Sabtu, 07 Januari 2012

Mempersiapkan Politik yang Lebih Bermakna


Mempersiapkan Politik yang Lebih Bermakna
Bahtiar Effendy, GURU BESAR ILMU POLITIK,
DEKAN FISIP UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 
Sumber : SINDO, 6 Januari 2012



Mengamati kecenderungan perkembangan politik sepanjang tahun 2011, tampaknya tidak akan ada kejutan yang cukup berarti pada 2012 ini. Bisa saja pandangan ini salah—siapa tahu pada 2012 ini muncul keajaiban politik yang tak pernah terbayangkan.
Akan tetapi, jika politik berjalan normal, mengalir seperti biasanya, termasuk adanya perdebatan panjang di DPR mengenai undangundang partai politik,ambang batas parlemen,pemilu,dan sebagainya, rasanya pandangan di atas benar adanya.Politik bakal berjalan seperti biasanya. Bahkan,meskipunsoalskandal Bank Century dihidupkan lagi sepanjang 2012, juga soal pajak, tetap saja politik akan berkembang seperti yang terjadi pada 2011.

Ini tentu saja dalam arti bahwa tidak akan ada perkembangan politik yang cukup bermakna yang bergulir untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan publik. Jika kewenangan membuat undang-undang, menjalankan pemerintahan,atau menentukan siapa-siapa yang layak menduduki jabatan-jabatan publik sekarang ini pada dasarnya berada di tangan praktisi dan elite partai politik, bukankah tanggung jawab utama mereka (partai politik) adalah memperjuangkan apa yang dikehendaki atau diperlukan masyarakat?

Dalam konteks inilah pandangan mengenai tidak adanya perkembangan politik baru, resolusi politik baru, sesuatu yang lebih bermakna bagi masyarakat dimaksudkan. Tentu akan ada perkembangan atau isu politik lain, yang berbeda jenis dan bentuknya dari yang pernah ada pada tahun sebelumnya. Tapi hal itu bukan dalam konteks yang lebih bermakna— politik agregasi dan artikulasi kepentingan publik.

Bahkan mungkin juga bukan dalam kaitannya dengan menjalankan tugas dan fungsi yang paling utama dari cabang-cabang pemerintahan yang ada—legislatif, yudikatif,dan eksekutif. Meskipun pada dasarnya lembaga-lembaga tersebut bersifat kenegaraan—beyond partisan politics––, siapa pun tahu bahwa yang paling menentukan dalam penempatan personel-personel pada lembaga- lembaga tersebut adalah proses-proses politik. Dan kita semua tahu, proses-proses politik, sejak Reformasi 1998, berada di tangan aktivis atau pengelola partai politik.

Dalam kerangka itulah perkembangan politik pada 2012 akan berlangsung. Seperti biasa, politik akan dipenuhi dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan mikropolitik. Hanya partai politik yang memiliki panggilan menjalankan fungsi yang semestinyalah yang akan bergerak melampaui politik kekuasaan atau politik partisan. Malangnya, sampai kini kita belum memiliki kekuatan politik jenis ini.

Karenanya, di sepanjang 2012 ini politik Indonesia masih akan dipenuhi hal-hal yang hanya berkaitan dengan kepentingan partai politik. Termasuk dalam hal ini adalah perdebatan dan transaksi antarpemegang kekuasaan mengenai undang-undang pemilu, partai politik, dan ambang batas parlemen. Kasus Bank Century masih akan dimainkan jika hal itu akan memengaruhi perimbangan kekuasaan—langsung maupun tidak. Demikian pula soal korupsi Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat.

Kasus-kasus hukum yang lain akan diperlakukan sama,lebihlebih jika hal itu berkaitan dengan pemangku kekuasaan, baik di parlemen ataupun lembaga- lembaga negara lainnya. Pendeknya, politik Indonesia pada 2012 masih akan kental warna politik kekuasaannya. Dan di atas itu semua, hal tersebut dimaksudkan sebagai persiapan menuju Pemilu 2014. Menjengkelkan memang, tetapi itulah kenyataan politik Indonesia. Realitas politik seperti itu sebenarnya tidak otomatis jelek.

Konsentrasi politik menuju Pemilu 2014 tidak serta-merta bersifat negatif. Hal yang terakhir ini bisa menjadi kenyataan jika persiapan itu tidak hanya menjadi perhatian atau monopoli partai politik.Sebagai pemberi suara, masyarakat luas sebaiknya juga terlibat di dalam persiapan menuju 2014.Yang paling utama dalam hal ini adalah mempersiapkan calon penguasa lembaga-lembaga negara yang memiliki kemampuan politik,intelektual,dan moral.

Di sepanjang sejarahnya, Indonesia belum memiliki negarawan yang dalam proses kepemimpinannya menghasilkan sesuatu yang benar-benar baik. Pertimbangkan nasib para mantan presiden kita yang seakan tidak memiliki kompetensi politik, intelektual, dan moral kepemimpinan. Sampai tingkat tertentu,mereka semua dihadapkan pada masalah politik, hukum, dan sosial yang sebenarnya tidak perlu. Hanya dengan cara mempersiapkan secara sungguhsungguh calon-calon pemimpin republik, kita bisa memutus siklus mistis mengenai nasib buruk hampir semua kepala negara dan pemerintahan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar