Depresi
Sosial dan Wacana Keberbedaan
Anggun Trisnanto, DOSEN
HUBUNGAN INTERNASIONAL FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MAHASISWA PROGRAM DOKTORAL
DI INSTITUTE OF SOCIAL STUDIES DEN HAAG, BELANDA
Sumber
: KORAN TEMPO, 20 Januari 2012
Perbedaan
adalah rahmat. Doktrin ini sebaiknya diingat sekaligus dicerna lebih dalam
untuk melihat fenomena keberbedaan yang muncul di Indonesia. Sengketa Syiah dan
Sunni yang akhir-akhir ini muncul dan menimbulkan banyak korban perlu dilihat
setidaknya dalam dua hal mendasar. Pertama, bagaimana persamaan dan
pertidaksamaan dalam relasi sosial diangkat dan dieksploitasi. Kedua, bagaimana
relasi sosial yang muncul atas sikap masyarakat terhadap persamaan dan
pertidaksamaan tersebut.
Dalam
kurun lebih dari 30 tahun kepemimpinan Orde Baru, masyarakat Indonesia
mengalami "pemerkosaan" hebat, baik material, sosial, maupun
psikologis. Kalau melihat buku wajib bacaan yang harus dibaca oleh siswa
sekolah dasar, dari tahun ke tahun sama. Bahkan, dengan dalih ekonomis, buku
yang dipakai saudara tua masih bisa digunakan oleh adik-adiknya. Dalam hal ini,
siswa Indonesia yang kelak menjadi masyarakat Indonesia sudah mengalami
dominasi pemikiran. Persepsi mereka sama karena membaca buku yang sama, guru yang
sama. Kalau sudah demikian, perbedaan menjadi barang ekonomis (barang langka),
kalaupun muncul, tidak akan berkembang karena tertekan oleh kekerasan struktur
yang diciptakan oleh rezim Orde Baru.
Hal
lain adalah masyarakat kita tidak terbiasa dengan ritme pertanyaan kritis. Bisa
diyakinkan, generasi muda Indonesia yang sekarang berusia 30-an pasti hafal
nama-nama pahlawan revolusi, tapi sangat sedikit yang mau bertanya mengapa
terjadi revolusi, apa yang terjadi ketika itu, mengapa mereka disebut pahlawan
revolusi, revolusi terhadap apa, dan sebagainya. Mayoritas pendidikan Indonesia
masih berkutat pada pertanyaan siapa, apa, di mana, dan kapan serta belum
"naik kelas" menjadi pertanyaan mengapa dan bagaimana.
Tidak
mengherankan jika pemerkosaan pendidikan selama rezim Orde Baru menghasilkan
pemikiran linear, sama, dan tidak pernah berpikir out of the box
(alternatif, sangkalan). Lalu apa relevansi kungkungan sosial atas nama
pendidikan terhadap isu Syiah dan Sunni? Mari kita lihat, bagi mereka yang
memberi stigma negatif kepada kelompok lain, perlu ditanya lebih jauh:
parameter apa yang digunakan untuk menilai, dalam konteks apa kemunculan
perbedaan itu ada, dan dengan tujuan apa.
Sering
kali kita terjebak dalam monolitik linearitas bahwa seolah-olah paham kita yang
paling benar dan di luar kita itu yang tidak benar. Padahal benar dan tidak
benar perlu diuji oleh sistem baku, oleh lembaga netral, dan oleh waktu/sejarah
itu sendiri. Dalam konteks Orde Baru, struktur baku pembangunan dititikberatkan
pada stabilitas politik, sosial, dan budaya, sehingga apa pun bentuk perbedaan
yang muncul akan diberangus, baik dengan cara langsung (direct violence)
maupun tidak (structural violence). Inilah yang menyebabkan mengapa
masyarakat Indonesia alergi terhadap perbedaan.
Seharusnya
kita boleh juga bertanya balik, apakah pihak yang menuding yang salah itu bisa
dikatakan benar? Kalaupun benar, itu menurut siapa? Model-model pertanyaan
ontologis seperti ini yang masih jarang diungkap atau takut diungkap. Sesat
pikir yang terjadi justru malah menjerumuskan kita pada pemikiran picik tentang
kebenaran. Sebaliknya, bisa jadi munculnya perbedaan terjadi karena kebosanan
pada paradigma lama. Kalau masalah-masalah ini selesai, mungkin tidak perlu
takut pada perbedaan.
Hal
kedua yang juga mendesak adalah bagaimana reaksi sosial yang muncul menyikapi
perbedaan. Sejauh ini konflik perbedaan paham selalu berakhir dengan kekerasan
(penghancuran tempat ibadah, pemukulan, dan pembunuhan). Melihat hal ini, perlu
diangkat bahwa apa betul masyarakat Indonesia yang dikenal pernah punya
peradaban Majapahit dan Sriwijaya yang adiluhung itu tega melakukan kekerasan
kepada saudaranya sendiri. Kalaupun iya, mengapa dan apa motif melakukan
kekerasan.
Sejarah
juga pernah mencatat bahwa masyarakat Indonesia adalah entitas sosial yang
permisif. Pada masa lampau, jarang ditemui pembakaran massa, penggorokan leher,
dan model pembunuhan lain yang menjijikkan. Namun, saat ini betapa pendulum itu
berubah. Masyarakat Indonesia sekarang begitu reaksioner, cepat dan
membabi-buta. Cara-cara lain yang lebih rasional dan elegan justru diabaikan.
Lihatlah betapa nahasnya pencopet yang dihajar massa hingga mati.
Interseksi
antara semangat euforia fanatis dan depresi sosial adalah kunci kombinasi yang
sangat ideal untuk melihat masyarakat Indonesia dewasa ini. Pada tahun-tahun
mendatang, tidak hanya konflik agama yang akan mengalami penghakiman jalanan,
tapi apa pun bentuk keberbedaan, sangkalan, dan tentangan yang sifatnya di luar
mainstream akan diperlakukan sama. Semangat menghakimi lebih besar
daripada semangat mencari tahu apa sebab keberbedaan.
Ada
baiknya sejenak kita lepas dari kungkungan endemik linearitas demi melihat
kemunculan kebenaran dengan kacamata dan pikiran yang jernih. Hal ini tidak
sulit sejatinya, yang dibutuhkan justru seluas mungkin melakukan diskusi, tukar
pikiran, gotong-royong, musyawarah, dan saling membantu, sama seperti yang dulu
pernah kita punya. Membangkitkan kembali metode ini setidaknya merupakan
pilihan rasional yang bisa ditempuh. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar