Senin, 16 Januari 2012

Penyakit Demokrasi Kita

Penyakit Demokrasi Kita
Umbu T.W. Pariangu, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS NUSA CENDANA, KUPANG
Sumber : JAWA POS, 16 Januari 2012


SOEKARNO menggugah nasionalisme Indonesia. Hatta membawa ekonomi berdikari. Sjahrir berfilosofi tentang ekonomi sosialis. Kita di era sekarang perlu serius mempertanyakan kesungguhan pembangunan demokrasi di tangan pemimpinnya.

Joseph V. Femia mengajukan tiga poin dasar dalam tuntutan pembangunan demokrasi yang harus dilakukan secara hati-hati. Pertama, kondisi pervesity, yakni sejauh mana demokrasi yang diperjuangkan mampu menumbuhkan benih kesejahteraan. Jangan-jangan yang terjadi justru kemiskinan dan keterbelakangan. Kedua, kondisi futility, sejauhmana demokrasi itu memiliki relevansi dengan pembangunan material sosial. Yakni, menciptakan kesadaran kritis yang memelopori penciptaaan identitas dasar politik warga negara. Ketiga, faktor jeopardy, yakni bahaya yang tercipta ketika demokrasi diterapkan; memicu gangguan bagi stabilitas spiritual dan moralitas publik.

Jika ketiga hal di atas ada dalam praktik demokrasi di sebuah negara, maka hanya ada dua yang berlaku. Yakni, negara itu dalam bahaya demokrasi dan atau sebaliknya demokrasi di negara itulah yang dalam bahaya.

Doxa Partai

Jared Diamond pernah memotret salah satu indikator kegagalan demokrasi di suatu bangsa. Yakni, ketika partai politiknya terjebak dalam orientasi memperoleh kekuasaan politik (seize political power) semata ketimbang memberikan kontribusi bagi pendidikan budaya politik masyarakat. Seiring dengan ini, ketiadaan kesadaran dan sikap kritis parpol dalam menyingkap persoalan sosial mau tak mau telah mengekalkan doxa (ide absolut) parpol pada kekuasaan semata. Terkait ini, Paulo Freire sempat khawatir, bahwa kekuasaan tanpa kesadaran kritis melawan penindasan yang dialami rakyat adalah keterancaman bagi lumpuhnya nilai demokrasi.

Kekelaman itu pula yang terjadi di negara-negara di Amerika Latin (Kolombia, Equador, Venezuela, Argentina). Para politisi sayap kiri (yang berslogan pro-rakyat) mempraktikkan demokrasi yang masih amat superfisial. Di negara-negara tersebut demokrasi yang menonjol adalah demokrasi sloganisme berbasis hitung-hitungan pencitraan yang malah memicu revolusi dan pertumpahan darah.

Apa pun bentuk dan kekurangannya, konsolidasi demokrasi yang sedang kita jalani diharapkan memberi solusi bagi kedangkalan spirit bernegara. Yakni, mengembalikan kepercayaan, solidaritas, kesamaan nasib yang menjauh dari kepribadian bangsa. Ini penting di tengah menguatnya politik mirip gaya diktator Amerika Latin. Para elit kita terkesan seperti hacienderos, memerintah untuk kepentingan dirinya sendiri. Sikap mental ini berpotensi merenggut inisiasi pelembagaan demokrasi yang dijalankan dari pusat sampai daerah.

Dengan otonomi dan desentralisasi kekuasaan, diharapkan dapat melahirkan elit-elit lokal yang memahami dan mampu mengejawantahkan makna otonomi politik secara praksis. Nyatanya, rentetan paradoks demokrasi terus mengancam, baik itu dalam rupa otonomi yang kebablasan karena belum matangnya tingkat kedewasaan berpolitik personal. Dan juga makin ugal-ugalannya praktik korupsi melalui aksi para bandit pengembara (roving bandits) lokal. Oleh mereka ini, demokrasi diterjemahkan sebagai bancakan politis-ekonomis terhadap hak-hak rakyat. Kasus Mesuji dan kerusahan di Bima merupakan contoh aktualnya.

Revolusi Kedua

Karenanya kita patut mengoreksi dan mengawal proses demokrasi agar tidak tertelikung oleh kepentingan politik pragmatis. Meminjam istilah Fadjroel Rachman, tahap pertama revolusi demokrasi adalah saat tumbangnya kekuatan Orde Baru oleh kekuatan progresif mahasiswa. Tahap revolusi kedua merupakan penentu konsolidasi politik kekuasaan ke dalam agenda praksis pemerintahan.

Pada revolusi kedualah setidaknya pelaksanaan demokrasi menyisakan tema penting yang harus dibenahi, terutama dalam konteks institusionalisasi kepemimpinan nasional. Pertama, perlu disiapkannya strategi politik akomodatif terhadap munculnya alternatif kepemimpinan menjelang pemilu 2014 untuk mengganti wajah-wajah politisi lama yang terbebani dengan sejarah silam. Sebab kita tidak ingin keluaran pemilu 2014 nanti gagal menunjukkan kualitasnya karena pemain-pemain politiknya hasil political laundering dari sisa-sisa elit lama. Mereka berhasil mereinkarnasi dirinya karena diuntungkan efek modernisasi strategi pencitraan dan penguasaan media komunikasi politik secara masif.

Kedua, partai politik harus konsisten menghadirkan sistem internal partai yang akomodatif terhadap kepemimpinan muda (main political leadhership) untuk menjamin berjalannya sirkulasi kepemimpinan nasional secara teratur. Terjerumusnya kaum muda dalam sindikat korupsi, seperti yang dialami Gayus maupun Nazaruddin ataupun kasus rekening gendut para PNS muda, mestinya juga menjadi bahan refleksi. Tidak saja bagi birokrasi tetapi juga bagi partai politik untuk membenahi dirinya.

Kita memang sudah berada di panggung demokrasi terbuka dalam kurun 13 tahun. Namun, kita dituntut pula untuk terus melakukan resolusi dan pembenahan yang serius terkait karakter ideologi demokrasi. Dalam banyak hal, kita masih gagal membuka kemungkinan dan alternatif dalam mengelola sirkulasi kepemimpinan yang prospektif dan sesuai dengan kebutuhan demokrasi. Perubahan fundamental untuk melengkapi demokrasi itu perlu dilakukan demi lahirnya nilai-nilai kemanfaatan bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar