Senin, 16 Januari 2012

Negara dan Budaya Konspirasi


Negara dan Budaya Konspirasi
Azyumardi Azra, DIREKTUR SEKOLAH PASCASARJANA UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA; ANGGOTA DEWAN PENASIHAT INTERNATIONAL IDEA STOCKHOLM
Sumber : KOMPAS, 16 Januari 2012


Kepercayaan dan budaya berpikir konspiratif tampaknya sudah begitu meruyak di Tanah Air. Hampir sama dengan korupsi, banyak kalangan masyarakat awam kian percaya adanya konspirasi yang sudah membudaya di lingkungan para pejabat publik di berbagai lembaga negara dan pemerintah.

Dalam persepsi masyarakat, banyak peristiwa, kasus, dan skandal menyangkut ekonomi, keuangan, politik, dan hukum terjadi atau berakhir dengan melibatkan konspirasi tertentu di kalangan birokrat negara, aparat pemerintah, penegak hukum, dan juga pemilik modal besar.

Meningkatnya kepercayaan banyak kalangan tentang kian merajalelanya konspirasi di lingkungan lembaga pemerintah, birokrasi negara, dan konglomerasi pemodal kuat dipicu menggunungnya kasus dan skandal yang tidak terselesaikan, atau bahkan menguap begitu saja. Penegak hukum dan lembaga pemberantas korupsi yang seharusnya dapat melakukan banyak hal guna menyelesaikan kasus dan skandal berbau konspirasi bukan hanya terlihat tidak berdaya, melainkan bahkan dalam satu dan lain hal terlibat di 
dalamnya.

Akibatnya, banyak kalangan masyarakat percaya, misalnya hukuman lima bulan buat AAL—sang pencuri sandal yang menjadi pemberitaan memalukan bagi citra Indonesia dalam berbagai media internasional—di Pengadilan Palu belum lama ini merupakan konspirasi antara internal aparat kepolisian sendiri dengan kejaksaan dan pengadilan. Masyarakat juga memersepsikan adanya konspirasi pihak dan kekuatan tertentu, misalnya dalam skandal Century; kasus cek pelawat dalam pemilihan Miranda S Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI; skandal M Nazaruddin, bekas Bendahara Umum Partai Demokrat; kekerasan dan brutalitas aparat Polri di Mesuji dan Bima terhadap massa rakyat.

Dalam berbagai skandal dan kasus semacam itu, banyak kalangan percaya adanya konspirasi di lingkungan antarbirokrasi dan lembaga pemerintah, yang tak jarang melibatkan kalangan legislatif dan parpol, seperti terpantul dalam skandal Century. Masyarakat juga percaya, adanya konspirasi di lingkungan birokrasi negara dan lembaga atau aparat pemerintah dengan pemodal kuat seperti tersirat dalam kasus Mesuji dan Bima dengan melanggar HAM dan mengorbankan warga negara.

Akar Budaya Konspirasi

Kepercayaan pada adanya konspirasi (conspiracy theory) biasanya berakar pada meluasnya kesenjangan antara harapan publik dan realitas seharusnya. Jika publik melihat ketentuan hukum dan perundangan tak lagi ditegakkan secara adil, tak bisa lain muncul pikiran konspiratif yang secara instan meluas di masyarakat.

Begitu juga kepercayaan adanya konspirasi jadi berkembang kian luas ketika pernyataan pejabat publik dan pihak terkait lain tak sesuai perbuatan mereka.

Istilah konspirasi lazim digunakan di lingkungan akademik yang kemudian juga menjadi paradigma dalam masyarakat untuk mengacu pada adanya semacam kesepakatan rahasia di antara pihak tertentu di lingkungan birokrasi negara, aparat pemerintah, kepolisian, militer, parpol, dan bisnis untuk mencapai tujuan tertentu dengan melanggar hukum dan mengorbankan kepentingan publik.

Meminjam kerangka teori Michael Barkun dalam A Culture of Conspiracy; Apocalytic Visions in Contemporary America (2006), pemikiran konspiratif terwujud ketika masyarakat percaya adanya ”rencana-rencana” jahat yang direkayasa dan dilaksanakan para konspirator yang sangat kuat dan amat berkuasa. Para konspirator luar biasa licin dan licik; punya kekuatan politik luar biasa dan uang berlimpah untuk mengendalikan dan memanipulasi ketentuan hukum. Mereka sekaligus sangat digdaya untuk bisa terjangkau kekuatan masyarakat sipil. Jaringan konspirator ini mahir menutupi berbagai celah yang mungkin bisa berujung pada terbongkarnya konspirasi mereka.

”Trust”, Apatisme, Kekerasan Sosial

Meluasnya kepercayaan tentang adanya konspirasi yang secara saling silang melibatkan birokrat negara, aparat pemerintah, dan pemodal kuat jelas menimbulkan berbagai dampak negatif dalam kehidupan berbangsa-bernegara. Kepercayaan pada adanya konspirasi menguras trust (percaya dan saling percaya) yang merupakan salah satu modal sosial pokok bagi sebuah negara untuk dapat solid dan utuh. Tanpa modal sosial ini, sulit bagi negara mewujudkan kemajuan.

Tak kurang parah, kepercayaan pada adanya konspirasi dapat mendorong menguatnya potensi-potensi kekerasan yang laten dalam masyarakat. Bukan tak mungkin ketika kalangan masyarakat yang sudah terkuasai pikiran konspiratif menjalankan hukumnya sendiri karena mereka merasa berbagai upaya demokratis, sesuai ketentuan hukum, dan damai menemukan tembok-tembok tak terlihat, begitu tebal dan tidak tergoyahkan.

Atau sebaliknya. Persepsi konspiratif juga dapat memperkuat sikap apatis kalangan masyarakat terhadap negara dan pemerintah. Apatisme ini pada gilirannya mendorong kemerosotan partisipasi publik dalam proses-proses kehidupan berbangsa-bernegara. Kehidupan negara dan pemerintah yang diwarnai banyak persepsi konspiratif para warganya tak bisa diabaikan begitu saja. Gejala ini juga tak bakal hilang dalam perjalanan waktu; ia terus bertahan dan bahkan menguat jika tak ada perubahan sikap dan langkah pejabat publik terkait untuk mengatasi.

Jika kita ingin menghilangkan atau setidaknya mengurangi budaya konspiratif—baik pada level tindakan rekayasa maupun pada tingkat persepsi—langkah pertama mestilah dilakukan birokrat negara, aparat pemerintah, dan juga pemodal kuat. Pertama-tama mereka harus menundukkan diri kepada ketentuan hukum dan kerangka demokrasi yang lebih otentik. Jika ini dapat ditampilkan ke depan publik secara tulus, kepercayaan publik bisa tumbuh; dan secara perlahan trust bisa tumbuh kembali, dan pada saat yang sama pendekatan kekerasan massa dan apatisme warga sekaligus dapat berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar