Rabu, 04 Januari 2012

Membalik Metode Wacana Capres-Cawapres


Membalik Metode Wacana Capres-Cawapres
Indra J Piliang, KETUA DEWAN PELAKSANA BALITBANG DPP PARTAI GOLKAR     
Sumber : SINDO, 4 Januari 2012



Terlalu banyak kata dan kalimat yang tertumpang untuk satu masalah penting dan mendasar di negara ini. Satu masalah yang semestinya membutuhkan investigasi berbulan-bulan, seperti pembunuhan dan konflik, diurai hanya berdasarkan isu.
Masalah sejarah yang membutuhkan detil dokumen diperbincangkan di layar televisi dengan beragam penilaian.Informasi yang masih perlu pembuktian disampaikan sebagai “temuan” seperti “piramida” di Garut. Penulis bukan tidak setuju dengan diskursus seperti itu. Tetapi, akan jauh lebih berguna bila bangsa ini sepakat untuk melakukan “penataan” dalam menyampaikan informasi publik.

Tidak mengeluarkan informasi secara sembarangan. Kebebasan menyatakan pendapat bukanlah hal yang tabu,melainkan perayaan sebebas-bebasnya bisa menghilangkan nilai edukasi dan tanggung jawab dalam setiap informasi. Tidak terkecuali dalam pemilihan presiden dan wakil presiden yang tahapannya akan berlangsung mulai Mei 2014. Sebelum tahapan resmi yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan undang-undang, segala sesuatu masih berupa informasi awal.

Masalahnya, sampai sekarang KPU belum terbentuk, begitu juga dengan paket undang- undang politik belum selesai. Kita masih menerkanerka warna ikan di laut, dari pinggir pantai, tanpa menyelam. Yang paling banyak didiskusikan sekarang adalah nama- nama calon presiden. Ketika kita bicara soal nama, rekam jejak yang di-utamakan. Seluruh aspek dikaji, terutama yang buruk, jarang yang baik.

Kita—sebagai publik— menempatkan diri sebagai sejarawan, dokter, psikolog, tetapi kebanyakan hanya tukang ramal dan tukang gosip yang tak memiliki akurasi atas data dan fakta. Informasi membelukar, sementara kebenarannya entah di mana. Kebenaran yang diterima publik lahir dari publik sendiri dengan logika masing- masing.

Profesional

Bagaimana kalau metodenya dibalik? Pertama,dan yang terutama adalah program-program apa yang idealnya dijalankan seorang presiden dan wakil presiden masa depan.Kedua, berapa lama program itu bisa terlaksana dalam 5 (lima) tahun usia pemerintahan. Ketiga, anggaran yang dibutuhkan berapa banyaknya dalam menjalankan program itu. Keempat,pada belahan Indonesia yang mana program itu ditempatkan, apabila berupa proyek pembangunan.

Kelima, tim kepresidenan seperti apa yang dibutuhkan untuk menjalankan program itu, terutama yang akan duduk di kabinet. Dan seterusnya. Jadi, ada satu skema yang terukur yang bisa dijalankan secara bersama-sama, sehingga energi bangsa ini fokus ke beberapa persoalan.Sinergi yang perlu tercipta atau paling tidak dialektika bukan kontroversi dan—apalagi—konflik di tingkatan pendapat, sebagaimana selama ini terjadi.

Pelan-pelan,ketika metode itu dilaksanakan, siapa pun yang merasa punya pendapat, informasi, kepentingan, sampai ideologi dan paham akademis, akan mudah ikut serta.Yang akan didapatkan adalah kekayaan dialektika,bukan keriuhrendahan asumsi. Dengan metode ini, berarti semua kelompok berhak ikut. Termasuk partai politik. Jaket masing-masing dilepas.Kerja sama yang selama ini jarang ada, dilakukan lewat metode ini. Untuk mengindependenkan hasil, sebuah komite bisa saja dibentuk.

Anggotanya dipilih dari beragam pakar yang memiliki keahlian, kalangan mahasiswa yang mau bekerja keras menyiapkan kegiatan, sampai kelompok masyarakat sipil yang dianggap tidak terbebani dengan ambisi-ambisi sesaat. Dananya? Saweran lewat malam dana.Tidak boleh ada yang menyumbang dalam jumlah besar.Dana boleh dari siapa pun, termasuk kandidat presiden dan wakil presiden yang mau maju bersaing.

Yang paling penting,dana diumumkan secara terbuka,tidak boleh pakai dana-dana anonim. Dana ini diaudit oleh akuntan publik serta dikelola secara profesional oleh ahli-ahli (manajemen) keuangan.Dengan cara seperti ini, tidak ada lagi kecurigaan soal dari mana dana penyelenggaraan metode ini. Belakangan terlalu banyak kalangan kelas menengah yang antipati pada politik.Antipati semacam itu kurang memiliki nilai strategis,apabila tidak diarahkan kepada hal-hal yang positif.

Dunia politik perlu dibuat semakin profesional dan transparan, sama halnya juga dengan dunia birokrasi, hukum, sampai olahraga. Karena konstitusi sudah menempatkan partai politik—dengan sendirinya juga politisi—pada posisi penting dalam penyelenggaraan negara, baik dan tidaknya negara akan bergantung pada kualitas (proses dan produk) politik.Bahwa politik semakin mekanis dan terinstitusionalisasi adalah (akibat) dari menggunungnya regulasi yang diproduksi sejak 1998.

Program

Kalaupun nanti calon presiden dan wakil presiden mendapatkan “keuntungan” dari proses yang di balik itu yakni mendapatkan dokumen- dokumen yang berisikan banyak hal untuk dijalankan, bukankah itu baik? Tidak perlu lagi banyak pertengkaran kurang penting, ketika para calon memublikasikan diri. Program-program sudah ada, lengkap dengan jadwal, anggaran, wilayah, dan lainlainnya.

Sosialisasi program juga terjadi dengan sendirinya, apabila kelompok yang terlibat berjumlah banyak. Visi-misi yang diadu dalam debat-debat pra dan saat kampanye lebih bersifat penguatan, sekaligus bagaimana mencapainya. Apabila diperlukan, di dalam komite nanti dibentuk juga kelompok yang melakukan penelusuran terhadap jejak rekam masing-masing kandidat. Dengan begitu,gambaran yang lebih objektif didapatkan, ketimbang persepsi dari kejauhan.

Presiden dan wakil presiden, pada saat dicalonkan, barangkali hanyalah “milik” partai politik. Lalu ketika dipilih, presiden dan wakil presiden itu “milik sekelompok pemilih”. Namun jangan lupa, pada saat terpilih dan dilantik, presiden dan wakil presiden itu adalah “milik seluruh rakyat Indonesia, termasuk yang tidak memilihnya”. Maka itu, penulis tidak terlalu suka dengan upaya menjatuhkan seorang presiden dan wakil presiden yang sedang berkuasa.Risikonya terlalu besar bagi perjalanan negara ini.

Kejatuhan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur sampai kini masih menyimpan luka di dalam diri masing-masing pendukungnya. Apalagi, kekuasaan presiden sudah dibatasi,hanya boleh dua periode. Karena “hukum besi” berupa waktu yang tetap (lima tahunan) itulah, kontribusi selama proses pencalonan menjadi penting. Penulis yakin,dengan metode terbalik ini, tidak ada lagi agenda-agenda presiden dan wakil presiden yang sedang menjabat yang bisa masuk.

Kalaupun masuk, sudah bisa diantisipasi sejak dini.Pola suka dan tidak suka,pro dan kontra, ataupun yang secara umum disebut sebagai kontroversi yang selama ini terjadi dengan sendirinya bisa dikurangi sedini mungkin. Soal pilihan politik, pada prinsipnya semua individu hanya memiliki satu hak suara dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, bukan? Tidak ada yang diberikan hak konstitusional untuk memilih lebih dari satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar