaku asas praduga bersalah (presumption of guilt). Sedangkan kesalahan seseorang menguasai harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi teratas pada lini hak asasi manusia dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Teori ini menegaskan bahwa, sekecil apa pun nilai harta kekayaan seseorang hanya orang yang bersangkutan yang mengetahui asal-usulnya bukan negara (penuntut umum).

Secara hukum, ketentuan pembuktian terbalik telah diatur dalam UU RI Nomor 31 Tahun 1999 dan UU RI Nomor 8 Tahun 2010.Sayangnya, keberhasilan kedua UU tersebut di atas masih jauh di bawah ratarata negara maju dan khususnya Hong Kong dan China. Bagi Indonesia yang tertinggal hanyalah komitmen politik pemerintah dan DPR RI serta integritas dan kapabilitas aparatur penegak hukum untuk menuntaskan kasus korupsi melalui pembuktian terbalik dalam UU Pencucian Uang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar