Selasa, 10 Januari 2012

Keadilan dalam Wajah Hukum

Keadilan dalam Wajah Hukum
Manunggal K Wardaya, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNSOED,
PHD RESEARCHER PADA RADBOUD UNIVERSITEIT NIJMEGEN BELANDA
Sumber : SUARA MERDEKA, 10 Januari 2012


"Menjadi mudah dimengerti manakala masyarakat mengkreasi solusi keadilannya sendiri atas sengketa yang meraka hadapi"

DALAM khazanah studi filsafat hukum, keadilan adalah salah satu kondisi yang paling dipercaya sebagai destinasi utama adanya hukum dalam perikehidupan manusia. Skala alias timbangan menjadi simbol hukum, merepresentasi fungsinya yang terpenting; mengkadar dua sisi yang berlawanan. Hukum diidealkan menciptakan keadaan seimbang (equal) antara hak dan kewajiban. Kalau pun hukum menciptakan ketidaksamaan maka ketidaksamaan itu semata-mata untuk memperkuat mereka yang rawan, memfasilitasi mereka yang lemah, dan masih memerlukan dukungan sosial guna tercapainya kesetaraan.

Dunia peradilan dilambangkan dengan Themis, Dewi Keadilan yang membawa timbangan dengan mata tertutup. Maknanya, para pengadil memutus perkara dengan tanpa melihat pihak yang berperkara demi menemukan titik imbang. Ia tak saja mengutamakan hukum undang-undang namun juga sense of justice sehingga apa yang diputus adalah adil, lepas dari subjektivitas pribadi.

Dalam negara berpaham kerakyatan, tujuan hukum diselaraskan dengan cita-cita menyejahterakan rakyat. Hukum diabdikan pada kepentingan orang banyak (the many), bukan kepada sedikit orang yang berkuasa dan berpunya (the few). Pembukaan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi negara menegaskan tujuan dikreasinya entitas hukum bernama NKRI, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan segenap tumpah darah Indonesia.

Benerkah demikiankah adanya? Berbagai aksi kekerasan di Tanah Air, dari Mesuji hingga Bima menunjukkan fakta sebaliknya. Hukum negara, berikut aparat penegaknya, tidak didayagunakan untuk membela dan melindungi rakyat, manakala mereka yang rawan itu berhadapan dengan kuasa modal perkasa.Tak cukup menderita luka, hilang nyawa, atau terampasnya sumber daya, rakyat mendapat stempel negatif sebagai pemicu kekerasan.

Pilihan Masyarakat


Unjuk rasa rakyat tinggallah unjuk rasa, tidak didengar lagi, tak mendapat perhatian layak. Tidak terlihat semangat pemerintah dan wakil rakyatuntuk menjalankan fungsinya yang sejati: sebagai pesuruh dan pengemban amanah rakyat. Aksi bakar diri seorang mahasiswa beberapa waktu lalu mengandung pesan mendalam: rasa frustrasi teramat sangat seorang warga negara yang terjebak dalam pengapnya alam kehidupan bernegara.

Dari media kita mengetahui proses pidana siswa SMK di Palu dalam kasus pencurian sandal jepit anggota Polri. Kilah normatif aparat bahwa penanganan kasus itu sesuai prosedur dan atas permintaan keluarga tersangka barangkali tak akan mendapat reaksi hebat kalau selama ini penegak hukum profesional menjalankan tugasnya, selaras dengan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Code of Conduct for Law Enforcement Officials (1979).

Belum lagi usai  kasus pencurian sandal, masyarakat disuguhi penangkapan anak berketerbelakangan mental yang mencuri pisang di Cilacap (SM, 05/01/12). Sigapnya aparat dalam kasus ini amat kontras dengan rangkaian drama seri penetapan status sebagai tersangka dan penangkapan yang ditunda-tunda terhadap begitu banyak pelaku korupsi, berikut berbagai kemudahan dan fasilitas yang diberikan kepada mereka.

Nyata benar bahwa hukum amat keras pada mereka yang papa, sebaliknya amat fasilitatif terhadap yang berpunya. Aturan hukum memang  sama, namun interpretasi, aktivasi, dan hasil diskresinya nyatalah berbeda, yang disebabkan satu faktor utama: kuasa.

Manakala hukum (negara) berikut aparatnya makin tidak menunjukkan watak berkeadilan, menjadi mudah dimengerti manakala masyarakat  mencari dan mengkreasi solusi keadilannya sendiri atas sengketa yang mereka hadapi. Justice beyond law, menyelesaikan persoalan sejauh-jauhnya dari campur tangan institusi negara berikut punggawanya menjadi alternatif yang dipandang rasional guna terselesaikannya sengketa secara memuaskan dan berkeadilan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar