Rabu, 18 Januari 2012

Proyek Kekerasan Berbasis Identitas


Proyek Kekerasan Berbasis Identitas
Triyono Lukmantoro, DOSEN FISIP UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
Sumber : SINAR HARAPAN, 17 Januari 2012


Penembakan yang dijalankan orang-orang tak dikenal terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tiga warga dari Jawa Tengah telah menjadi korbannya.

Ketiga korban di simpang Aneuk Galong, Suka Makmur, Aceh Besar, itu adalah Gunoko dan Sotiku Anas, warga Demak; serta Agus Suwignyo, warga Grobogan.
Gunoko pada akhirnya meninggal. Jenazahnya telah dimakamkan di tanah kelahirannya, Dusun Donoloyo RT 7 RW 3 Desa Donorejo Kecamatan Karangtengah, Demak, Sabtu (7/1) sekitar pukul 23.00.

Menurut pihak kepolisian, penembakan yang terjadi pada lima kasus dalam dua bulan terakhir memiliki pola-pola serupa. Pelaku menggunakan senjata AK-47. Sasarannya ialah warga pendatang beretnis Jawa.

Motif penembakan tersebut masih gelap. Hanya saja Kapolri Jenderal Timur Pradopo menduga kasus itu akibat kecemburuan sosial. Namun, para aktivis organisasi non-pemerintah meyakini kasus-kasus itu bermotif politik, terutama menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada) pada 2012.

Fenomena yang menarik ditelaah adalah jika pihak pemerintah (dalam kaitan ini juga kepolisian) pada awalnya menolak kekerasan di Aceh adalah karena masalah pilkada, tapi dalam waktu berikutnya pemerintah berkata sebaliknya.

Dalam pernyataannya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan kekerasan yang terjadi di Aceh memang berkaitan erat dengan pilkada.

Pernyataan yang tidak jelas dari awal semacam ini tentu saja menimbulkan berbagai dugaan. Salah satu dugaan itu adalah pemerintah memang sengaja menutup-nutupi ketidakbecusannya dalam mengelola pilkada di wilayah Serambi Mekah tersebut.  

Apa pun pernyataan pemerintah yang memperlihatkan sikap kebimbangan itu, muncul sejumlah pertanyaan yang dapat dikemukakan untuk menilai peristiwa tragis tersebut.
Mengapa kejadian penembakan itu terjadi menjelang pilkada? Kenapa pihak-pihak yang menjadi korban adalah warga yang beretnis Jawa? Kalau kalangan pelaku penembakan itu bersenjata AK-47, bukankah pihak kepolisian secara implisit mengarahkan dugaan bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di balik kasus-kasus keji itu? Apakah ini semua skenario untuk menjadikan Aceh sebagai proyek kekerasan yang menguntungkan pihak tertentu? 

Tragedi Kemanusiaan

Semua pertanyaan itu hanya menghasilkan prasangka. Di situlah komunikasi politik terhenti karena klarifikasi yang diberikan pihak pemerintah pusat maupun pemerintah daerah tampaknya saling bertentangan.

Simaklah bagaimana Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf menyatakan kekerasan yang terjadi di daerahnya tidak berkaitan dengan persoalan pilkada. Hal yang lebih ironis adalah pihak kepolisian yang memiliki otoritas resmi dan memonopoli keamanan belum mampu meringkus para pelaku penembakan. 

Namun, persoalan yang pasti adalah kekerasan berbasis identitas telah terjadi di Aceh. Sebagai kejadian yang bermuatan tragedi kemanusiaan, pesan yang hendak ditegaskan pada peristiwa itu adalah etnis Jawa sebagai warga pendatang menjadi sasaran penembakan.

Logika berikutnya yang dapat dimengerti adalah para pelakunya merupakan penduduk asli, yakni warga Aceh yang tidak senang dengan keberadaan warga Jawa. Namun, logika itu boleh jadi sangat keliru dan sekadar upaya untuk mengacaukan ketenteraman warga di sana.

Selama penerapan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, ada pemahaman TNI identik dengan suku Jawa. Karena itu, urai Linda Christanty (Berdamai dari Bawah, 2011), Hasan Tiro pun menjalankan perlawanan terhadap “kolonialisme Jawa”.

Apakah kedamaian yang tercipta di Aceh sejak 2005 tidak bisa melenyapkan paham tentang kolonialisme itu? Kalau paham itu sengaja dimunculkan lagi, siapakah yang diuntungkan? Jawabannya adalah pihak-pihak tertentu yang mampu bermain kembali dengan mengerahkan proyek kekerasan berbasis identitas etnis.

Proyek kekerasan itu mampu memberikan keuntungan secara finansial dengan berdalih pada penciptaan keamanan dan memantapkan kedamaian, ataupun dalih terselubung lainnya.

Proyek kekerasan berbasis identitas itu dapat dijalankan pihak mana pun. Jika proyek kekerasan itu berasal dari atas (negara), aparat keamanan memiliki pembenaran untuk menguasai kembali wilayah itu. Di sini proyek kekerasan dapat mengatasnamakan pemulihan keamanan dan penciptaan ketertiban.

Apabila proyek kekerasan itu berasal dari bawah (masyarakat), tujuan yang dapat diduga adalah penembakan yang terjadi secara misterius itu memang untuk menunda jalannya proses pilkada sehingga berbagai agenda politik yang selama ini belum dapat terealisasikan akan diakomodasi pihak penyelenggara pilkada.

Hanya saja, persoalan yang dapat diberikan penegasan adalah dalam setiap konflik, problem identitas (baik yang berlandaskan pada etnisititas maupun religiositas) dengan mudah bisa dimainkan.

Identitas, demikian Kath Woodward (Understanding Identity, 2002) menjelaskan, mampu memberikan tawaran sebuah cara berpikir yang menghubungkan antara sisi yang personal dan sisi yang sosial.

Identitas adalah tempat pertemuan antara aspek psikologis dan sosial. Identitas merupakan pembentukan dan lokasi psikososial. Selain itu, identitas berbicara tentang perbedaan. Identitas menjadi penandaan yang begitu sempurna antara “kita” melawan “mereka”. Hal itu mudah dijalankan, terlebih lagi pada masa peperangan yang melibatkan tindakan konfliktual.

Menciptakan Demarkasi

Dengan memainkan kekerasan berbasis identitas etnis itu, bergulirlah paham bahwa etnis Jawa masih dimusuhi etnis Aceh. Siapa pun pelaku penembakan itu berhasrat menciptakan demarkasi dan adu domba antara “kita” versus “mereka”.

Melalui cara berpikir ini, “kita” berkeinginan meletupkan identifikasi sebagai warga setempat yang terjajah, dimiskinkan, dan disingkirkan. Sementara itu, “mereka” difantasikan sebagai kalangan pendatang yang menjajah, melakukan pemiskinan, dan menjalankan penyingkiran. Semua dapat berjalan rapi jika merujuk pada masa silam.

Siapa pun pihak yang sengaja melakukan proyek kekerasan berbasis identitas di Aceh pada dasarnya memungkiri tindakan politik. Filosof Hannah Arendt (1906-1975), seperti diuraikan Karin A Fry (Arendt: A Guide for the Perplexed, 2009), menyatakan kekerasan berlawanan dengan kebebasan.

Kekerasan yang dilakukan mereka yang berada dalam pemerintahan menggulirkan pemaksaan yang pada akhirnya menindas kebebasan.

Tidak seperti lazimnya tindakan politik, kekerasan itu bisu karena membungkam pertukaran gagasan serta digunakan untuk mencapai tujuan dengan paksaan. Penggunaan kekerasan, seperti termaktub di dalamnya, tidak mampu diprediksi dan berbahaya karena tidak pernah bisa menjamin hasil yang diharapkan.

Jadi, siapa pun yang sengaja memainkan proyek kekerasan berbasis identitas (atas nama suku maupun agama) di Aceh (atau di wilayah mana pun) dengan dalih menciptakan tertib sosial dan kedamaian, atau agenda politik lainnya, pastilah akan menuai kegagalan.

Terkecuali jika kekerasan itu memang secara sengaja dijadikan proyek menangguk keuntungan finansial dan memainkan petualangan politik yang mengarah pada penciptaan kekacauan. Pihak-pihak semacam itu telah memunggungi arti penting perdamaian dan mengoperasikan kebrutalan terhadap sesama manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar