Sabtu, 14 Januari 2012

Kebudayaan di Penjara Hukum


Kebudayaan di Penjara Hukum
Radhar Panca Dahana, BUDAYAWAN
Sumber : KOMPAS, 14 Januari 2012


Pengalaman ini memalukan dan memberi banyak pelajaran. Sebagai seorang anak usia sebelas tahun, saya mencuri uang orangtua karena ”dendam” merasa dianaktirikan.
Akan tetapi, saya kepergok. Saat uang Rp 300 itu saya pegang dan hendak saya keluarkan dari laci lemari, saya merasa ada kehadiran seseorang di belakang punggung. Benar, ia ibu saya sendiri.

Saya tak mengurungkan niat mencuri. ”Protes” kepada orangtua lebih menguasai. Saya ambil uang itu dan pergi melewati ibu saya tepat di ujung hidungnya. Saya tidak pernah paham kenapa ibu saya, yang hajah, Jawa tradisional, dan mengorbankan segalanya untuk pendidikan ketujuh anaknya, tak sedikit pun menegur.

Saya membelanjakan uang curian itu dengan jajanan, yang tidak berhasil saya makan—dan akhirnya saya berikan kepada pengemis kecil—karena wajah perempuan yang mengeras dan berombak itu memenuhi visi saya. Sampai hari ini.

Namun sejak itu, terutama setelah saya berhadapan dengan anak saya, anak didik, mahasiswa, atau siapa pun di berbagai forum dan lembaga pendidikan, saya hanya memiliki satu tuntutan moral yang tidak mungkin ditawar: tidak mencuri dan berdusta. Kebaikan dan kejahatan manusia, sejak tingkat terkecil dan termula, berawal dari satu moral itu.

Mungkin itu pelajaran terpenting: kebudayaan, betapapun diformulasi secara ketat sebagai upaya terbaik manusia dan kemanusiaan untuk meluhurkan spesiesnya, tetap memproduksi ketidakluhuran sebagai sisi kedua dari koin yang sama.

Agama, ideologi, ilmu, adat, hingga politik, hukum, ekonomi adalah produk-produk kebudayaan yang kita lahirkan dan warisi untuk tujuan mulia di atas. Suatu tujuan yang tidak akan pernah melahirkan sebuah adab yang secara menyeluruh suci, mulia, atau humanis. Idea(lisme) seperti itu tinggal sebagai sesuatu yang abstrak (idea) bahkan kadang absurd. Hidup pun tinggal sebagai pertarungan baik dan buruk yang inheren ada dalam diri manusia, baik personal maupun komunal.

Dalam perjuangan abadi manusia itu, ironi ataupun tragedi kita jumpai bahkan turut kita produksi, termasuk ketololan atau kenaifan yang kita lakukan. Apa yang terjadi pada AAL yang divonis oleh sistem hukum kita bersalah karena mencuri sepasang sandal, atau sukses remaja pelajar melahirkan mobil Kiat Esemka, adalah peristiwa mutakhir yang menamparkan ironi—bahkan tragedi—pada wajah kedewasaan hukum, politik, serta ekonomi kita sebagai negara dan bangsa.

Dusta Peradaban

Dalam negeri dan masyarakat yang membayangkan hukum memiliki posisi supreme, hukum pun jadi palu besi yang akan menghancurkan kekerasan apa pun yang dilakukan/dimiliki oleh para penentang atau pengkhianatnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum tetap adalah sebuah produk kultural (manusia) yang sekuler, naif, sangat lemah, dan membesi hanya pada retorikanya, bukan pada praktiknya.

Manusialah sebagai pelaksana dan eksekutor hukum. Manusia juga yang secara sadar melakukan gerak sentripetal yang menjadi kebalikannya. Hal terakhir ini sudah menjadi sifat alamiah manusia, yang sejak mula kebudayaan—tak hanya dalam agama—menganggap dirinya sebagai entitas terkuat, tertinggi, superior, atau khalifah di atas bumi.

Bukan hanya kecemburuan asali, juga sesungguhnya adalah dusta peradaban, ketika manusia harus menyerahkan superioritasnya itu kepada produk yang akal-akali sendiri: hukum. Maka, sudah menjadi naluri dasar, manusia memperlihatkan kedigdayaan kodratinya dengan cara mempersetankan dan mengkhianati hukum. Semua peralatan dan aparatus hukum sebenarnya ada untuk mencegah atau melawan sesuatu yang naluriah itu. Namun, maaf, aparatus itu ternyata juga manusia, dengan kompleks diri yang sama, yang membuat palu besi hukum tinggal rongsokan atau besi kiloan yang bisa dibeli atau digadai di mana dan kapan saja.

Apa yang sebenarnya membuat kita tetap percaya dan berusaha mempertahankan sebuah hukum adalah terpelihara dan dilahirkannya secara berkesinambungan para panglima yang tegar, jujur, dan tidak mencuri. Di titik ini, hukum tak lagi berbicara, tak ambil bagian. Namun, yang banyak berperan nilai-nilai dan moralitas luhur yang mengendap atau terinternalisasi ke dalam diri para panglima itu, sebagai hasil kerja kebudayaan atau diistilahkan dengan pembudayaan.

Dalam pengertian dasar ini, hukum dalam bentuk materiilnya tetap jadi kertas dan kata-kata kering. Ia jadi alasan dan tujuan kita melakukan pembudayaan melalui internalisasi di atas. Hukum yang bekerja tanpa proses pembudayaan semacam ini akan jadi anak panah tanpa arah, senantiasa keliru dalam sasaran.

Pemberadaban Bangsa

Sebenarnya, dalam makna fundamentalnya, kerja-kerja kemasyarakatan dan kenegaraan kita adalah proses pembudayaan manusianya, proses pemberadaban bangsanya. Fundamen inilah yang absen dalam kesadaran strukturalistik kita. Kerja-kerja ekonomi, politik, keilmuan, misalnya, hanya selesai pada pencapaian- pencapaian pragmatis dan materialistis. Alhasil, secara menyeluruh kebudayaan dan pembudayaan internal kita sudah tersandera oleh praktik sistemis itu.

Ketika kebudayaan ”dikembalikan” pada pendidikan, adalah hal yang sangat keliru membayangkan persoalan telah diselesaikan. Apalagi jika berilusi bahwa kebudayaan hanya sebuah kerja sektoral dari pendidikan. Sebaliknya, pendidikan hanyalah satu sektor, betapapun vitalnya, dari kerja besar pembudayaan bangsa ini.

Setiap elemen kebangsaan dan kenegaraan, instansi, institusi, ormas, dan sebagainya adalah aktor-aktor utama dalam proses besar ini. Bila tidak ada unit yang bekerja khusus untuk kebudayaan di semua elemen itu, semestinya kesadaran pembudayaan ini menjadi salah satu nilai dasar dari semua kerja, termasuk semua departemen dalam kabinet misalnya. Tanpa itu, semua kerja itu menjadi temporer tanpa visi, durasi, atau berkelanjutan.

Maka, ketika hukum hanya bicara atas nama kata-kata berbau kertas kering, sejumlah praktisi hukum akan menyatakan keputusan hakim pengadilan negeri yang memvonis AAL adalah ”benar”. Bukan hanya rasa keadilan yang tergugat di sini, tapi juga pembudayaan hukum yang terhumiliasi. Tindakan polisi yang melaporkan pencurian, jaksa, hingga hakim adalah aparatus yang secara ”legal” kita terima atau benarkan melakukan humiliasi itu.

Kita paham, sejak di tingkat sang polisi pelapor sekaligus sebagai aparat penegak hukum selaiknya mempekerjakan hukum berdasar nilai kekeluargaan dan pengajaran, bukan dengan kekakuan mekanisme vonis. Sebagai salah satu mekanisme pembudayaan yang adat dan tradisi cukup banyak mewariskan kepada kita.

Dan, mekanisme ini bagus sekali jika terjadi di semua lapangan kehidupan kita. Maka, ironi dari mobil SUV Kiat Esemka, misalnya, tidak harus jadi tamparan memalukan bagi Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan kabinet yang bernafsu menciptakan kemandirian ekonomi dan teknologi, tetapi lumpuh di hadapan kartel industri otomotif yang dikuasai modal asing sejak lebih setengah abad lalu. Namun, siapa yang berani?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar