Rabu, 18 Januari 2012

Pro dan Kontra Revisi UUPA


Pro dan Kontra Revisi UUPA
Bambang Sadono, DOSEN HUKUM AGRARIA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEMARANG (USM)
Sumber : SUARA MERDEKA, 18 Januari 2012


DI tengah merebaknya konflik pertanahan di berbagai daerah, dari sudut hukum muncul berbagai pertanyaan, antara lain: di mana letak kesalahannya. Apakah peraturan hukumnya tidak memadai, atau penegakan hukumnya yang tidak konsisten. Jawabnya, bisa salah satu, bisa dua-dua bidang tersebut bermasalah. Jika asumsinya persoalan sudah dimulai sejak peraturan hukumnya maka wajar kalau sekarang ini makin menguat spekulasi perlunya merevisi Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yakni UU Nomor 5 Tahun 1960. Bahkan RUU Pertanahan saat ini sudah terdaftar dalam program legislasi nasional (prolegnas) DPR.

Mengapa UUPA menjadi sasaran utama? Posisi UUPA sebagai jangkar peraturan hukum bidang pertanahan memang sangat vital. Sejak Indonesia merdeka sampai dengan lahirnya UUPA tahun 1960, memang sudah dibuat beberapa peraturan hukum di bidang pertanahan yang nasionalistis. Namun hasilnya masih parsial dan sektoral serta tidak bisa menaungi semua kebutuhan hukum yang diperlukan. 

Salah satu contohnya adalah UU Nomor 13 Tahun 1948 dan UU Nomor 5 Tahun 1950, yang mencabut Staatsblad Nomor 20 Tahun 1918 yang mengatur hak konversi. Ketentuan ini menghapuskan hak atas tanah yang diperoleh pengusaha asing di wilayah Surakarta dan Yogyakarta. Hak ini mendasarkan hak feodal raja yang memilik seluruh tanah di wilayahnya, dan bisa menyewakan pada pengusaha asing. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1952, yang membatasi persewaan tanah rakyat untuk tanaman tebu yang berdasarkan Staatsblad Nomor 20 Tahun 1918 bisa sampai 20 tahun, dibatasi sampai 1-2 tahun saja. Juga UU Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, yang mencabut kepemilikan tanah partikelir, tanah tersebut kemudian dikuasai oleh negara.

Baru UUPA (namanya resminya Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria), diundangkan September 1960, yang melakukan perubahan mendasar dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan  menetapkan tujuan, konsepsi, asas-asas, lembaga-lembaga hukum, dan garis-garis besar ketentuan-ketentuan pokok Hukum Pertanahan Nasional. Beberapa prinsip politik hukum yang ditegaskan dalam UUPA antara lain penggantian Hukum Agraria Kolonial, pengakuan konsepsi Hukum Adat  termasuk Hak Ulayat, unifikasi hukum untuk seluruh wilayah, fungsi sosial hak atas tanah, penggunaan tanah terencana, pendaftaran tanah secara aktif, dan sebagainya.

Argumentasi Revisi

Walaupun peran UUPA sangat sentral, bagi yang mendukung revisi, sederet argumentasi telah disiapkan. Pertama; usia UUPA sudah lebih dari 50 tahun. Kedua; desain sebagai undang-undang pokok, menyulitkan kehadiran undang-undang lain yang akan menerjemahkan, atau menutup celah kekurangannya. Ketiga; perubahahan di bidang pertanahan terjadi sangat cepat, tidak bisa diantisipasi dengan konsep-konsep yang diprediksikan setengah abad lalu. Keempat, desain besar ruang lingkup UUPA juga perlu dipertimbangkan ulang.

UUPA disebut sebagai undang-undang pokok, artinya menjadi  sandaran atau acuan bagi undang-undang lain, terutama undang-undang yang akan menjadi turunan, ataupun mengatur bidang sejenis. Faktanya secara yuridis, pemberian nama undang-undang pokok tidak mempunyai makna khusus. Hanya sering dimengerti bahwa dengan nama UU Pokok mengandung informasi bahwa UUPA baru berisi konsepsi, asas-asas, dan ketentuan-ketentuan dalam garis besar saja, adapun penjabarannya diatur oleh peraturan perundangan lain.

Inilah yang merepotkan undang-undang berikutnya, yang secara teknis perundangan tidak bisa dikatakan sebagai pelaksana dari undang-undang lain. Jadi hanya bisa diterjemahkan melalui peraturan yang tingkatannya di bawah undang-undang. Ini yang kemudian menyebabkan UU yang berikutnya bertentangan dengan UUPA, tidak bisa disingkirkan begitu saja.

Memang  istilah undang-undang pokok, pada masa itu banyak dipakai, misalnya UU Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, atau UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, dan sebagainya.

Belum lagi soal istilah ’’agraria’’ yang digunakan, tidak mencerminkan masalah konkret yang dihadapi dunia sekarang.  Memang ratusan tahun, atau bahkan ribuan tahun lalu, masalah tanah lebih banyak berhubungan dengan soal pertanian karena itu lebih banyak digunakan istilah agraria, yang berarti tanah pertanian. Pemerintah Kolonial Belanda sendiri pernah memperkenalkan  Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada 1870.

Dunia saat ini, termasuk Indonesia, menghadapi persoalan tanah yang lebih kompleks, bukan hanya untuk pertanian melainkan juga untuk pemukiman, pertambangan, industri, perdagangan, dan sebagainya. Karenanya istilah Hukum Tanah, atau lebih luas lagi Hukum Pertanahan dianggap lebih tepat. Beberapa negara menggunakan nama Land Law, dan sering menggunakan istilah Land Reform. Bahkan judul RUU yang sekarang ada di DPR adalah RUU Pertanahan.
Berbagai masalah pertanahan yang muncul akhir-akhir ini juga menimbulkan pertanyaan konseptual, karena konsepsi ataupun politik hukum yang diterjemahkan dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 dinilai tidak tegas. Misalnya mengenai posisi Hukum Adat sebagai basis Hukum Pertanahan Nasional, termasuk eksitensi Hak Ulayat yang sangat lemah perlindungan hukumnya. Termasuk posisi negara sebagai wali amanah atas tanah yang belum diberikan haknya pada perseorangan atau badan hukum, sering ditumpangi kepentingan pemerintah yang seolah-olah sebagai pemilik yang bebas menggunakan tanah sekehendaknya.

Kontra Revisi

Namun bagi yang kontra revisi UUPA juga punya cukup banyak argumentasi untuk mempertahankan keberadaan undang-undang yang dianggap monumental sejak Indonesia merdeka itu. Konsepsi dan politik hukum yang memihak rakyat dan kepentingan nasional masih cukup relevan. Jika ada kekurangan terhadap kebijakan pertanahan sekarang ini, lebih banyak disebabkan oleh politisasi hukum, baik dalam pembuatan maupun pelaksanaan perundang-undangan. Politisasi hukum ini membuat negara (pemerintah dan DPR) tidak konsisten menerjemahkan semangat Pasal 33 UUD 1945, dalam perundangan-undangan bidang pertanahan.

Menurut pihak yang kontra revisi, yang harus dilakukan justru segera memenuhi kelengkapan peraturan perundangan yang disebut UUPA, misalnya UU Hak Milik yang sampai sekarang belum terwujud. Memang agak lumayan walaupun sangat terlambat, akhirnya UU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan Kepentingan Umum, baru saja disahkan. Sebelumnya soal pengadaan tanah untuk pembangunan, termasuk soal ganti rugi, hanya diatur dalam peraturan presiden. Sementara beberapa undang-undang yang secara materi bertentangan dengan UU Nomor 5 Tahun 1969 seperti UU Kehutanan, UU Pertambangan, UU Pemerintah Daerah, dan sebagainya harus disesuaikan, direvisi, atau di-yudicial review.

Sebenarnya, melalui revisi UUPA atau tidak, dalam jangka dekat yang dibutuhkan adalah membangun sistem hukum pertanahan yang terbuka, memihak kepentingan rakyat di satu sisi, tetapi di sisi lain mengakomodasi kebutuhan pembangunan ekonomi. Menjamin tertib administrasi pertanahan, hak milik perseorangan ataupun kolektif, serta menyelesaikan konflik secara transparan, dan mengedepankan pendekatan hukum. Dalam jangka panjang, reformasi Hukum Agraria, harus diarahkan demi terciptanya sistem hukum yang harmonis, operasional, dan memenuhi rasa keadilan rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar