Kamis, 12 Januari 2012

Wajah Hukum di Balik Sandal Jepit

Wajah Hukum di Balik Sandal Jepit
Marwan Ja’far,  KETUA FRAKSI PKB DPR RI
Sumber : SINDO, 12 Januari 2012



Masyarakat kembali terperanjat hari-hari belakangan ini.Seorang anak di bawah umur berinisial AAL,15,diinterogasi polisi serta diseret ke pengadilan di Palu gara- gara dituduh mencuri sandal jepitmilikduaanggotaKepolisian Daerah Sulawesi Tengah.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palu, Sulawesi Tengah memvonis terdakwa pencurian sandal jepit tersebut bersalah melakukan perbuatan pidana. Tak hanya di dalam negeri kasus ini menyengatkan hawa panas,di mancanegara pun kasus ini mendapat perhatian ratusan media massa besar seperti BBC,CNN,ABC News,Voice of America,NewYork Times,dan lainnya.Sampai-sampai ada seloroh dari masyarakat, ”Wah, hebat Indonesia mendunia cukup gara-gara sandal jepit.

” Di dalam negeri, kita saksikan aksi solidaritas masyarakat dengan pengumpulan sandal jepit bermunculan.Ini mengingatkan kasus Prita Mulyasari yang mengundang aksi solidaritas berbentuk sejuta koin untuk Prita. Sebelumnya kitajugadikejutkan oleh kasus Nenek Minah,55, yangdiseretke depanmejahijau di Banyumas hanya karena mengambil tiga buah kakao seberat 3 kilogram seharga Rp30.000.Ia diancam hukuman enam bulan penjara dan divonis hukuman tiga bulan percobaan. Dan masih ada beberapa kasus yang mendera rakyat kecil lainnya yang menyentak masyarakat dan dunia hukum kita. Hukum terlihat secara kasatmata “tajam ke bawah, tumpul di atas”.

Pembenahan Sistem Hukum

Semangat para penegak hukum dalam mengadili kasus-kasus kelas sandal jepit tersebut rasanya sungguh mencengangkan sekaligus melengkapi tragedi dunia hukum di republik ini. Sementara para koruptor yang terbukti memiskinkan jutaan rakyat tak berdosa bisa bebas berkeliaran tanpa bisa tersentuh hukum.Beberapa kasus korupsi yang tengah diproses Komisi Pemberantasan Korupsi pun hanya berputar-putar atau jalan di tempat.

Tak heran bila masyarakat merasakan pesimisme bahwa lembaga yudikatif dalam menegakkan keadilan serta memperlakukan setiap orang sama di depan hukum. Fakta-fakta yang muncul membuktikan hal-hal yang sebaliknya. Alih-alih memberi rasa keadilan kepada kaum lemah dan teraniaya, sidang-sidang pengadilan yang berlangsung justru lebih menikam jantung para pencari keadilan serta membunuh harapan terakhir mereka. Berkali-kali kita menyaksikan betapa supremasi hukum ditegakkan begitu perkasa dan angkuhnya jika menghadapi kasus remeh-temeh yang melibatkan mereka yang tanpa daya.

Dunia hukum pun beralih rupa menjadi tak ubahnya monster keji pemangsa rasa keadilan dan hati nurani rakyat.Padahal,umum diyakini bahwa hukum adalah norma, aturan yang bertujuan menciptakan keadilan.Hukum adalah jiwa yang bisa dirasakan makna keadilan. Bila menilik secara hukum positif di Indonesia, sanksi terhadap anak-anak yang melakukan kejahatan merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pada Kitab Undang-undang Hukum AcaraPidana(KUHAP) Pasal45 dinyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan orang dewasa sama dengan yang dilakukan anak.

Karena itu, penyidikannya mengikuti penyidikan orang dewasa sebagaimana yang diatur jika tersangka khawatir melarikan diri, menghilangkan barang bukti, mengurangi tindak pidana, dan ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Jika kriteria tersebut dipenuhi, tindakan penahanan dianggap sah. Hal yang masih mengganjal secara hukum,menyangkut definisi anak,tampaknya sampai sekarang belum ada ketentuan pasti.Batasan umur anak di bawah umur juga berbeda-beda. Pasal 45 KUHAP menentukan 16 tahun.Pasal 283 KUHP menentukan 17 tahun,Pasal 287- 293 menentukan 15 tahun. Sedangkan dalam UU Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1979, anak-anak adalah mereka yang belum berusia mencapai 21 tahun.

Sementara itu,kasus seperti ini memberi pelajaran berharga bagi publik bahwa hukum dan pengadilan negara itu amat esoterik.Artinya,hukum masih hanya dapat dipahami profesional di bidang hukum. Logika awam tampaknya tak mencukupi untuk memahami bahasa,istilah, konsep, dan berbagai doktrin hukum positif yang berlaku di dunia pengadilan.Ketika kedua logika itu berada dalam jurang pemisah,kekecewaan publik akan muncul dalam berbagai bentuk, baik halus maupun dengan kekerasan.

Di situlah semestinya ada kesadaran bagi semua profesional hukum untuk mempersempit jurang pemisah logika hukum tersebut. Memang kasus sandal jepit ini menjadi murni ditilik dari segi hukum karena Indonesia hanya mengenal satu sistem hukum pidana. Perkara pidana akan ditangani polisi dan jaksa kemudian bermuara pada pengadilan. Berbeda yang berlaku misalnya di Timur Tengah. Di satu sisi, ada sanksi kejam misalnya potong tangan, namun ada pemberlakuan mekanisme maaf melalui lembaga pemaafan. Sedangkan yang berlaku di negeri kita mempunyai akibat secara yuridis-normatif bahwa perkara pidana sekecil apa pun harus tetap diproses di pengadilan, termasuk pencurian sandal jepit.

Selaras itu, menimbulkan pertanyaan apakah hukum pidana yang berfungsi untuk mencari kebenaran yang materiil, yaitu mencari kebenaran yang sebenar-benarnya, akan memberikan rasa adil baik kepada pelaku ataupun pihak lain? Hal inilah yang sangat mengusik rasa keadilan masyarakat, karena aparat terlalu bertindak legalistik. Di luar konteks teknis hukum, kasus pencurian sandal jepit juga menjadi salah satu bukti mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Sistem Peradilan Anak.

Melalui RUU Sistem Peradilan Anak, anak-anak yang tersangkut hukum seharusnya tidak dijebloskan ke penjara. Pelajaran berharga utama dari kasus ini kiranya adalah perlunya pembenahan terhadap sistem peradilan pidana. Profesional hukum (polisi, jaksa, hakim, dan pengacara) bekerjaberdasarkansistemitu, padahal kewenangan masing-masing berpotensi besar berbenturan dengan keinginan publik. Indonesia perlu mengubah sistem hukum itu menjadi social justice system.

Apabila sistem ini terbangun, semua kekuatan publik dan profesional hukum dapat berangkulan dalam satu panggung penegakan hukum sehingga logika publik dan logika hukum positif dapat dipertemukan. Hal ini dalam rangka mewujudkan apa yang termaktub dalam sila kelima Pancasila,yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar