Jumat, 20 Januari 2012

Fenomena Memamerkan Kekuasaan


Fenomena Memamerkan Kekuasaan
Triyono Lukmantoro, DOSEN SOSIOLOGI KOMUNIKASI FISIP UNDIP SEMARANG
Sumber : SUARA MERDEKA, 20 Januari 2012


PADA 16 Januari 2012, penulis diundang Metrotv untuk rekaman program ”Mata Najwa”. Tema yang dibicarakan adalah bullying. Karena dirasa asing maka judul topiknya dikemas lebih seksi: ”Unjuk Kuasa”. Penulis diminta membahas bullying dari perspektif sosiologi. Benarkah tindakan itu memang persoalan pamer kekuasaan? Mengapa demikian?
Bullying, demikian dijelaskan Sonia Sharp dan Peter K Smith (2003), bisa dimengerti sebagai perilaku yang disengaja dan bertujuan melukai. Tindakan itu terjadi berulang dan berlanjut selama mingguan, bulanan, dan bahkan tahunan.
Korban sulit mempertahankan diri. Motif yang mendasari adalah penyalahgunaan kekuasaan serta hasrat menjalankan intimidasi dan dominasi sehingga memang benar bahwa bullying terkait dengan kekuasaan.

Konsep yang lebih detail dikemukakan Ken Rigby (2003) yang mengatakan tindakan itu melibatkan hasrat untuk melukai dan diwujudkan dalam tindakan. Munculnya tindakan itu akibat dari ketidakseimbangan kekuasaan yang dimiliki oleh individu-individu. Aspek penting lain, tindakan itu merupakan penggunaan kekuasaan yang tidak adil yang dilakukan secara terus-menerus (repetitif).

Terdapat beberapa bentuk bullying. Pertama; verbal, yaitu diwujudkan lewat ucapan ataupun pernyataan. Kedua; fisik, yang melibatkan kekerasan untuk melukai tubuh seseorang. Ketiga; eksklusi sosial, yakni aksi pengucilan seseorang karena dianggap sebagai sosok yang tidak menyenangkan dan pantas disingkirkan. Perilaku ini dilakukan secara berkelompok.

Pelaku dan Korban

Secara sosiologis, bullying adalah wujud ketidakberimbangan kekuasaan. Apa yang dimaksud dengan kekuasaan adalah kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk mengikuti apa yang diinginkan dan diperintahkan pihak tertentu. Pihak yang memerintah adalah profil yang berkuasa. Adapun yang cuma menjalankan perintah adalah pihak yang tidak berkuasa. Bullying serupa dengan aksi-aksi dalam kerajaan binatang. Hukum yang diterapkan adalah siapa paling kuat maka dia boleh hidup.

Homo homini lupus, manusia menjadi serigala bagi sesamanya. Siapa yang menjadi pelaku dan korban? Karena aksi-aksi dari tindakan itu sangat berkaitan dengan kekuasaan, pelaku adalah pihak yang berada dalam posisi dominan. Pihak yang menjadi korban atau targetnya adalah kalangan minoritas.
Dari cara pandang ini, siapa pun berpotensi menjadi pelaku. Relasi-relasi sosial yang terbentuk melibatkan identitas dan posisi dalam struktur sosial. Identitas di sini dapat dilihat dalam keberadaan agama, etnis, gender, orientasi seksual, kelas sosial, atau ketidakmampuan fisik (disability).

Bullying tidak hanya terjadi pada lingkup sekolah dasar dan menengah. Di tempat kerja yang nyaman pun, dapat berlangsung. Termasuk muncul melalui telepon seluler, dalam bentuk kiriman pesan singkat (SMS) yang memuat ancaman dan olok-olok, misalnya. Bahkan, dalam wilayah sosial yang bersifat virtual (internet), misalnya media sosial seperti facebook, twitter, dan e-mail, yang biasa disebut cyber bullying. Semua ini menunjukkan bahwa tindakan itu  mengikuti dinamika relasi sosial dan teknologi.

Aspek lain yang juga harus dilihat adalah bullying merupakan bentuk distorsi komunikasi. Kebermaknaan dan saling pengertian yang melibatkan penyampaian pesan-pesan di antara kalangan partisipan adalah sifat dasar komunikasi. Apa yang diandaikan dalam komunikasi adalah keseimbangan bagi semua pihak yang terlibat. Jurgen Habermas, seperti diuraikan oleh Andrew Edgar (2006), mengidentifikasi tiga fungsi tindakan komunikatif, yakni menyampaikan informasi; memantapkan relasi sosial dengan pihak lainnya; dan mengekspresikan pendapat dan perasaan.
Apa yang terjadi pada bullying merupakan distorsi dari tiga fungsi itu karena menunjukkan kebencian, merusak hubungan sosial, serta mengekspresikan prasangka dan perilaku diskriminatif.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar