Sabtu, 07 Januari 2012

Menyederhanakan Jumlah Parpol


Menyederhanakan Jumlah Parpol
Sabam Leo Batubara, WARTAWAN SENIOR
Sumber : SINDO, 6 Januari 2012



Dalam polemik pembahasan RUU Pemilu tercatat pendapat bahwa penyelenggaraan pemerintahan sulit untuk efektif memajukan dan menyejahterakan rakyat jika jumlah partai politik (parpol) masih terlalu banyak. 
Untuk memperkecil jumlah parpol,PDIP dan Partai Golkar belum mundur dari usulnya agar ambang batas parlemen dinaikkan dari 2,5% menjadi 5%. Pemerhati politik lain mengusulkan jalan keluar, untuk efektifnya sistem presidensial di Indonesia, jumlah parpol semestinya disederhanakan menjadi cukup tiga.

Caranya ialah dengan meningkatkan ambang batas parlemen menjadi 10%. Sebelum DPR mengambil keputusan penyederhanaan jumlah parpol lewat peningkatan ambang batas parlemen, para penguasa politik dalam pembahasan RUU Pemilu perlu terlebih dahulu memahami kenapa setiap pemilu di era reformasi ini selalu menghasilkan banyak parpol yang kecilkecil?

Kenapa rakyat pemilik kedaulatan tidak memilih hanya tiga parpol misalnya? Penyebabnya berakar pada dua kelemahan utama parpol, yakni berperilaku mengutamakan kepentingan sendiri serta tidak memiliki kematangan dan sportivitas dalam berpolitik.

Berkualitas Buruk

Fakta-fakta berikut ini menunjukkan ketidakmatangan dan ketidaksportifan penguasa politik kita. Dalam penyelenggaraan pilpres dan pilkada di era reformasi ini,nyaris tidak ada parpol yang kalah rela mengaku kalah dan menyampaikan kesiapan parpolnya membantu pemenang pemilihan, tetapi mereka justru siap untuk menggoyang.

Ketidakmatangan dan ketidaksportifan parpol juga tampak dari perilaku parpol yang sudah tidak mendapat dukungan rakyat masih juga ngotot untuk ikut pemilu berikutnya.Tidak mengherankan, rakyat mengharapkan penyederhanaan jumlah parpol, tapi parpol ingin lebih banyak.Pada 2004, peserta pemilu 24 parpol,pada 2009 meningkat menjadi 38.

Pemimpin tertinggi pun tidak memberi keteladanan tentang kematangan dan sportivitas— kualitas yang menjadi syarat keberhasilan demokrasi substantif.Ketika mantan Presiden Soeharto meninggal dan berbaring di RS Pertamina Jakarta, mantan Presiden Habibie ditolak untuk menjenguk. Sampai sekarang,rakyat masih menunggu kapan mantan Presiden Megawati dan Presiden SBY berbaikan berkomunikasi secara akrab,paling tidak di layar kaca TV.

Bagaimana tingkat kepedulian parpol terhadap kepentingan rakyat? Adagium bernegara menurut John F Kennedy: “Jangan tanya apa yang dapat negerimu berikan kepadamu, tetapi tanya apa yang dapat kau berikan kepada negerimu.”Sikap parpol kita justru sebaliknya: “Apa yang parpol dan oknum- oknumnya bisa ambil dari negeri ini.” Kualitas buruk parpol telah menjadi sorotan media massa selama ini.

Mencermati masalah buruknya kualitas itu, penyederhanaan jumlah parpol lewat perbaikan kualitas sangat mendesak. Membiarkan pemilu hanya menghasilkan banyak parpol kecil berakibat presiden—meskipun telah memperoleh legitimasi dari rakyat lewat pilpres—hanya mungkin mendapat legitimasi dari DPR dengan dukungan koalisi parpol.Namun, karena performa parpol berkualitas buruk, koalisi yang dapat dibentuk hanyalah koalisi parpol sontoloyo.

Syamsir Siregar,mantan Kepala Badan Intelijen Negara/- BIN, mengatakan (26/6/2008): “Di rapat kabinet semua menteri mengiyakan kebijakan Presiden, di luar ngomongnya lain. Sontoloyo. Kalau saya presiden sudah saya ciao(pecat) menteri begitu.”Biaya yang harus dibayar dengan model koalisi parpol sontoloyo,penyelenggaraan pemerintahan tidak mungkin efektif.

Langkah Penyederhanaan

Bagaimana caranya menyederhanakan jumlah parpol? Cara pertama, dengan pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Penguasa rezim Orde Baru membuat UU yang hanya membolehkan tiga parpol, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Seperti yang berlaku dengan negara-negara otoriter, penyelenggaraan negara diawali dengan sepertinya efektif, tetapi kemudian berakhir gagal.Tiga puluh dua tahun kemudian, rezim Orde Baru dengan sistem tiga parpol yang dipaksakan akhirnya gagal total.

Sekarang ini, parpol yang merasa diri besar seperti Partai Golkar,PDIP,dan Partai Demokrat bisa saja memutuskan ambang batas parlemen 5% atau 10%.Namun, putusan seperti itu dinilai sebagai hasil pendekatan top down yang berorientasi kekuasaan. Sikap politik seperti itu akan menambah jumlah kelompok minoritas yang dizalimi oleh kelompok mayoritas.

Dampaknya penyelenggaraan negara tidak dapat dijamin akan sukses. Cara kedua, berorientasi kepentingan rakyat.Dalam hal ini parpol tidak salah berguru ke industri media cetak nasional.Di industri surat kabar,persaingan bisnis adalah persaingan merebut kepercayaan masyarakat. Pemenangnya adalah yang terunggul dalam penyampaian informasi yang faktual dan benar, pemberitaan yang mencerahkan dan mencerdaskan, liputan fungsi kontrol yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat banyak, dan ketaatan pada kode etik jurnalistik.

Para politikus dengan mudah dapat mengenali surat kabar terunggul di setiap provinsi. Di AS, Inggris, Jerman, dan India, mendirikan parpol bebas. Namun, rakyat AS hanya memberi kepercayaan kepada dua partai, Partai Demokrat dan Partai Republik. Inggris, Jerman, dan India memiliki multipartai.Tapi selalu hanya dua parpol peraih suara terbesar, masing-masing sekitar 35%––di Inggris Partai Buruh dan Partai Konservatif, di Jerman Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Sosialis Demokrat (SPD), di India Partai Kongres dan Partai Janata.

Di tiga negara tersebut,koalisi parpol cukup pemenang pertama dengan pemenang kedua atau ketiga,tidak seperti di Indonesia,“Koalisi 6 Parpol”. Kenapa di AS hanya ada dua parpol? Kenapa di Inggris,Jerman, dan India selalu kedua parpol itu peraih suara terbanyak sehingga koalisi peringkat satu dengan parpol ketiga dapat membentuk a strong government? Jawabannya, selain tingkat maturity dan fairnessnya sudah tinggi, parpol tersebut di ketiga negara terunggul dalam upaya memajukan, menyejahterakan, dan memakmurkan rakyat banyak.

Tantangan

Pilihan sekarang ini, melakukan pembiaran atau perubahan yang menantang? Apakah keadaan sekarang ini korupsi dibiarkan menggerogoti nurani manusia Indonesia sehingga terjadi “bestialisasi korupsi” (pembinatangan manusia oleh korupsi—Romo Sindhunata SJ)? Atau parpol tertantang untuk menyederhanakan jumlah parpol, bukan dengan meningkatkan ambang batas parlemen untuk memenuhi berahi parpol yang merasa besar, tapi dengan memperbaiki kualitasnya.

Hanya dengan cara itu dapat dihasilkan dua parpol yang mampu meraih kepercayaan publik dengan perolehan suara masingmasing sekitar 35–40%. Dengan posisi seperti itu terbuka peluang membentuk a strong government cukup dengan koalisi parpol pemenang pertama dengan kedua atau ketiga. Capaian seperti itu hanya mungkin terwujud jika parpol selain mampu meningkatkan sportivitas dan kematangan berpolitik, juga mau mengubah laku buruknya.

Mengadopsi demokrasi yang berkedaulatan rakyat, bersih dari tindak korupsi, kolusi dan nepotisme, tidak lagi memperdagangkan wewenang politiknya, siap menerbitkan UU Antikorupsi dengan Pembuktian Terbalik, berorientasi sistem dengan menaati konstitusi, serta memaknai DPR sebagai dewan perwakilan yang mendahulukan kepentingan rakyat. Karena penerimaan anggota DPR yang juga merangkap anggota MPR sudah sekitar Rp100 juta per bulan, mestinya tidak ada alasan lagi untuk malas menghadiri sidang-sidang DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar